Cintanya pada almarhumah ibu membuat dendam tersendiri pada ayah kandungnya membuatnya samam sekali tidak percaya akan adanya cinta. Baginya wanita adalah sosok makhluk yang begitu merepotkan dan patut untuk di singkirkan jauh dalam kehidupannya.
Suatu ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis namun sayangnya gadis tersebut adalah kekasih kakaknya. Kakak yang selalu serius dalam segala hal dan kesalah pahaman terjadi hingga akhirnya.........
KONFLIK, Harap SKIP jika tidak biasa dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Pamit.
"Kalau kamu tidak bisa tenang, apa Dilan tinggal disini saja bersama Papa dan Mama?? Ada waktu tiga bulan sekali kamu bisa ijin menemui istrimu." Kata Papa Hanggar saat mereka tengah mengobrol di ruang tamu.
Seketika ekor mata Bang Rama melirik Papa Hanggar. "Meninggalkan Dilan disini malah semakin membuatku banyak pikiran."
"Nanti kangennya di tabung. Lagipula dengan Dilan bersama Papa dan Mama juga sedikit 'membantumu' sampai nanti Dilan melahirkan." Jawab Papa Hanggar.
"Apakah begitu caranya laki-laki bertanggung jawab pada keluarganya???? Apapun keadaannya, saya akan membawa Dilan." Ucap tegas Bang Rama.
Papa Hanggar mengangguk, percuma saja berdebat dengan pria di hadapannya itu. Sifat kaku Letnan Rama memang tak ubahnya dirinya di masa mudanya dulu.
"Terserah kamu saja. Hati-hati momong istri di tanah rantau. Apalagi istri sedang hamil." Pesan Papa Hanggar.
\=\=\=
Bang Rama sudah menerima surat kepindahan dinasnya, serah terima jabatan komandan pun sudah di laksanakan. Kini dirinya harus meninggalkan Batalyon yang sudah bertahun-tahun lamanya 'membesarkan' namanya juga menjadikan pengalaman hidupnya hingga saat ini.
"Pergilah Ram, Abang merestui..!! Selamat jalan dan selamat bertugas di tempat dinas yang baru." Kata Danyon baru.
"Siap, Abang. Terima kasih."
Disana ada Bang Panggih yang juga berada disana. Bang Panggih menemui adik tirinya yang akan segera berangkat menuju tempat tugas yang baru.
"Ram.."
Bang Rama menatap malas pada Abangnya. Memang sejak kejadian itu hubungan dirinya dan Bang Panggih tidak pernah bisa akur.
"Aku mau berangkat." Bang Rama pun berlalu pergi tapi kemudian Bang Panggih menarik lengan adiknya itu dan memeluknya erat.
"Kamu tidak ingin hadir saat Abang menikah? Apapun yang telah terjadi di antara kita. Kita ini tetaplah saudara. Abang menyayangimu, tidak ada beda antara kamu, Riffat ataupun Muran."
Merasa risih dengan keadaan, Bang Rama pun menepisnya. Hatinya tetap terasa sakit jika mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Bisa di katakan kematian ibunya adalah hal yang paling membayang dan membekas lara dalam hatinya.
"Bagaimana cara Abang menebus semua kesalahan? Tak bisa kita pungkiri bahwa kita punya dua ibu." Imbuh Bang Panggih.
"Jika Arlian mati, baru aku puas..!!"
Bang Panggih hanya bisa mengepalkan tangannya, ia pun membiarkan Bang Rama berlalu. Masa lalu yang dirasakan adiknya memang membuat rasa trauma yang luar biasa.
...
Bang Rama mengusap pusara almarhumah sang ibu.
"Rama pergi ya, Ma. Maaf Rama tidak bisa sering mengunjungi Mama lagi." Di kecupnya batu nisan yang selalu bersih.
Bang Rama membenahi letak kacamata hitamnya. Air matanya sudah menggenang.
Tak berapa lama ada sentuhan lembut mengusap bahunya. Bang Rama menoleh dan melihat Dilan sudah berjongkok di sampingnya. Tidak tahan dengan perasaannya sendiri, Bang Rama pun menghambur dan menangis meraung dalam pelukan Dilan.
"Aku benci Hanggar, kenapa dia tidak bisa melindungi ibuku. Kenapa hanya Arlian saja dalam hidupnya??? Ibuku bertaruh nyawa melahirkan ku untuk dia, dan ibuku meregang nyawa juga karena mencintainya. Tidak adakah sedikit saja cinta dan belas kasih untuk ibuku???" Pekik Bang Rama seakan meluapkan kekecewaannya yang mendalam.
"Bolehkah Dilan bicara??" Tanya Dilan, ia merasakan anggukan kecil dari seorang Rama. Dilan pun melanjutkan ucapannya. "Kita tidak bisa menerka dalamnya isi hati manusia. Terkadang kita sebagai manusia selalu menutup mata atas apa yang terjadi. Apakah Abang tau bahwa Papa Hanggar selalu mencintai Mama Fanya dan mengapa Mama Fanya memilih menjauh dari kehidupan yang mereka jalani??"
Dilan mengubah posisi duduknya karena berjongkok pun rasanya sudah tidak sanggup lagi. Namun Bang Rama yang sedang kalut tidak ingin jauh dari Dilan. Bang Rama memilih meringkuk dan merebahkan kepalanya di pangkuan Dilan. Wajahnya menghadap perut sang istri yang mulai membesar.
Dengan lembut Dilan membelai rambut Bang Rama. "Berani jatuh cinta, berarti sama saja dengan kita berani sakit. Cinta itu memilih dan cinta itu berkorban. Banyak hal yang tidak kita mengerti, karena cinta juga adalah sebuah keikhlasan."
Bang Rama mulai goyah dan memeluk Dilan. Ia merasakan ada yang berbeda dengan hatinya.
"Bang, Mama Lian juga sakit. Papa tanpa sengaja mendua saat Mama Lian tidak berdaya. Mama Lian harus berbesar hati dalam kesabarannya membesarkan Abang. Mama Lian juga tidak pernah membahas kesalahan Papa meskipun biasanya wanita akan membahasnya. Itu salah satu alasan Papa tidak berani salah jalan lagi, bahkan untuk bernada tinggi pun Papa akan menyesalinya. Sekarang Dilan tanya, Dilan membawa bayi orang lain. Apa alasan Abang sanggup menerimanya meskipun dalam hati Abang sempat tergores rasa sakit."
"Tidak ada alasan apapun."
"Seperti itulah cinta Mama Lian, Mama Fanya dan Papa Hanggar. Kita tidak paham isi hati mereka, terutama Papa Hanggar. Siapa tau.. Papa Hanggar begitu mencintai Mama Fanya." Ucap Dilan.
Bang Rama pun terdiam sejenak. Kini hatinya ikut tak menentu.
"Abang jawab..!! Kenapa Abang mati-matian bersama Dilan. Padahal Dilan ini.........."
"Kamu masih suka sama dia?????" Bentak Bang Rama nampak tidak suka.
"Hmm.. gimana ya??" Dilan memasang wajah usilnya.
"Cckk.. yang benar saja kau, dek. Hati Abang panas iniiii..!!!!"
-_-_-_-_-_-
Di bandara militer, Bang Rama terdiam menatap landasan pacu pesawat angkut yang akan membawanya terbang ke daerah tempat tugas yang baru.
Pikirannya gelisah melanglang buana memikirkan Dilan. Bukannya menjelaskan akan jawabannya, kini Bang Dilan malah asyik makan cireng bersama Prada Decky dan Prada Jubair.
"Abang mau?" Tanya Dilan menawari Bang Rama.
"Suapin..!!" Pinta Bang Rama.
Dilan pun menyuapi suaminya dengan telaten.
"Pedas sekali, dek..!! Satu mangkoknya kah kamu tuang??" Tegur Bang Rama sambil nyengir sendiri karena kepedasan.
"Nggak tau, Om Decky sama Om Jubair yang pesan." Jawab Dilan.
Kedua 'ajudan' sampai tersedak saking kagetnya mendengar tuduhan Ibu Danton.
"Aduuuhh ibu, ijin.. kami hanya tuang empat setengah sendok." Kata Prada Jubair.
"Empat setengah sendok??????" Pekik Bang Rama.
"Ijin Danton, tadi ibu mintanya lima sendok??"
"Bagaimana kalian ini?? Kalau tau istri saya begini ya jangan di turuti. Kalau istri saya diare bagaimana?????? Sekarang kalian makan cireng ini sampai habis. Nanti kalian rasakan dan resapi nikmatnya knalpot brong..!!" Perintah Bang Rama.
.
.
.
.