Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.
Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.
Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.
Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.
Bagaimana Lail menghadapi semua itu?
"Menyesal? Aku gak yakin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH.15 - Tipe Kecerdasan
“Bray?”
Delia melongok ke dalam kamar adiknya. Lail sudah khatam dengan gerak-gerik kakaknya. Kalau dia ke kamar Lail, berarti Delia ada maunya. Lail melirik malas kakaknya yang sudah mendorong pintu kamar dan duduk di ranjangnya.
“Kok kamu gak liburan sih?” Delia bertanya basa-basi.
“Kenapa emangnya? Butuh apa?”
Delia hanya nyengir kuda kala Lail sudah tahu niat aslinya. “Ke kafe yang dulu itu gih, pesanan biasa.” Pinta Delia.
“Moh. Upahnya 4.000 perak doank.” Lail menolak tegas.
Lagi pula perjalanan bolak-balik antara rumah dan kafe jaraknya lumayan jauh. Mana mau Lail dibayar dengan uang segitu. Dia hanya bisa membeli sebatang es krim, yang variannya murah pula. Kalau harganya murah, rasanya juga tak bisa ditawar dengan yang enak.
Delia memberikan adiknya selembar uang 50.000, “Nih! Espresso satu sama satu potong chiffon. Uang kembaliannya masih ada 14.000 lagi.”
Lail yang sedang bermain sambil menonton film pun langsung duduk. Dengan cepat dia menyambar uang di tangan Delia. “Aku berangkat dulu, bro!”
“Dasar mata duitan.” Delia mendesis.
Lail, dengan pakaian ‘bodo amatnya’ sekali lagi pergi ke kafe langganan Delia. Dengar-dengar kakaknya sering mengerjakan tugas di sana bersama teman kuliahnya ataupun sendiri.
Saking seringnya, barista di sana sampai mengenali Delia. Bahkan Delia pernah bercerita kalau barista andalan di kafe itu pernah meminta nomornya. Lail tidak tahu kelanjutan ceritanya, tapi kemungkinan besar tidak berkembang ke arah yang lebih baik mengingat bagaimana tabiat kakaknya. Delia masih ingin memegang rekor tidak pacaran selama 19 tahun hidupnya (mungkin akan bertahan lebih lama lagi).
Bel yang diletakkan di atas pintu kaca kafe beringing setiap kali ada pengunjung yang keluar dan masuk. Lail memandangi potongan kue dengan bentuk manis yang dipajang dalam etalase sepanjang meja depan.
Di meja kasir, ada seorang pria yang usianya mungkin pertengahan 20-an, menyapa Lail yang baru datang. Dia bukan kasir yang sama yang melayani Lail terakhir kali.
“Selamat datang...” pria itu menggantungkan kalimatnya.
“Ada apa?” tanya Lail penasaran.
Kasir itu menarik sudut bibirnya, “Wajahmu mirip seseorang yang kukenal, tapi dia jauh lebih dewas.”
Lail mengangkat sebelah alisnya, dia tahu ke mana perbincangan ini menuju.
“Apa namanya Delia?”
“Bagaimana kamu tahu?” kasir itu tampak terkejut.
“Yeah... dia kakakku.”
Kasir itu terdiam sejenak, “Apa kamu datang ke sini karena disuruh kakakmu?”
Lail mengangguk.
“Apa dengan tambahan sepotong chiffon?”
“Yep.”
Lail menunggu kasir –yang juga adalah barista– itu menyiapkan pesanan kakaknya. Sepertinya pria ini adalah barista yang pernah diceritakan Delia. Karena kasir sedang tak ada, dia mungkin menggantikannya sementara waktu.
Sambil menunggu, Lail iseng membaca plat nama di kaus si barista.
Regas?
Setelah pesanan siap, barista dengan nama Regas itu menyerahkannya pada Lail. Belum sempat Lail bertanya basa-basi berapa harganya walau dia sudah tahu, Regas menyelanya lebih dahulu.
“Tidak usah bayar, aku yang traktir.” Ujar Regas.
"Apa? Kenapa?”
“Kakakmu itu langganan di sini, jadi begitulah.”
“Ouh... oke!” Lail mengangguk senang.
Hehe.. bisa korupsi nih!
Lail memasukkan kembali dompetnya ke dalam tas.
“Lail.”
Lail menengok ke sumber suara. Itu Wiyan. Ternyata anak sekolah sebelah itu ada di sini. Dia sedang duduk di meja panjang yang menghadap langsung ke jendela kaca yang mana bisa membuatnya leluasa menatap ke luar. Lail pun segera menghampirinya.
“Kamu ngapain di sini, Iyan?”
Wiyan tidak menjawab. Dia menunjuk ke meja di depannya. Terdapat buku, alat tulis, beserta minuman pesanannya di sana.
“Kamu belajar di sini?” tanya Lail lagi.
“Yeah.”
Lail mengintip buku catatan Wiyan, itu pelajaran matematika. Pelajaran yang pernah dilombakan dan diikuti mereka berdua, kemudian Lail keluar sebagai pemenangnya.
“...."
Lail mengernyit. “Hey, yang nomor 2 caranya salah.”
“Apa?” Wiyan kembali fokus pada soal-soal yang sedang dikerjakannya sebagai latihan. Dia memang suka melatih kemampuan belajarnya dengan cara mengerjakan soal. “Tapi gue dapet caranya dari buku.”
“Iya, awalnya emang bener, tapi mulai di baris yang ketiga ini kamu malah nyambung ke rumus lain.” Lail menerangkan bagian mana yang terdapat kesalahan.
Dalam materi komposisi invers, pengerjaan angka dan variabel dalam kurung yang dikuadrat dikerjakan dengan cara mengalikan nominal di dalamnya dengan nominal yang sama pula. Tapi, Wiyan justru membuat angka serta variabel dalam kurung dikuadrat.
“Terus gimana?” tanya Wiyan.
Wiyan menarik kursi di sebelahnya agar Lail bisa duduk.
“Gini, sobat. Di sini ‘kan tulisannya ( x - 7 )², cara pengerjaannya bukan ngebuat si x sama 7 jadi x² atau 7². Tapi jadi ( x - 7 ) × ( x - 7 ).” Jelas Lail sambil mengambil alih pensil di tangan Wiyan.
“Ouh... pantes daritadi gue gak nemu jawabannya.”
“Ya kalau pake cara itu, sampe lebaran ayam juga gak bakal ketemu.” Cibir Lail.
Wiyan kembali mengerjakan soal latihan dengan serius. Lail heran, Wiyan tidak menghabiskan liburan semesternya dengan bersantai dan bersenang-senang, melainkan menggunakan setiap detiknya untuk belajar. Bagi Wiyan, healing mungkin hanya membuang waktunya yang berharga.
Anak rajin, aku mah apa atuh.
Lail memandang ke luar jendela kaca. Ternyata pemandangan di luar sangat memanjakan mata. Karena di seberang jalan raya ada arena khusus bermain skate board.
Jalan raya di sini memang lebih mirip jalan komplek karena sangat jarang dilewati mobil atau motor. Lebih banyak yang mengendarai sepeda di sini, sebab ada jalur khusus untuk para pesepeda.
Oh...
“Iyan, aku pulang dulu.” Pamit Lail, dia baru ingat dengan pesanan kakaknya.
“Hah? Terus lo besok ke sini lagi, gak?”
Lail menautkan alisnya, kakaknya tidak akan mengirimnya ke kafe ini setiap hari.
“Ngapain?” tanya Lail.
“Ya ngajarin gue lah.”
“...."
“Gue traktir apa pun yang lo mau di sini.” Sambung Wiyan.
Senyum di wajah Lail pun merekah, itulah yang ingin didengarnya. Lail mengangguk setuju. Kalau ada yang gratis, mana mau dia melewatkannya begitu saja. Kue-kue yang dipajang di etalase sudah cukup untuk membuat pendiriannya tentang rebahan sepanjang liburan goyah.
“Besok jam berapa kamu datang?” tanya Lail.
“Jam sembilan.”
“Oke! Bye-bye!”
...****...
“Haiyaa~ limit fungsi cuma punya sembilan teorema. Itu ngawur dari mana pula teorema yang kesepuluh?” cerca Lail.
Hari ini Lail benar-benar datang untuk mengajari Wiyan dengan bayaran yang cukup menggiurkan. Yah, pada dasarnya Lail bisa disogok dengan apa pun, terkhusus sesuatu yang memang diinginkan olehnya, seperti buku dan makanan.
Materi yang Wiyan kerjakan adalah limit fungsi. Sebenarnya materi itu belum diajarkan di kelas Lail, tetapi memang Lail terlalu mencintai pelajaran matematika sehingga mempelajarinya lebih awal. Catatan, hanya materi persamaan Helmholtz saja yang dia benci karena rumusnya kelewat mustahil.
Dan sejak hari kemarin, Lail menyadari satu hal dari Wiyan. Ternyata anak ini cukup lemah dalam pelajaran eksak. Bukan hanya matematika, tetapi fisika Wiyan sangat memprihatinkan. Parahnya, dasar matematika Wiyan itu bahkan lebih lemah daripada Nylam.
Selama ini Wiyan hanya mengandalkan ingatan supernya untuk mengerjakan soal. Tentang aritmatika, dia mampu karena memang tak ada rumus apa-apa untuk mengerjakannya. Kunci utamanya hanyalah menghitung dengan cepat.
“Kenapa MTK itu susah sih...!” keluh Wiyan. Lail santai menyeruput es kopi gratisnya.
“Yeah... kecerdasan setiap orang itu beda-beda. Matematika bukan tolak ukur cerdas atau enggaknya setiap individu.” Lail menanggapi keluhan Wiyan.
Wiyan menatap Lail dengan malas, “Tapi kenapa cuma mereka yang hebat di pelajaran matematika aja yang dianggap cerdas?”
Lail mengedikkan bahu tak acuh, “Itu mindset bodoh orang Indonesia. MTK malah dijadiin standar orang bisa disebut cerdas. Padahal nyatanya enggak. Dan lawaknya, sistem pendidikan pun malah ngakuin yang cerdas cuma mereka yang jago MTK.”
Lail mengaduk-aduk isi es kopi menggunakan sedotannya.
“Sebenernya ada delapan tipe kecerdasan di dunia ini, salah satunya logis-matematis. Dan yah... itu tipe kecerdasan aku.” Lail berkata sombong. “Tapi tipeku selain logis-matematis, juga visual-spasial, musikal sama linguistik.” Lagi-lagi Lail menyombongkan dirinya pada Wiyan. Dia malah memborong empat tipe sekaligus, meski memang benar kalau dia tidak bohong tentang itu. Tapi tetap saja, dia sombong.
“Linguistik? Bokap bilang gue unggul di bidang bahasa.” Wiyan tampak mengingat-ingat ucapan ayahnya.
“Iyakah?” Lail bertanya memastikan.
“Kata bokap, gue pinter ngomong.” Kata Wiyan.
“Kayak politisi?” tanya Lail dengan wajah sumringah.
Wiyan menjawil lengan Lail geram. Ternyata selain rasis, Lail juga tukang sarkas dan satire. Dia takkan lupa hari di mana Wiyan memberinya bugis ketan hitam dan Lail malah menyebutnya sebagai bugis Afrika. Selain itu, dia pernah menyebut mata salah satu orang China yang ditemuinya hanya sebesar kuaci biji bunga matahari meskipun dia sudah melotot.
Intinya, hanya orang-orang spesial yang bisa menerima kelainan Lail.
“Denger-denger, kamu disebut sama temen-temenmu multilingual. Jadi, nguasain berapa bahasa?” tanya Lail sambil meneguk tetes terakhir es kopinya.
Wiyan mulai menghitung dengan kesepuluh jarinya, “Kecuali Indonesia, gue bisa sebelas bahasa.”
Lail menyemburkan es kopi yang sudah mengucapkan halo kepada kerongkongannya. Dia terbatuk-batuk karena tersedak air kopi. Wiyan menepuk pelan punggungnya untuk meredakan batuk Lail. Selang beberapa detik, barulah batuknya mereda.
“Serius? Sebelas? Apa aja?!” Lail bertanya antusias, seolah keadaan antara hidup dan matinya barusan hanya sekedar iklan.
“Hm.. Inggris, Rusia, Polandia, Belanda, Italia, Spanyol, Denmark, Jepang, Korea, Filiphina sama Yunani. Kalau Jerman sih... gue masih belajar dikit-dikit, belum lancar banget.”
Lail melongo mendengarnya, rupanya Wiyan tidak berbohong saat dia bilang tipe kecerdasannya adalah linguistik. Wiyan tak main-main, bukan hanya Inggris yang bergelar sebagai bahasa internasional, tapi dia juga sedang proses mempelajari bahasa lainnya. Mungkin tujuan hidup Wiyan adalah mengarungi dunia setelah mahir berbagai bahasa.
“Gila, keren! Kamu mau jadi traveler ‘kah?”
“Gak, gue mau jadi peneliti.” Wiyan menjawab pertanyaan Lail dengan nada datar.
Perasaan antusias Lail menurun seketika.
Mana nyambung!
“Eh, Iyan. Tapi kenapa hampir semuanya bahasa orang Eropa? Yang Asia malah cuma tiga.”
“Gue belum tertarik. Tapi kayaknya abis belajar bahasa Jerman, gue mau belajar bahasa Thailand.”
“Gitu,” Lail mengangguk-anggukkan kepalanya.
Wiyan melanjutkan mengerjakan soal latihan yang dibuat oleh Lail. Karena bosan menunggu, Lail asyik memandangi para remaja dan segelintir orang-orang dewasa yang sedang bermain skate board.
Di antara kerumunan para skater, Lail melihat ada satu remaja yang paling mencolok. Itu karena dia tinggi, dan menurut standar ketampanan umum, dia masuk kategori sangat tampan.
Tapi vibes mukanya kayak fvckboy.
“Lo suka sama dia?” tanya Wiyan tiba-tiba.
“Apa? Gak mungkin! Ngapain juga suka sama orang asing?” Lail langsung menyangkal.
“Karena dia ganteng.” Wiyan menjawab singkat.
Lail mendengus malas, “Menurut orang lain mungkin iya, tapi menurut aku enggak. Cuma yang cerdas aja yang menurutku ganteng. Catatan, cerdasnya harus di bidang akademik. Gak harus MTK, bahasa juga termasuk akademik kok.”
Wiyan menghentikan kegiatannya sejenak. “Jadi menurut lo dia gak ganteng?”
“Ganteng secara visual sih iya."
“Kalau gue?” kini raut wajah Wiyan berubah serius.
“Ya ganteng luar biasalah!” Lail berkata dengan enteng, tapi dia jujur. Apalagi setelah tahu kalau kecerdasan linguistik Wiyan dimaksimalkan kemampuannya sampai dia mahir 12 bahasa.
Wiyan membuang mukanya. Ternyata selain rasis dan sarkas, ada kalanya Lail tidak tahu malu. Urat malunya pasti sudah putus. Wiyan menutupi wajahnya menggunakan telapak tangan sembari berusaha menormalkan detak jantungnya yang mendadak seperti baru berlari maraton.
Ah, seandainya Wiyan sebodoh Lail dalam masalah yang satu itu.
“Terus, lo bakal jatuh cinta sama yang gantengnya luar biasa, gak?” tanya Wiyan, kini detak jantungnya sudah tidak seantusias barusan.
Lail memandang Wiyan heran.
“Aku gak yakin sih. Ayolah Iyan, rasa cinta ke orang mah datangnya random. Belum tentu kita bakal jatuh cinta sama orang yang jadi tipe ideal kita. Perasaan cinta itu misteri yang lebih susah dipecahkan dibanding persamaan Helmholtz.”
Lail memotong kue tiramisu yang sejak tadi masih utuh karena terlalu fokus mengajari murid dadakannya di liburan semester. Masalah jatuh cinta ini ada di level hidup yang belum dicapai Lail. Padahal kalau masalah percintaan temannya, dia bisa jadi pelatih profesional. Namun kalau itu tentang dirinya, wah, tak ada harapan.
“Nih.”
Wiyan menyerahkan buku latihan soalnya pada Lail untuk dikoreksi. “Wuih, lumayan, ngerjain 5 soal cuma 30 menit.” Lail mengangguk bangga.
Lail meletakkan garpu di piring kecil. Dia mulai mengoreksi jawaban Wiyan. Meski lemah di pelajaran MTK, tapi dengan ingatan Wiyan yang awet, dia mampu mengerjakan soal-soal ini.
Wiyan yang tak mau bosan pun akhirnya mengintip kegiatan Lail. Tidak banyak yang dicoret oleh Lail, hanya dua saja karena Wiyan malah membuat rumusnya melintas ke rumus lain, kebiasaan buruk. Di soal kelima, Lail yang tak yakin nampak menghitung kembali hasil jawaban yang benar.
Wiyan menaikkan sedikit pandangannya dari kertas soal.
“...."
Wiyan terpaku pada pemandangan di sampingnya. Ah, gawat.
Wajah Lail yang tampak serius dari samping sangatlah canti–
Bruk!
“Woah!”
Seluruh isi kafe terkejut mendengar suara gebrakan yang begitu keras. Lail menatap ke arah Wiyan yang menjadi sumber kebisingan barusan. Kepalanya terbentur ke atas meja dengan sangat keras. Lail juga yang harus meminta maaf kepada seluruh pengunjung kafe karena telah mengganggu kenyamanan mereka.
Tatapan Lail pada Wiyan berubah garang, “Kamu lagi ngapain coba?!”
Wiyan mengangkat wajahnya, dia mengusap matanya sambil menguap.
“Gue ngantuk, La. Terus malah ketiduran.”
Lail memicingkan matanya.
Perasaan tadi masih melotot pas ngomongin orang ganteng.
Tak mau ambil pusing, akhirnya Lail lanjut mengoreksi soal terakhir. Wiyan, yang barusan pura-pura tidur karena panik hanya bisa membuang napas kasar.
...****...
“Cari apa, Ivan?”
Seorang wanita dengan pakaian modis dan berkelas, bertanya pada anak bungsunya. Itu karena anak bungsunya ini sejak tadi berlari mengitari rumah, benar-benar tidak menunjukkan sikap yang pantas sebagai anggota keluarga Wijaya.
“Kak Iyan, Mah. Mamah tau gak Kak Iyan ke mana?” tanya Rivan, dia sudah mencari ke semua spot di rumah ini yang kemungkinan besar disarangi oleh kakaknya.
“Iyan? Dia keluar. Dia pamit ke Mamah mau belajar kelompok sama temannya.”
Rivan mengangguk paham.
“Itu apa, Mah?” Rivan menanyakan lembar kertas yang dibawa sang mamah.
“Ini hasil tes kakak kamu.”
“Tes apa?”
“Entah, Papa kamu gak ngomong apa-apa sama Mamah.” Mamah hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh.
“Boleh lihat gak, Mah?” pinta Rivan.
Mamah pun memberikan lembar kertas itu pada Rivan. Rivan membaca setiap rangkaian kalimatnya dengan seksama. Matanya membulat sempurna kala matanya mencapai kalimat terakhir.
TBC