Terdengar Musik yang terus di putar dengan kencang di sebuah bar hotel, disertai dengan banyaknya wanita cantik yang menikmati serta berjoget dengan riang. Malam yang penuh dengan kegembiraan, yang tak lain adalah sebuah pesta bujang seorang gadis yang akan segera menikah dengan pujaan hatinya. Ia bernama Dara Adrianna Fauza, gadis cantik dan manis, anak sulung seorang pengusaha sukses.
"Dar, gue ngak nyangka banget Lo bakalan nikah. Selamat ya bestie?" Ucap salah seorang gadis yang merupakan teman SMA dara.
"Iya. Makasih yah bestie. Gue doain semoga Lo cepet nyusul yah? Biar gantian, gue yang di undang." Ucap Dara sambil tersenyum.
Dara yang merasa haus pun segera mengambil sebuah jus untuk di minum, ia pun meminumnya.
Pesta terus berjalan dengan lancar, semua teman dara menikmati pesta dengan bahagia. Seketika dara yang sedang bersama dengan teman-temannya pun menjadi pusing. Mata menjadi sangat berat, pandangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
Dara tampak sangat bingung dan terkejut. Kedua bahu Dara jatuh lemas. Dia sedang tidak bermimpi, bukan?
"Ini rumah Tuan Brama? Kenapa Tuan Brama membawa aku ke sini?" Batin Dara.
Brama menatap singkat Dara yang tak bisa mengalihkan pandangan darinya karena masih belum tersadar dari keterkejutan. Dia lantas beralih memperhatikan orang tuanya yang seolah menuntut penjelasan dengan tatapan mata mereka.
"Jadi, kamu sudah memutuskan akan menikah dengan Nona Dara Vandella ini?" Tanya Robby Pranaja, ayah Brama.
"Iya," jawab Brama singkat.
Astrid Pranaja menghela nafas panjang ketika melihat wajah putranya. Dia kemudian memanggil Dara yang masih menatap Brama tak percaya.
"Dara," panggil Astrid.
Dara tersentak dan menatap Astrid tanpa menjawab. Dia bahkan tak mendengar ucapan Robby yang menyatakan bahwa Brama akan menikahi dirinya.
"Berapa usia kamu? Kamu terlihat masih sangat mudah," selidik Astrid.
"S-saya, umur saya 25 tahun,"jawab Dara.
Robby mengepalkan tangan di depan mulut sambil terbatuk-batuk ringan. Sementara Astrid langsung melototi Brama.
"Duduk disini!" Perintah Astrid pada Brama sambil menepuk tempat kosong di sisinya.
Brama menuruti sang ibu dan duduk seperti yang diperintahkan. Sedetik kemudian, tangan Astrid menarik telinga Brama dengan kencang.
"Awww!" Teriak Brama sambil menjauhkan tangan ibunya. Wajah brama merah padam karena malu di perlakukan seperti anak kecil oleh ibunya, dihadapan Dara pula.
"Apa yang mama lakukan?" Tanya Brama.
"Mama yang seharusnya tanya sama kamu! Apa yang kamu lakukan sekarang? Kamu tiba-tiba menculik seorang gadis dan mengatakan mau menikahinya? Kamu gila? Dia masih sangat muda! Tidak pantas dengan pria tua tidak laku seperti kamu!" Maki Astrid.
Apa? Menikah? Dara baru menangkap arah pembicaraan orang tua dan anak di depannya.
"M-maaf. Saya pikir, ada sedikit kesalahpahaman disini. Saya hanya mantan sekretaris Tuan Brama," ucap Dara membuat tiga orang di depannya memperhatikan dirinya. Dia menjadi sangat gugup karena ditatap secara intens. Dia pun menunduk.
Robby mendesah panjang. Dia sangat antusias ketika brama membawa perempuan ke rumahnya dan mengatakan ingin segera menikah.
Apalagi, Dara terlihat sangat cantik dan baik. Cocok dijadikan menantu dari pada semua wanita pilihan sang istri.
Masalah usia Dara, Robby tak begitu mempermasalahkannya. Dia justru bangga karena Brama dapat memikat gadis muda. Namun, ternyata Dara hanya sekretaris putranya. Karena itu, Robby langsung kecewa.
"Kamu hanya ingin menghindari perjodohan Minggu depan kan? Sampai membawa sekretaris kamu untuk di jadikan tumbal supaya mama membatalkan lagi perjodohan itu!" Ucap Astrid tampak begitu kesal kepada Brama.
Dara menghela nafas lega. Jadi, Brama hanya memanfaatkan dirinya untuk menghindari perjodohan. Sayangnya, rasa lega itu hanya sementara.
"Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan gadis ini. Apa pun kata kalian berdua, aku tetap akan menikah dengan Dara Vandella Minggu depan!" Tegas Brama dengan sikap berwibawa.
"Apa yang Anda katakan, Tuan? Anda bahkan menyuruh saya untuk mengundurkan diri dari perusahaan Anda dan saya sudah menuruti ucapan Anda. Saya sudah bukan karyawan Anda lagi. Anda tidak bisa seenaknya memanfaatkan saya seperti ini. Lagi pula, saya sudah punya calon suami." Ucap Dara tak terima dimanfaatkan oleh Brama begitu saja.
Astrid berdecak-decak sambil menggeleng-geleng pada Brama.
"Kamu memalukan! Mama tidak pernah mengajari kamu untuk merebut gadis yang sudah akan menikah. Kamu juga tidak pantas mendapatkan gadis semuda itu. Ingat umur kamu, Brama!" Ucap Astrid tidak habis pikir dengan kelakuan Brama.
"Gilang!" Teriak Brama seraya berpindah duduk ke sofa lain agar tidak dipermalukan oleh ibunya di depan Dara lagi.
Gilang masuk ke dalam ruangan sambil membawa kotak kardus dengan dua tangan. Dia kemudian meletakkan kotak itu di atas meja, lalu berdiri dibelakang sofa yang diduduki Brama.
"Apa lagi ini?" Tanya Astrid.
"Mama bisa membantu Dara memilih undangan itu," kata Brama seakan tak mengindahkan ucapan Dara dan Astrid.
Astrid membuka mulut lebar seraya memilah tumpukan contoh kartu undangan di dalam kardus itu. Dia lalu melihat Brama dengan mata terbuka lebar.
"Apa kamu serius akan menikah dengan dia? Kamu tidak boleh merebut calon istri pria lain." Ucap Astrid menggeleng-geleng tak percaya.
"Dara tidak akan menikah dengan siapa pun, kecuali denganku. Dua calon tunangannya sudah memutuskan hubungan dengannya." tegas Brama sambil bersedekap dada.
Dara terbelalak oleh pernyataan Brama. Jadi, Brama tahu jika Dara sempat akan menikah dua kali? Apakah Brama juga tahu jika dia pernah akan menikah dengan Aldo, keponakannya? Sejauh mana Brama tahu tentang dirinya? Benak Dara dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan itu.
"Jangan-jangan perjodohan kak Rangga dan Jeniffer Pranaja juga ulah Tuan Brama? Kak Rangga dan Aleta mungkin benar. Aneh sekali karena Jeniffer Pranaja tiba-tiba datang dan ingin menikah dengan kak Rangga disaat kami mau mendaftarkan pernikahan." Batin Dara menelan ludah dengan susah payah.
"Kenapa kamu menatap aku seperti itu? Cepat pilih undangan pernikahan kita. Dua jam lagi, perancang busana akan datang untuk mengukur gaun pengantin." Ucap Brama
Bibir Dara berkedut-kedut ingin sekali menyumpahi pria gagah dihadapannya itu. Brama sudah sangat keterlaluan memanfaatkan dirinya!
"Anda tidak bisa seenaknya saja memutuskan ini, Tuan. Saya tidak mau menikah dengan Anda! Anda cari saja wanita lain yang bisa dimanfaatkan untuk menolak perjodohan Anda! Saya harus pulang sekarang! Tuan Gilang, tolong antarkan saya keluar dari rumah ini." Pekik Dara.
Dara berdiri dan menunduk hormat kepada orang tua Brama.
"Maafkan ketidaksopanan saya, Tuan dan Nyonya Pranaja. Saya akan pulang sekarang." Ucap Dara.
Ketika Dara melewati Brama, pria itu langsung menahan lengan Dara. Ditariknya Dara sampai berputar dan hampir jatuh disamping sofa.
Brama yang melihat bahaya pada janin Dara itu segera memasang badan sehingga Dara ambruk dalam pangkuannya. Disaat yang sama, Brama dapat mencium aroma tubuh Familiar yang dirindukannya.
Kenapa Brama baru teringat aroma manis itu? Padahal, dia sering berada di dekat Dara selama ini. Brama merasa begitu bodoh karena tak menyadarinya lebih cepat.
Pembuluh darah disekujur tubuh Brama berdesir. Dia tiba-tiba mengingat gairah malam panas dengan Dara waktu itu. Mata Brama yang melihat sepasang mata indah Dara, berangsur turun menatap bibir merah muda yang tampak menggemaskan dan menggoda.
Dara mendorong kasar dada Brama dan berusaha berdiri. Brama pun tersadar dari lamunannya, tanpa melepas tangan Dara. Dia memaksa Dara duduk disebelahnya.
"Tuan, saya ingin pulang sekarang," pintah Dara dengan wajah memelas.
"Pulang? Mau pulang kemana? Rumah kamu ada disini mulai hari ini dan seterusnya,"balas Brama dengan nada final.
Dara menatap ayah Brama untuk minta tolong padanya agar membujuk Brama. Tetapi, Robby segera berpaling muka. Dara pun memohon kepada Astrid dengan tatapan matanya. Astrid hanya membalas tatapan Dara dengan kebingungan.
"Kita pulangkan dulu Dara ke tempat tinggalnya sekarang," ucap Astrid kemudian.
"Apa yang mama katakan? Dara harus segera memilih undangan pernikahan, lalu mencoba gaun pengantin. Jadwal kita sangat padat hari ini." Ucap Brama sambil menoleh ke belakang pada Gilang.
"Kamu sudah menyiapkan gedung pernikahan?" Tanya Brama pada Gilang.
"Sudah, Tuan. Anda tinggal memilih dekorasinya saja ingin dibuat seperti apa," jawab Gilang.
"Kamu bisa tanya Dara nanti. Siapkan saja contoh-contohnya agar Dara bisa langsung memilih. Aku tidak tahu seleranya." Ucap Brama.
Dara dan Astrid tercengang oleh semua persiapan Brama yang dilakukan secepat kilat. Sementara Robby hanya berdeham sambil mengangguk-angguk pelan.
"Pa, lakukan sesuatu sama anak kamu itu. Pernikahan bukanlah masalah sepele. Dia tidak boleh memaksa anak orang untuk menikah dengan dia. Kita bahkan belum kenal keluarga Dara." Desak Astrid.
"Kamu pikir aku bisa menghentikan keputusan anak itu? Kalau dia sudah memutuskan sesuatu, maka dia akan mendapatkannya dengan cara apapun." Ucap Robby menanggapi sang istri.
Di lain sisi, Dara tiba-tiba merasakan kram pada perutnya. Dia langsung memegangi perut dengan wajah pucat sambil meringis menahan nyeri.
Brama yang melihat perubahan mendadak Dara menjadi sangat panik.
"Ada apa? Perut kamu sakit lagi? Gilang, panggilkan dokter sekarang!" Ucap Brama.
Astrid pun ikut cemas. Apakah calon menantunya memiliki penyakit serius sehingga Brama terlihat begitu mencemaskan Dara?
Tidak. Selama ini, Astrid sudah memilih para wanita terbaik untuk dijadikan istri putranya. Astrid tidak mau memiliki menantu penyakitan!
"Brama, apa dia punya penyakit serius?" Ucap Astrid yang akhirnya bertanya karena sangat ingin tahu kondisi kesehatan sang calon menantu.
Brama tak sempat menjawab Astrid karena Faizal sudah sampai disana dengan nafas terengah-engah. Brama lalu membaringkan Dara di sofa dan Faizal pun segera memeriksa.
"Saya sudah bilang semalam. Nona Dara tidak boleh sampai memikirkan masalah yang berat. Kandungan Nona Dara masih lemah, Anda harus membantu Nona Dara beradaptasi dengan kehamilannya dan memberi dukungan padanya, Tuan." Ucap Faizal menghela nafas.
"H-hamil?" Ucap Astrid terkejut bukan main, begitu pun dengan Robby.
"Kamu ingin menikahi wanita yang sedang hamil?" Ucap Astrid menutup mulutnya yang ternganga.
"Tentu saja. Karena Dara sedang mengandung anak aku." Ucap Brama mengangkat bahu seolah apa yang dikatakannya bukanlah suatu masalah besar.
Hening. Semua terdiam setelah Brama membongkar aibnya sendiri.
Dara tercengang Sampai tak berkedip saat memandangi wajah pria itu. Kejadian hari ini terasa begitu cepat baginya. Dara baru ingat jika dokter Faizal yang memeriksa dirinya sejak semalam pun sudah tahu tentang kehamilannya.
Kenapa Dara baru sadar akan hal ini?
"A-anda!" Ucap Dara tak bisa berkata-kata.
Sejak kapan Brama tahu bahwa Dara sedang mengandung anaknya? Dara ingin menanyakan itu, tetapi suaranya hilang ditelan rasa keterkejutan yang begitu hebat.
"K-kamu! Jangan bercanda, Brama Pranaja!" Ucap Astrid ingin membentak putranya, tetapi suaranya justru terdengar lirih.
Brama masih duduk dengan santai dan terlihat seperti tak pernah melakukan kesalahan apapun.
"Bukannya mama selalu khawatir aku tidak akan punya anak karena selalu menolak pernikahan? Sekarang, mama sudah dapat menantu dan cucu sekaligus. Bukankah aku hebat?" Ucap Brama santai.
Mulut Dara terbuka sambil menatap Brama dan Astrid bergantian. Bagaimana bisa, orang setenang itu setelah melakukan kesalahan besar? Dan semudah itu Brama mengatakan kehebatannya yang justru merusak masa depan seorang gadis?
Dara menggeleng pelan seraya menutup mulutnya. Tak habis pikir dengan cara berpikir pria itu.
Dara telah mengalami banyak kesulitan karena Brama. Diusir dari rumah, tidak diakui sebagai anak, hingga terpaksa akan menikahi pria yang tak dia cintai. Hingga kandasnya hubungan Dara dan Aldo.
"Hebat?" Ucap Dara dengan suara bergetar.
Brama menatap Dara sambil mengangkat bahu.
"Kamu tidak ingat? Tenang saja, aku akan mengingatkan kamu nanti, setelah kita resmi menikah," balas Brama dengan mudahnya.
Ayah Brama yang sedikit terkejut pada awalnya itu pun berkata.
"Ya sudah. Urus saja pernikahan kalian secepatnya. Berapa Minggu usia kandungan calon menantu saya?" Tanya Robby pada Faizal
"Empat Minggu, Tuan. Nona Dara sering pingsan setiap kali dihadapkan oleh masalah yang membuatnya tertekan. Kita semua harus menjaga suasana hati Nona Dara agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada cucu Anda," terang Faizal sambil melirik Brama dengan tatapan menyalahkan.
(Maksa amat si Brama...)