Lara telah menghabiskan tiga belas tahun hidupnya sebagai wanita simpanan, terperangkap dalam cinta yang terlarang dengan kekasihnya, seorang pria yang telah menikah dengan wanita lain. Meski hatinya terluka, Lara tetap bertahan dalam hubungan penuh rahasia dan ketidakpastian itu. Namun, segalanya berubah ketika ia bertemu Firman, seorang pria yang berbeda. Di tengah kehampaan dan kerapuhan emosinya, Lara menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka.
Kisahnya berubah menjadi lebih rumit saat Lara mengandung anak Firman, tanpa ada ikatan pernikahan yang mengesahkan hubungan mereka. Dalam pergolakan batin, Lara harus menghadapi keputusan-keputusan berat, tentang masa depannya, anaknya, dan cinta yang selama ini ia perjuangkan. Apakah ia akan terus terperangkap dalam bayang-bayang masa lalunya, atau memilih lembaran baru bersama Firman dan anak mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syah🖤, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 04
Jangan lupa like komen dan votenya yah
Terimakasih;)
_
Tak lama kemudian, Dinda tiba di rumah Arini dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Arini duduk di sofa, masih dengan pakaian tidurnya, dan mata yang sembab akibat kurang tidur. Tanpa berkata apa-apa, Dinda memeluknya erat, memberikan rasa nyaman yang Arini sangat butuhkan saat itu.
“Sekarang, ceritakan semuanya,” kata Dinda pelan setelah mereka duduk.
Arini menarik napas panjang dan mulai menceritakan semuanya—tentang email yang ia temukan, tentang Lara, tentang hubungan David yang telah berlangsung selama lima tahun tanpa sepengetahuannya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah memperdalam luka yang ia rasakan, tapi ia tahu ia butuh mengeluarkan semuanya.
Dinda mendengarkan dengan seksama, wajahnya semakin mengeras seiring cerita Arini. “Tiga belas tahun? Dia... sudah selicik itu selama ini?”
Arini mengangguk, menunduk. “Aku nggak tahu harus gimana, Din. Aku... aku masih mencintainya, tapi di saat yang sama, aku benci sama dia karena dia sudah menghancurkan hidupku.”
Dinda terdiam sejenak, berusaha memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Rin, aku nggak akan bilang apa yang harus kamu lakukan. Tapi yang jelas, David sudah melakukan pengkhianatan yang luar biasa. Kamu harus memikirkan dirimu sendiri sekarang.”
Arini memandang sahabatnya dengan tatapan bingung. “Apa maksudmu?”
“Aku tahu ini berat, tapi kamu nggak bisa terus-terusan menderita seperti ini,” jawab Dinda tegas. “Kamu butuh waktu untuk memutuskan apakah kamu bisa memaafkannya atau tidak. Tapi jangan biarkan dia mengontrol hidupmu lagi. Kalau kamu masih butuh waktu, ambil waktu sebanyak yang kamu perlukan.”
Arini mengangguk, walau hatinya masih gamang. Ia tahu Dinda benar. David tidak bisa dengan mudah mendapatkan pengampunan setelah apa yang ia lakukan, tapi di sisi lain, perasaan cinta yang ia miliki masih ada—walaupun kini tercemar oleh pengkhianatan.
“Din, aku bingung,” suara Arini melemah. “Aku nggak tahu apakah aku bisa memaafkannya. Tapi aku juga nggak bisa bayangin hidup tanpa dia.”
Dinda menggenggam tangan Arini dengan lembut. “Kamu nggak harus memutuskan sekarang. Kamu punya hak untuk marah, untuk sedih, dan untuk memikirkan dirimu sendiri. David yang membuat kesalahan, bukan kamu.”
***
Hari-hari berikutnya berjalan seperti dalam kabut bagi Arini. David tetap memberikan jarak, seperti yang ia janjikan, tapi di rumah, keheningan di antara mereka terasa seperti dinding tak terlihat. Setiap kali mereka berada di ruangan yang sama, Arini merasakan kekosongan yang tak bisa dijelaskan. David tidak lagi menjadi pria yang ia kenal—atau mungkin, ia tak pernah benar-benar mengenal David.
Pada suatu malam, Arini duduk di ruang tamu, memandangi album foto pernikahan mereka yang tergeletak di meja. Foto-foto itu kini terasa asing baginya. Gambar-gambar yang dulu menggambarkan kebahagiaan kini hanya menjadi kenangan dari masa lalu yang terasa palsu. Arini merenung, mencoba mencari tahu di mana semuanya mulai salah.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal muncul di layarnya.
🗨️ "Aku tahu apa yang terjadi. Kita perlu bicara. - Lara."
Jantung Arini berhenti sejenak. Lara? Wanita itu menghubunginya? Tangannya gemetar saat memegang ponsel. Pesan singkat itu membuat darah Arini mendidih lagi. Bagaimana mungkin Lara berani menghubunginya setelah semua yang ia lakukan?
Arini menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tidak tahu apakah ini adalah trik atau upaya Lara untuk memperburuk situasi. Namun, di sudut hatinya, ada rasa penasaran yang mulai tumbuh. Apakah Lara ingin menjelaskan sesuatu? Apakah ada hal lain yang belum Arini ketahui?
Setelah berpikir beberapa saat, Arini membalas pesan itu dengan singkat.
"Apa yang kamu mau?"
Balasan datang dengan cepat.
"Kebenaran. Aku rasa kamu berhak tahu semuanya."
Arini terdiam, merasa hatinya bimbang. Lara telah menjadi sumber luka terbesar dalam hidupnya. Tapi jika memang ada kebenaran yang belum terungkap, mungkin ini adalah kesempatan untuk menyelesaikan semuanya—entah itu akan membawa kedamaian, atau justru memperdalam luka.
Malam itu, Arini duduk di meja makan, memandangi ponselnya yang kembali diam. Ia tahu, pertemuan dengan Lara akan mengubah segalanya, baik atau buruk. Dan kini, ia harus memutuskan apakah ia siap menghadapi kebenaran yang sesungguhnya.
Arini duduk di depan meja makan, menatap pesan singkat dari Lara yang masih ada di layar ponselnya. Jari-jarinya gemetar, seolah-olah ponsel itu bisa meledak kapan saja. Pikiran-pikiran berkecamuk di kepalanya—kebencian, rasa penasaran, dan ketakutan. Haruskah ia benar-benar bertemu dengan Lara? Apa yang bisa dikatakan oleh wanita itu yang belum ia ketahui?
Ia memutuskan untuk melangkah maju. Jika Lara ingin berbicara, maka Arini harus mendengar semuanya. Kebenaran, betapapun pahitnya, lebih baik daripada terus-menerus tersiksa oleh kebohongan dan ketidakpastian. Arini mengetik pesan balasan dengan hati-hati.
🗨️ "Kapan dan di mana kita bisa bertemu?"
Tidak butuh waktu lama sebelum Lara membalas.
🗨️ "Besok, di kafe xxxx di Jalan Senopati, jam 3 sore. Aku akan menunggumu."
Arini menutup ponselnya dan menarik napas dalam-dalam. Esok hari akan menjadi titik balik, tetapi entah ke arah mana hidupnya akan berubah. Pertemuan itu terasa seperti badai yang mendekat, tak terhindarkan dan menakutkan, tetapi sesuatu yang harus ia hadapi.
***
Keesokan harinya, Arini bangun dengan perasaan gelisah yang mencekam. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan tentang Lara—seperti apa pertemuan itu nantinya? Bagaimana ia harus menghadapi wanita yang telah berada di hati David sebelum darinya dan masih bertakhta di hati suaminya itu bahkan sampai sekarang ? Bagaimana jika Lara hanya ingin memperparah luka yang sudah ada?
Siang itu, sebelum berangkat, Arini berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan diri. Pakaian yang ia kenakan begitu sederhana , tapi rapi, menunjukkan bahwa meskipun hatinya berantakan, ia tidak akan membiarkan Lara melihatnya goyah. Ini adalah tentang kekuatannya sendiri, tentang membuktikan bahwa ia masih memiliki kendali atas hidupnya, meskipun perasaannya sedang hancur.
David tidak tahu tentang pertemuan ini. Arini memutuskan untuk tidak memberitahunya—ini urusannya, bukan urusan David. Jika ada sesuatu yang harus ia selesaikan dengan Lara, ia akan melakukannya sendiri.
Katanya perlu bicara ujung2nya perlu waktu lagi dan lagi baik sama lara juga sama arini beberapa bab muter itu2 aja, Maaf ya Thor kayak ceritanya hanya jalan di tempat aja 🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻