Perjuangan dan kesabaran seorang Langit Maheswara, berakhir sia-sia. Wanita yang selalu dia puja, lebih memilih orang baru. Niat hati ingin memberikan kejutan dengan sebuah cicncin dan juga buket bunga, malah dirinya yang dibuat terkejut saat sebuah pemandangan menusuk rongga dadanya. sekuat tenaga menahan tangisnya yang ingin berteriak di hadapan sang kekasih, dia tahan agar tidak terlihat lemah.
Langit memberikan bunga yang di bawanya sebagai kado pernikahan untuk kekasihnya itu, tak banyak kata yang terucap, bahkan ia mengulas senyum terbaiknya agar tak merusak momen sakral yang memang seharusnya di liputi kebahagiaan.
Jika, dulu Ibunya yang di khianati oleh ayahnya. maka kini, Langit merasakan bagaimana rasanya menjadi ibunya di masa lalu. sakit, perih, hancur, semua luka di dapatkan secara bersamaan.
Ini lanjutan dari kisah "Luka dan Pembalasan" yang belum baca, yuk baca dulu 🤗🥰🥰
jangan lupa dukungannya biar Authornya semangat ya 🙏🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu kembali
Di pagi hari buta. Langit sudah siap dengan kemeja kerjanya, menyusuri tangga menyapa orangtuanya dan adik-adiknya yang tengah menatapnya dengan wajah kebingungan. Bagaimana tidak, tidak seperti biasanya Langit pergi ke kantor di jam se-pagi ini, biasanya Langit akan pergi jam 7 atau sekitar jam 8. Langit tak sarapan, dia hanya menyalimi tangan kedua orangtuanya bergantian dan pergi begitu saja dengan senyum yang sebisa mungkin ia tampilkan, agar yang lainnya melihat bahwa dia baik-baik saja.
Laras menatap sendu punggung Putranya yang kian menjauh, jika di perhatikan lebih seksama lagi, tubuh Langit kini terlihat kurus yang mana membuat hati Laras sakit.
Deerrttt..
"Ibu sudah selesai, kalian lanjutkan saja makannya." Ucap Laras dengan memaksakan senyumnya.
Laras memundurkan kursinya, dia beranjak dari duduknya dan berjalan ke kamarnya mengakhiri sarapannya yang baru saja di makan separuh. Aiman menghela nafas panjang, begitu pun ketiga adik Langit yang langsung tak berselera makan saat jantung rumahnya pergi begitu saja.
*****
Langit tidak langsung pergi ke kantornya, melainkan ia mendatangi sebuah danau dengan banyak bunga yang mengelilinginya. melemparkan sebuah batu kecil di tangannya, melihat air danau yang bergerak begitu batu masuk ke dalamnya, setelah airnya kembali tenang. Langit kembali melemparinya dengan batu, sampai batu di tangannya habis.
"Tuan, boleh aku duduk disini?" Tanya seorang perempuan dengan pelan, Langit hanya diam tak mengalihkan pandangannya.
Berhubung hanya ada satu kursi, perempuan itu meminta izin pada Langit yang lebih dulu menempatinya.
"Duduk saja, ini tempat umum yang pastinya bukan milikku."Balas Langit datar.
Di kursi panjang berwarna hitam, perempuan itu duduk menatap lurus ke depan. Ada seekor burung yang mendarat hanya untuk meminum air danau tersebut, keduanya sama-sama melihat apa yang burung itu lakukan, sampai burung itu terbang kembali mengudara entah kemana.
Perempuan di samping Langit menatap lamat-lamat keatas udara, air matanya turun tanpa di komando. Ingin rasanya dia terbang bebas seperti itu tanpa adanya beban, padahal dia tidak tahu kalau burung yang terbang bebas juga belum tentu aman, banyak pemburu yang ingin menembaknya ataupun menangkapnya hanya untuk di masukan ke dalam sangkar.
Langit menatap kearah samping, dia melihat perempuan di sampingnya menangis, lantas ia menyodorkan sapu tangan ke hadapan gadis itu seraya bangkit dari duduknya.
"Apapun masalahmu, keluhanmu, keluarkan semuanya sampai tak bersisa. Aku tahu betul bagaimana rasanya menahan sesak yang sudah lama ku bendung, sampai akhirnya aku menderita sendirian, padahal apa yang aku tangisi saja belum tentu posisinya merasakan apa yang aku rasakan pula, atau bisa saja sebaliknya." Ucap Langit kemudian dia beranjak pergi.
Kejora, perempuan yang duduk satu kursi dengan Langit adalah Kejora. Gadis yang penah di tolong Langit beberapa hari yang lalu, dia menyembunyikan wajahnya karena tak ingin mendapat rasa iba ataupun terlihat menyedihkan di hadapan orang lain. Tangannya memang mengambil sapu tangan dari Langit, akan tetapi ia tak berani menatap wajah Langit, selain menatap punggungnya dari belakang.
"Benar katamu, Tuan. Aku terlalu lemah untuk mereka yang tak berperasaan, aku sedih dan menderita sendirian, justru apa yang ku rasakan ini sebaliknya dengan apa yang mereka rasakan." Ucap Kejora dengan senyum getirnya.
Kejora menatap kembali kearah Danau yang membuat hatinya tentram, sejak Kejora berada di rumah sakit. Tidak ada satupun sanak keluarga yang mencarinya atau bahkan menghubunginya karena beberapa hari tak pulang, dan esok adalah hari dimana pernikahan Kakaknya dan juga pria yang seharusnya menjadi suaminya itu tiba.
Beberapa panggilan masuk dari orangtuanya dan juga kakaknya, mereka memberikan pesan agar esok Kejora datang mendampingi mempelai wanita selama proses pernikahan itu berlangsung.
[Kejora, Ibu gak mau tahu! Besok, kamu harus pulang. Kamu harus dampingi kakak kamu, jangan merasa paling tersakiti disini, jangan juga terlalu memanjakan lukamu itu. Kakakmu berhak bahagia, kau hanya perempuan pembawa sial di rumah ini, jangan halangi cinta mereka yang saling berbalas. Dan jangan membuat onar!]
[Kejora! Berikan gaun pernikahanmu pada Kakakmu, besok dia harus memakainya karena dia yang paling cocok memakainya. Jangan berani membantah ucapan Papa lagi! Atau kaj akan mendapat hukuman yang lebih parah dari sebelumnya, camkan itu!]
[Gue harap loe serahin semuanya, loe gak pantas bahagia. So, i'm Winner! 😏 selamat menangis adikku yang paling menyedihkan]
Dada Kejora terasa sesak begitu mengingat pesan yang di kirimkan mereka untuknya, apakah salah jika dirinya ingi bahagia tanpa ada pilih kasih antara saudaranya. Mengapa hanya dia yang di perlakukan berbeda, bahkan tak segan mereka mencap Kejora sebagai pembunuh. Mengapa mereka tak membunuh Kejora saja, sakitnya sampai tak bisa di bayangkan lagi, kenapa harus dengan cara menghajar fisik dan mentalnya sekeji ini.
Kejora menangis meraung-raung di danau itu sendirian, tidak ada satu pun orang yang melihatnya karena memang masih sangat pagi. Ada orang lain pun, yakni Langit saja sudah pergi.
Tubuh Kejora bergetar hebat, ia sampai kesusahan mengatur nafasnya karena hidungnya sudah tersumbat dan dadanya pun sangat sesak. Lama menangis membuatnya tak sadarkan diri, dia terjatuh ke bawah kursi dengan tangan yang masih menggenggam sapu tangan pemberian Langit.
Langit kembali saat sadar kunci mobilnya tidak ada di dalam kantong celananya, dia mencari-cari kuncinya karena tebakannya kuncinya jatuh di sekitaran danau.
"Apes banget, mau pergi kunci malah ilang. Ceroboh amat si Langit, gimana bisa jagain orang yang di sayang, kunci aja bisa ilang." Gerutu Langit.
Langit melihat ke bawah mencari kesana kesini, tetapi ia tak kunjung menemukannya, sampai kakinya membawanya menuju kursi dimana ia duduk tadi. Alangkah terkejutnya Langit melihat gadis yang tak lain adalah Kejora tergeletak diatas rerumputan hijau, tidak ada orang lain selain dirinya, gegas Langit menghampirinya dan berjongkok memeriksa nafasnya.
"Enggak mati, kayaknya pingsan." Gumam Langit.
Beberapa kali Langit menepuk pipi Kejora, tetapi tidak ada respon sama sekali.
"Loh, bukannya kau gadis yang di pantai itu? Yang mau bunuh diri?" Tanya Langit saat ia mengingat wajah Kejora.
Dengan kebingungan, Langit pun mengangkat tubuh Kejora menunu mobilnya. Tak lupa Langit mengambil kuncinya yang tergeletak diatas kursi. Kejora Langit baringkan di belakang mobilnya, lagi-lagi dia membawa orang yang tidak di kenal, terlebih lagi gadis yang sama seperti tempo hari.
Langit melajukan mobilnya entah kemana arahnya, dia ingat betul ucapan Dokter yang menangani Kejora mengatakan bahwa keluarganya tidak akan peduli pada gadis yang berada di belakangnya.
"Bawa ke apart aja lah, kasihan juga. Di bawa ke rumah sakit bakalan makan banyak waktu, mana ada meeting penting lagi." Ucap Langit bermonolog menimang keputusan apa yang akan ia ambil untuk Kejora.
"Dah lah, nanti kan ada Bi Asih yang bisa jagain. Tinggal telpon aja si Bagelen , biar di periksa di Apart. Heran juga, kenapa ketemu pas dia pingsan? Apa Tuhan kirim gue jadi malaikat? Tapi gue banyak dosa, mana ada malaikat banyak kekurangan kek gue." Gumam Langit.