Medina panik ketika tiba-tiba dia dipanggil oleh pengurus pondok agar segera ke ndalem sang kyai karena keluarganya datang ke pesantren. Dia yang pernah mengatakan pada sang mama jika di pesantren sudah menemukan calon suami seperti kriteria yang ditentukan oleh papanya, kalang kabut sendiri karena kebohongan yang telanjur Medina buat.
Akankah Medina berkata jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada orang tua, jika dia belum menemukan orang yang tepat?
Ataukah, Medina akan melakukan berbagai cara untuk melanjutkan kebohongan dengan memanfaatkan seorang pemuda yang diam-diam telah mencuri perhatiannya?
🌹🌹🌹
Ikuti terus kisah Medina, yah ...
Terima kasih buat kalian yang masih setia menantikan karyaku.
Jangan lupa subscribe dan tinggalkan jejak dengan memberi like dan komen terbaik 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima Belas
Sedetik kemudian Medina mendongak sambil tersenyum meringis, setelah mengenali aroma wangi yang terendus oleh indera penciumannya. "Eh, Papa."
"Kelihatannya, anak papa ini sudah tidak sabar ingin kawin," kata Papa Mirza seraya mengacak puncak kepala sang putri.
"Nikah, Pap," sahut Aksa yang ternyata juga berada di sana.
"Maksud papa seperti itu, Bang."
"Ya, udah, sih, Pap. Nikahkan aja mereka berdua besok," usul Aksa. "Dari tadi Adik kayaknya memang udah ngebet pengin dikawinin sama Kak Hamam," lanjutnya sembari menatap Hamam yang masih duduk di hadapannya, di salah satu kursi di meja makan.
Pemuda bermata teduh yang ditatap itu hanya mengulas senyuman. Sementara Medina terlihat merona pipinya karena diledekin sang papa, juga Aksa di hadapan pemuda yang sudah membuat gadis itu gelisah tak karuan.
"Siapa yang ngebet, sih?" elak Medina untuk menutupi rasa malu serta kegugupan yang kini menguasainya.
'Tenang-tenang. Kamu harus tenang, Din. Belanda masih jauh,' batin Medina, menenangkan diri sendiri.
"Tuh, buktinya. Tahu Kak Hamam turun untuk ngambil minum, langsung kamu susulin. Apa namanya coba, kalau enggak ngebet?" lanjut Aksa yang belum puas menggoda sang adik.
"Dina haus, Bang! Mau minum!" balas Medina seraya berjalan menuju meja yang berada di sudut ruangan, di mana dispenser, dan rak penyimpanan barang pecah belah berada.
Akan tetapi, bukannya gelas yang diambil gadis cantik itu, tetapi piring hingga membuat Aksa tertawa penuh kemenangan. Begitu pula dengan sang papa yang ikut terkekeh. Sementara Hamam seperti biasa, hanya mengulum senyum.
"Katanya haus? Kok, yang diambil piring? Atau, jangan-jangan kamu lapar, Dik, karena memikirkan Kak Hamam?"
Tentu saja abangnya Medina itu meledek sang adik habis-habisan. Tak peduli pipi sang adik akan semakin merona karena malu. Bagi Aksa, yang penting bisa membuat Medina merasa kesal, dan dia menjadi senang. Memang benar-benar abang yang nyebelin. Itu sebabnya Medina suka kesal dengan Aksa.
"Pap! Abang, tuh, ngeselin!" Gadis itu mengadu sambil menyimpan kembali piring yang tadi dia ambil, lalu menghampiri sang papa yang kini sudah duduk di samping Aksa.
"Dasar, Bocil! Kang adu!" cibir Aksa. "Padahal udah mau nikah, tapi kelakuan masih aja kayak bocil."
"Abang, sudah." Papa Mirza akhirnya buka suara agar Aksa tidak terus-terusan meledek Medina.
Aksa pun terdiam, begitu pula dengan Medina. Sementara Hamam sedari tadi memang tidak membuka suara. Sejenak, keheningan pun tercipta di sana.
Beberapa saat kemudian, dehaman Papa Mirza mengurai keheningan. "Dina Sayang, apa kamu sudah memikirkan dengan matang jawaban untuk besok?"
Medina tak langsung menjawab. Gadis itu melirik Hamam dan dari ekor matanya, Medina dapat mengetahui jika saat ini Hamam tengah menatapnya lekat. Buru-buru, Medina mengalihkan perhatian sepenuhnya pada sang papa karena khawatir dia akan semakin gugup mendapatkan tatapan seperti itu dari Hamam.
"Bagaimana, Dik?" ulang sang papa, bertanya.
"Pap. Katanya cuma mau ambil minum? Kok, lama?"
Suara Mama Lila, mengalihkan perhatian mereka semua. Dan melihat kehadiran sang istri, Papa Mirza segera beranjak lalu menghampiri istrinya.
"Yah, gak jadi dengar jawaban Dina kalau mama datang," gumam Aksa.
"Kok, nyusul? Enggak sabar, ya, pengin lanjut ronde kedua?"
Benar saja, dugaan Aksa. Sang papa langsung menggoda mamanya dengan bisikan pelan. Tetapi karena malam telah larut dan suasananya begitu sunyi, suara berat Papa Mirza dapat didengar oleh anak-anak muda yang duduk di meja makan.
"Ish, si Papa udah tua masih aja genit!" protes Medina sembari berjalan melewati kedua orang tuanya begitu saja.
"Genit sama istri sendiri, tidak apa-apa, kali, Dik." Papa Mirza membela diri.
"Kalau kamu punya adik, mau 'kan, Sayang?" tanya Papa Mirza seraya terkekeh dan dengan sedikit mengeraskan suara karena Medina sudah mulai menaiki anak tangga untuk kembali ke kamar.
"Bodo, ah!" jawab Medina, kesal.
Aksa nampak masa bodo karena sudah sangat paham dengan kelakuan sang papa yang memang senang menggoda adik bungsunya itu. Sementara Hamam hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ke-absurd-an keluarga calon istrinya.
'Menarik,' gumam putra bungsu Kyai Umar dengan tatapan yang masih tertuju ke arah tangga, di mana tubuh Medina menghilang di sana. Entah apa maksud Hamam. Interaksi antara anak dan ayah yang sama-sama absurd itu, atau kah Medina yang menarik?
bersambung ...
🌹🌹🌹
Yah, gara-gara Papa Mirza jadi belum tahu jawaban si Dina. Sabar, yah...