NovelToon NovelToon
Bukan Tulang Rusuk, Tapi Tulang Punggung (Penyesalan Papa Dari Anakku)

Bukan Tulang Rusuk, Tapi Tulang Punggung (Penyesalan Papa Dari Anakku)

Status: tamat
Genre:Tamat / Selingkuh / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Slice of Life
Popularitas:1.2M
Nilai: 5
Nama Author: Rositi

Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.

Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.

Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15 : Mendadak Diusir

“Kamu bisa urus sendiri, kan?” ucap pak Mahmud, ketus.

“Kalau memang enggak tahu atau setidaknya bingung, cukup tanya saja ke petugasnya, pasti diarahkan!” lanjutnya.

Sebagai seorang pembantu, sedekat apa pun hubungan mereka, Dewi langsung menyikapi dengan santun. “Iya, Pak. Saya bisa. Terima kasih banyak untuk semuanya,” ucap Dewi. Padahal, jadi masuk ke mobil untuk pergi ke KUA saja, belum. Pak Mahmud yang sempat masuk ke dalam mobil, mendadak keluar dari mobil dan baru saja, pria itu menutup pintu mobilnya dengan memban.tingnya. Dewi sampai kaget karena sebelumnya, pak Mahmud belum pernah begitu.

Hampir lima tahun lamanya Dewi mengabdi ke pak Mahmud dan ibu Aminah, tak pernah sekalipun pak Mahmud bersikap kasa.r atau setidaknya tidak sopan.

Karena pak Mahmud nyaris masuk rumah, Dewi juga segera bergegas pergi. Dewi ingin segera menyelesaikan gugatan perceraiannya. Bahkan mesk untuk kali ini, ia terancam melakukannya dengan berjalan kaki. Sebab selain jadi tidak ada yang mengantar, Dewi juga harus lebih hemat pengeluaran.

“Satu lagi,” ucap pak Mahmud dengan suara jauh lebih lantang dari sebelumnya.

Dewi yang mendengar itu langsung terjaga. Dewi refleks menoleh ke belakang dan mendapati di sana tetap hanya berisi dirinya dan pak Mahmud. Bahkan meski posisi pak Mahmud masih membelakanginya, Dewi yakin, tadi pak Mahmud juga masih berbicara dengannya.

“Mohon maaf, Pak. Tadi, ... tadi Bapak bicara dengan saya? Yang Bapak bilang, ... satu lagi?” santun lagi.

Sambil tetap membelakangi Dewi, pak Mahmud berkata, “Beres dari KUA nanti, bawa anak-anakmu pergi dari sini. Kalian tidak perlu bekerja apalagi berada di rumahku lagi!”

Jantung Dewi seolah lepas hanya karena mendengar apa yang baru saja pak Mahmud katakan. Dewi gelisah dan dadanya bergemuruh parah.

“Maaf, Pak. Memangnya, saya salah apa? Apakah ada pekerjaan saya yang kurang, atau anak saya, atau bagaimana?” ucap Dewi bersama air matanya yang jatuh membasahi pipi.

“Ini rumah saya, jadi saya berhak melakukan apa pun agar hidup saya dan istri saya kembali tenang!” tegas pak Mahmud sambil menatap tajam Dewi. Tega tidak tega, ia lebih baik mengusir Dewi dan anak-anaknya, ketimbang keharmonisan rumah tangganya dengan sang istri terusik.

Padahal, Dewi baru saja merasakan arti keluarga dari keluarga majikannya. Dewi sudah telanjur menganggap pak Mahmud dan ibu Aminah sebagai keluarganya. Namun baru saja, pak Mahmud mengusirnya dengan keji.

Kini, Dewi hanya bisa mengangguk-angguk paham di tengah air matanya yang berlinang. Namun, ia segera menyeka air matanya. “Baik, Pak. Saya benar-benar meminta maaf karena kehadiran saya dan anak-anak sudah membuat Bapak sekeluarga tidak nyaman. Terima kasih juga karena Bapak sekeluarga sudah sudi membantu sekaligus menampung kami, meski yang ada, kehadiran kami justru membuat Bapak sekeluarga tidak nyaman.”

“Kalau begitu, sekarang juga saya pamit izin pergi membawa anak-anak saya, biar tidak bolak-balik. Takutnya pas saya pergi tanpa anak-anak, saya makin merepotkan!” ucap Dewi. Ia tidak butuh persetujuan pak Mahmud. Dengan air mata berlinang, ia masuk sesaat setelah melepas sandalnya.

Yang langsung Dewi lakukan ialah mematikan televisi yang sedang Alif tonton. “Yang paling ditakutkan kalau kita hanya menumpang memang begini. Karena seenak-enaknya menumpang, hidup lontang-lantung di jalanan bahkan lebih baik. Enggak akan ada yang mengusik, apalagi mengungkit semua yang pernah diberikan,” batin Dewi sambil menutup toples camilan yang sedang dimakan Alif.

“Ma, kenapa?” lirih Alif.

“Enggak kenapa-kenapa, tapi kita harus pergi. Alif ikut Mama, ya. Dek Utari juga ikut!” lembut Dewi tak mau menunjukan kesedihannya. Meski di beberapa kesempatan, air matanya akan jatuh membasahi pipi.

Alif yang melihat air mata mamanya kerap berlinang, memilih patuh. Namun, ia menolak diemban karena ia sempat diwanti-wanti ibu Aminah. Karena efek baru melahirkan Utari, kata ibu Aminah Alif dilarang minta gendong ke mama. Mama tidak boleh angkat yang berat-berat termasuk itu menggendong Alif.

Tak banyak yang Dewi lakukan karena Dewi hanya membereskan semua barang yang ia beli dan itu tidak begitu banyak. Sisanya dan memang pemberian ibu Aminah dan pak Mahmud, sengaja Dewi tinggal tapi dalam keadaan rapi. Termasuk juga pakaian yang sedang Alif pakai, Dewi sengaja menggantinya lantaran itu pemberian ibu Aminah.

“Ma, pamit ke Ibu, enggak? Tadi ibu bilang, ibu mau tidur,” ucap Alif.

“Enggak usah. Kasihan ibu capek. Kita pamit ke bapak saja,” ucap Dewi dengan suaranya yang masih sengau.

Beres mengurus Alif, Dewi langsung mengemban Utari. Ia melakukannya dengan hati-hati, dan berakhir pamit kepada pak Mahmud. Di depan pintu masuk utama rumah, tampaknya pria itu sengaja menunggu. Pak Mahmud seolah ingin memastikan Dewi dan anak-anaknya benar-benar angkat kaki dari rumahnya.

“Kamu tidak membangunkan Ibu, kan?” ketus pak Mahmud.

Alif yang terbiasa disikapi hangat oleh pak Mahmud langsung takut. Sebab pria itu tak beda dengan Prasetyo ketika sedang marah. Alif sengaja bersembunyi di balik rok sebelah kanan milik sang mana.

“Tidak, Pak. Sumpah demi apa pun, saya tidak berani melakukannya,” yakin Dewi yang kemudian menyodorkan kantong keresek besar berwarna hitam di tangan kirinya. Karena kebetulan, tangan kanannya akan menahan Utari atau malah menggandeng Alif.

“Ya sudah, ... uang tabunganmu di Ibu tinggal berapa?” lanjut pak Mahmud yang memang tahu, Dewi menitipkan sejumlah uang kepada istrinya.

“Tinggal seratus, Pak. Namun, jika memang ada potongan, potong saja,” ucap Dewi langsung menolak ketika sang bos memberinya lima lembar uang seratus ribu. Uang yang bagi Dewi sudah sangat banyak karena kini masih tahun 1989.

Dewi hanya mengambil satu lembar uang seratus ribu, meski pak Mahmud memaksanya menerima semuanya. Kemudian, ia juga membuka kantong hitamnya dan menjelaskan detail pakaian maupun barang di dalamnya. “Yang dari Ibu maupun Bapak, saya simpan rapi di lemari.”

“Permisi, assalamualaikum. Tolong sampaikan salam, maaf, sekaligus terima kasih saya ke Ibu, Pak. Sekali lagi terima kasih banyak. Maaf juga kalau saya banyak salah!” ucap Dewi yang memang langsung pergi.

Setelah susah payah melangkah, menempuh perjalanan lebih dari satu kilo meter, sampailah mereka di KUA. Dewi mengurus semuanya. Layaknya arahan pak Mahmud, Dewi memang banyak bertanya, meminta arahan hingga semua berkas yang Dewi urus dinyatakan lengkap. Sebagian uang sisa yang Dewi ambil dari pak Mahmud juga terpakai untuk adminitrasi maupun pembayaran lainnya. Uang Dewi hanya tersisa tiga puluh ribu, dan hanya mengandalkan uang tersebut, Dewi dan kedua anaknya akan menggantungkan hidup.

“Bisa, ... aku bisa! Cari tempat tinggal yang bisa bayarnya dicicil. Sambil kerja, pasti ketutup. Mending sewa tempat tinggal daripada numpang bahkan meski itu numpang ke rumah bos sendiri,” batin Dewi. Ia tak langsung pergi. Sebab di bangku tunggu, Alif yang meringkuk di atas kantong, masih tidur pulas. Kemudian, yang Dewi lakukan ialah memandangi wajah cantik putrinya. Tak beda dengan Alif, dari tadi Utari juga sangat anteng.

“Harusnya segera diproses karena katanya sudah lengkap. Alhamdullilah, enggak harus berurusan dengan mas Pras lagi. Urusan dia mau kasih nafkah enggaknya terserah. Biar jadi urusan dia sama Allah. Bismillah masih ada rezeki untuk anak-anak, setelah ini, aku bakalan langsung mulai kerja lagi!” batin Dewi bersemangat. Meski adegan diusir pak Mahmud, masih membuatnya trauma.

1
Anonymous
bgsss
Sri Wahyuni
gak ada ponsel dulu tuh thor,aq 84 tuh dah masuk sd.jd tahu bener klo dulu gak ada ponsel.pager pun itu dah 90an
Sulfia Nuriawati
polisi zaman batu btl² mengerikan, mental jg akhlaknya hancur, g perlu sidang pk hukum rimba lbh bgs, yg kuat yg bener, skrg jg gt cm terttp tp tetap bs d lht masyarakat cm skrg lbh cuek tp skalinya deterjen yg bertindak hbs bersih d cuci semua
Sulfia Nuriawati
zaman knil polisinya cr mudah eh skrg byk oknum polisi yg cr uang menjual keadilan, jd g ada yg brbh ttp sm cm beda kasus jg sikonnya
Sulfia Nuriawati
Luar biasa
Eric ardy Yahya
miskin tuh keluarga Prasetyo . padahal sudah ketahuan keluarga Prasetyo tuh aslinya MOKONDO . eh masih saja dianggap benar sama mereka. memang ya keluarga Prasetyo semuanya bodoh
Eric ardy Yahya
salah Prasetyo sendiri yang otak udang , apalagi keluarganya yang sok merasa hebat tuh , punya anak tapi MOKONDO .
Eric ardy Yahya
memang ya si Prasetyo tuh keluarga MOKONDO . hey Pras , memangnya kalau cowok bersih rumah dianggap malu ? justru kalian sebagai cowok juga harus bisa berbakti pada istri , jangan karena pikir cewek bersih rumah kalian bisa santai tanpa buat apa-apa? kalian salah besar karena kalian tuh pemalas
Eric ardy Yahya
orang gila tuh si Prasetyo . memang dah ada ya keluarga macam ini yang otaknya gak pernah dipakai dan masih anggap dia paling benar .
Eric ardy Yahya
orang bodoh kayak keluarga Prasetyo , pantas dikasih hukuman disiksa tuh . biar tau rasa gimana dibilang benalu sama orang lain .
Ibrahim Efendi
daku gak ada komen apa2 ya thor. masih terus menikmati membaca karya author ini.🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏😁
Dorce
mau dong Thor
Dorce
waduh pak Mahmud ...sadar diri
dong
Dudeh Hamidah
Luar biasa
Hilmiya Kasinji
ini roman2 nya si Mijo rada gak bener nich . jadi curiga si Mijo main api
Hilmiya Kasinji
tega banget ya mbok e mas Abdul . pdhl disaat dia terpuruk kan mas Abdul yg berjuang
Hilmiya Kasinji
Luar biasa
Hilmiya Kasinji
nah itu baru bener mbak Dewi , buat apa bertahan kalo anak tetep jadi korban
Hilmiya Kasinji
mbak Dewi bertahan demi bisa anaknya gak jadi seperti dia ... tapi apa mbak Dewi gak bisa berfikir , lawong si alif aza sering dipukuli sama bapak dan keluarganya . kalo seperti itu kan lbh parah daripada masa kecil mbak Dewi . bisa ngrusak mental Alif juga
Hilmiya Kasinji
ijin baca kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!