Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7: Misi Pertama Sang Cassanova
‘Bisa gila gue mikirin kata-kata Papa semalem. Gue yakin, Mama masih ada, dia belum meninggal,’ batin Alfariel.
Pandangannya kosong menatap mangkuk yang berisi mie ayam, terlihat sangat menggiurkan, tetapi tidak bagi Alfariel. Dia hanya menyentuh sendok dan garpu tanpa berniat menyendok sesuap pun.
“Oi,” Abyan menepuk bahu Alfariel. “Dilihatin aja mie ayamnya, dia malu kalau terus dilihat kayak gitu.”
Alfariel tertawa sebentar. “Bilang aja mau minta. Modus receh, nggak menarik!”
Abyan membenarkan posisi duduknya. “Gue lagi belajar merayu, ternyata nggak mempan juga.”
Alfariel menaruh sendok dan garpu sambil menggeleng. “Lo sarap atau stres? Gue cowok, lo juga cowok. Emang gue bisa baper sama rayuan absurd kayak gitu?”
Alfariel menyeruput es jeruk pesanannya, sedangkan Abyan menatapnya dengan ekspresi yang semakin heran.
“Ke dokter, yuk!” ujar Alfariel tiba-tiba.
Abyan mengernyit. “Ke dokter? Buat apa?”
"Mau ngecek lo normal apa enggak. Ayo, sebelum terlambat!" jawab Alfariel dengan nada bercanda, tetapi cukup tajam untuk mengundang reaksi.
Tanpa ragu, Abyan langsung memberikan satu jitakan di kepala Alfariel. “Sarap lo.”
Alfariel mengusap kepalanya sambil menatap Abyan tajam. “Gue sakit hati sama perlakuan lo ini.”
“Yah, terus gue harus ngapain? Nangis bareng gitu?” Abyan balas menatapnya dengan tatapan sinis yang sama.
Keduanya tampak melempar tatapan sinis. Alfariel sebal karena mendapat hadiah spesial dari Abyan. Abyan juga tidak terima Alfariel mengejeknya seperti itu.
Abyan merogoh kantung celananya untuk mengambil ponsel. “Oke fix, gue marah sama lo selama lima menit.” Dengan gaya dramatis, Abyan memasang timer di ponselnya. “Dimulai dari sekarang.”
Alfariel menaikkan bahunya, dia mengalihkan pandangan ke mangkuk. Menyuap satu sendok mie ayam dengan terpaksa, sesekali melirik Abyan yang menaruh kepalanya di atas lipatan tangan. Sebenarnya Alfariel ingin sekali memakan bakso favoritnya, tetapi berhubung Pak Rahmat tidak jualan hari ini, Alfariel membeli mie ayam yang katanya paling enak se-SMA Global. Lagipula peraturan sekolah melarang siswanya keluar dari gerbang sekolah saat kegiatan sekolah masih berlangsung. Jadi percuma saja, Alfariel tidak dapat membeli bakso Pak Agus. Daripada Alfariel membiarkan perutnya konser musik keroncong, lebih baik makan mie ayam saja.
“WOHOOO .... ” teriak seseorang yang menghampiri mereka berdua. Tidak mungkin suara Gibran, pasti ini suara Fariz. Suara cempreng yang mudah dikenali. Jangan lupakan Zidan dan Gibran yang hanya tersenyum menyapa mereka berdua.
Alfariel menoleh malas lalu melanjutkan makannya. Abyan tidak merespons sedikit pun.
Fariz menyenggol Abyan, meminta respons Abyan dengan kedatangannya. Abyan masih terdiam. Kemudian, Fariz menjambak rambut Abyan dengan gemas.
“Ngapain, sih? Lagi enak-enak ngambek juga diganggu!” Abyan memukul tangan Fariz, ekspresinya kesal.
Fariz hanya terkekeh. “Lah, enak-enak ngambek, gaya banget.”
"Kenapa lo, Al? Wajah lo ngebet disumpelin kaos kaki. Sumpah, persis banget sama Pak Dastan." Zidan menatap Alfariel.
“Diem lo!” Alfariel menunjuk Zidan dengan sendok yang dia pegang. “Gue lagi ngambek.”
"Ya Allah, ada apa gerangan dengan kedua temanku ini?" Fariz menggaruk kepalanya sambil mendesah.
Zidan tiba-tiba berdiri, dia berteriak dramatis. "Kalian kesambet setan yang di parkiran ya?" tudingnya pada kedua temannya.
"Enggak," jawab mereka serempak.
Alfariel melirik Abyan, Abyan pun sama, hanya beberapa detik mereka langsung memalingkan wajah. Tidak boleh melakukan kontak mata dengan Abyan selama lima menit, itu perjanjian yang Alfariel buat untuk dirinya sendiri.
Gibran yang biasanya pendiam akhirnya membuka mulut. “Sama siapa, sih?” tanyanya memecah suasana.
“Sama dia,” jawab Alfariel sambil menunjuk Abyan. Abyan, tidak mau kalah, langsung menunjuk Alfariel dengan ekspresi kesal.
Fariz memukul keningnya sendiri merasa frustasi. “Ya udahlah, terusin aja marahannya. Gue nggak peduli. Gue ada misi yang lebih penting.”
“Lah, Riz,” ucap Abyan dengan nada lesu. “Kok lo nggak ngebujuk kita baikan, sih? Harusnya lo bilang, ‘Kalian jangan marahan lagi, kita teman satu geng harus kompak, nggak boleh bertengkar.’ Gitu, loh.”
Fariz langsung menirukan Abyan dengan nada mengejek. “Kalian jangan marahan lagi, kita teman satu geng harus kompak, nggak boleh bertengkar.”
Zidan yang sedari tadi menahan tawa akhirnya tidak bisa lagi menahannya. Suaranya terdengar seperti cekikikan yang ditutupi tangan. Dia tidak sanggup menahan diri melihat lelucon aneh tapi menghibur dari teman-temannya.
“Sampai kapan kita kayak gini terus?” Gibran mulai bosan dengan situasi alay ini.
“Bentar, nanggung nih kurang tiga detik lagi.” Abyan melihat timer yang dipasangnya tadi. “Nah, udah. Ayo, jalankan misi! Eh, btw kita udah baikan, Al.” Abyan mengulurkan tangannya pada Alfariel.
Alfariel menjabat. “Iya, iya,” ucapnya yang tetap menggunakan ekspresi datar.
Akhirnya mereka berlima berjalan beriringan meninggalkan kantin. Begini saja sudah menyita banyak perhatian siswi-siswi Global, apalagi jika mereka berhasil menjalankan misi pertama, pasti SMA Global menjadi trending topic dengan geng Black Secret yang lebih famous di bawah pimpinan cassavona tampan.
Alfariel seperti biasa berjalan paling depan. Dengan gaya santai, dia sesekali mengedipkan sebelah matanya kepada siswi-siswi yang menyapanya. Aneh memang, dia selalu mengelak jika dipuji oleh cewek, tetapi justru sering memulai interaksi lebih dulu.
“Dasar player berpengalaman,” gumam Fariz dalam hati sambil menahan tawa. Menurutnya, Alfariel layak mendapat predikat laki-laki cap badak. Kalau ada museum untuk player legendaris, Alfariel pasti jadi koleksi utamanya.
Tiba-tiba Alfariel menunjuk ke arah ruang kesenian. “Lihat!” serunya sambil menunjuk ruangan yang dipenuhi anak ekskul tari.
Zidan segera berkacak pinggang, ekspresinya ogah-ogahan. “Lo pengen kita ikut gabung sama mereka gitu?” tanyanya dengan nada skeptis. Dalam pikirannya, kalau sampai Alfariel menyuruh mereka bergabung, dia tidak akan segan-segan mendemo pemimpin mereka itu. Bahkan, kalau perlu Alfariel turun jabatan sekalian, lengkap dengan status player-nya yang semakin parah.
Alfariel menoleh ke Zidan dengan tatapan sebal. “Lo pikir gue mau? Kalau gue ikutan, popularitas gue sebagai cowok ter-famous dan paling tampan di sekolah ini bisa anjlok.” Nada bicaranya penuh percaya diri, bahkan menekankan kata ter-famous dan paling tampan.
“Hoek.” Gibran dan Abyan bergaya pura-pura muntah mendengar ucapan Alfariel yang memuji dirinya berlebihan.
“Gue juga paling pinter menaklukan hati cewek. Udah ganteng, alim, pinter, banyak yang suka lagi,” lanjut Alfariel.
Fariz merasa jengah, ingin dia mengakhiri segmen dramatis ini, persis FTV.
“Hoek.” Lagi-lagi Gibran dan Abyan mengulangi aksi pura-pura muntah mereka membuat suasana makin konyol.
"Ngapain kalian?" sergah Alfariel yang ditujukan pada mereka berdua. "Mau gue kasih hukuman?"
"Eits, ingat peraturan keempat, tidak boleh otoriter." Abyan mengingatkan Alfariel.
"Oke, oke." Alfariel berjalan lagi. "Oh ya, gue mau kasih peraturan bagi kalian. Pasal satu, pemimpin selalu benar. Pasal dua, jika pemimpin salah, anggota tidak boleh menyalahkan. Dan pasal tiga, kembali ke pasal satu." Alfariel berbalik menghadap mereka. "Paham?"
“Paham,” jawab mereka kompak meskipun jelas-jelas dengan nada terpaksa.
"Iyain aja dah, biar cepat kelar urusannya," bisik Fariz kepada Abyan.
Abyan merespons dengan mengangguk lesu.
Setelahnya, geng Black Secret mengendap masuk mengikuti arahan yang diberikan Alfariel. Anak ekskul tari meninggalkan ruangan sejak dua menit lalu, kesempatan emas bagi Alfariel dan teman-temannya untuk melakukan aksinya.
***
“Dinda, lo lihat selendang gue nggak?” tanya seseorang yang kebingungan mencari barangnya. Dia menyibakkan rambutnya lalu menggaruk kepala dengan kesal. “Huh.”
“Selendang lo hilang?” Dinda malah balik bertanya. “Punya gue juga nggak ada.”
“Lo taruh mana?” Perempuan dengan rambut panjang sepinggang itu kembali bertanya. Dia adalah salah satu anak ekskul tari namanya Mita.
Dinda menunjuk lantai tempat dia menaruh selendang. “Di sini.”
“Sama.” Mita menggaruk kepalanya, dia mengedarkan pandangan. Di sana ada gerombolan teman satu ekskulnya yang terlihat kebingung sama seperti dirinya.
“Kalian kenapa?” Mita sedikit berteriak.
“Selendang kita hilang, Mit. Semuanya,” jawab salah satu orang diantara mereka.
Terdengar suara ketukan lantai yang berasal dari high heels, sekejap bisa menghentikan keributan diantara mereka. Anak ekskul tari menghampiri ke mana suara itu berasal. Rupanya Bu Tya, pembina ekskul tari.
“Bu Tya, selendang kita hilang.” Mita mengadu mewakili teman-temannya. “Semua, Bu. Hilang.”
“Bagaimana bisa?” Bu Tya kaget, selendang murid-muridnya hilang dalam waktu yang bersamaan.
"Gak tahu, tap—"
"ITU DIA!" teriak Dinda sambil menunjuk pohon yang tak jauh dari ruang kesenian.
Semua selendang berada pada ranting-ranting pohon yang ditunjuk oleh Dinda. Perhatian mereka beralih ke arah sumber suara, tidak terkecuali siswa-siswi yang melintas.
“Astaga!” Mita membelalak kaget.
Bu Tya menggelengkan kepala. ‘Pelakunya pasti lebih dari satu, lebih tepatnya satu geng,’ batin Bu Tya sangat geram.
Di seberang sana, geng Black Secret tertawa puas. Alfariel dan yang lain bertos ria merayakan keberhasilan mereka. Misi pertama selesai, tetapi kali ini baru testing, belum ke misi yang sesungguhnya. Berhasil juga ternyata.
“Perfect, Bro!” ujar Gibran sambil memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.
“Yoi,” jawab keempat anggota lainnya serempak, wajah mereka penuh kemenangan.
Misi pertama mereka memang hanya sebatas uji coba, belum masuk ke aksi sesungguhnya. Namun, hasilnya sesuai rencana.
“Lo baca cerita Jaka Tarub, ya? Pasti dari sana inspirasinya.” ujar Abyan sambil terkekeh.
“Yap. Tapi bedanya, gue nggak perlu ngintip di sungai,” balas Alfariel dengan nada menggoda, membuat tawa mereka makin pecah.
Mereka kembali ke tempat persembunyian dengan rasa puas. Sementara di ruang kesenian, anak-anak ekskul tari sibuk memikirkan cara mengambil selendang mereka dari pohon tinggi itu. Di tengah kebingungan, Bu Tya hanya bisa menatap tajam ke arah pohon, berjanji dalam hati untuk mencari tahu siapa pelaku sebenarnya.
***
Bersambung …..