Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Anson memasuki ruangan papanya. Dari kemarin ia sudah ingin bertanya pada pria itu tentang Aerin, tapi baru sekarang ada waktu. Dia penasaran.
Laki-laki itu sudah duduk berhadapan dengan papanya yang biasa dipanggil orang-orang profesor Sadam. Tangan Anson memainkan sebuah benda yang ada di atas meja kerja laki-laki paruh baya itu.
"Kenapa, kau ingin menanyakan sesuatu?" tanya prof Sadam menatap putranya.
"Aku dengar kau yang memasukan perempuan bernama Aerin itu ke tim ku?" ujar Anson tanpa embel-embel menyebut Aerin dokter. Ia merasa aneh saja memanggil Aerin dengan sebutan dokter.
Apa karena Aerin adalah seseorang yang sudah ia kenal dari lama atau memang gadis itu yang tidak cocok menjadi dokter, sekali lagi itu hanya menurut pendapatnya saja.
Papanya, profesor Sadam menatap lelaki itu dengan alis naik turun.
"Ya benar. Kenapa, kau merasa keberatan?" tanyanya.
Anson mengangkat bahu.
"Tidak sama sekali. Aku tidak peduli, hanya saja staf yang lain merasa perempuan itu tidak cocok." katanya acuh tak acuh.
"Dia bukan perempuan itu Anson, panggil dia dokter Aerin. Biar bagaimanapun gadis itu adalah seorang dokter."
Kening Anson berkerut. Ia memicingkan matanya menatap laki-laki tua di depannya.
"Apa hubungan kalian? Kau tidak mungkin berselingkuh dengannya kan?" kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Anson.
Pria itu sungguh tidak akan melepaskan Aerin kalau sampai gadis itu merusak keluarganya. Mama kandungnya memang sudah meninggal, tapi bukan berarti ia tidak punya mama yang lain. Papanya menikah lagi dan istrinya itu cukup dekat dengan Anson.
Anson sudah menganggapnya seperti pengganti mamanya. Profesor Sadam pun langsung membelalak menatapnya.
"Kau gila? Bagaimana kau bisa memikirkan ide gila seperti itu?"
Anson tertawa. Dari ekspresi pak tua itu, sepertinya memang tidak mungkin dia punya hubungan yang special dengan Aerin.
Tapi ...
Bagaimana papanya bisa merekomendasikan gadis itu?
"Baiklah, karena kau penasaran aku akan bilang kenapa aku memasukannya ke tim-mu." ujar prof Sadam kemudian.
"Gurunya adalah profesor besar yang aku hormati, kebetulan sahabatku juga." kali ini Anson mengangkat kepala menatap papanya. Oh jadi begitu. Pantas papanya kenal Aerin. Entah kenapa hatinya merasa lega begitu mendengar perkataan papanya.
Pria tua itu menatapnya sebentar lalu melanjutkan perkataannya.
"Gurunya yang memberi rekomendasi padaku. Kau tahu, sahabat itu sepanjang hidupnya hanya menerima dua orang murid. Yang satunya sekarang bekerja sebagai dokter spesialis jantung terbaik di luar. Jadi, aku juga percaya kalau muridnya satu ini sangat berbakat juga. Kau pasti akan membutuhkan dokter-dokter berbakat sepertinya.
Anson tercenung. Apa dirinya tidak salah dengar?
"Kau yakin?" lelaki itu masih ragu. Mungkin saja sang profesor berbohong. Ia melihat papanya menggeleng.
"Aku tidak yakin pada gadis itu, tapi aku sangat yakin pada gurunya. Karena itu aku menempatkan dia di timmu. Kau bisa mengamatinya. Kalau dia tetap bermalas-malasan marahi saja, jangan keluarkan dari tim. Aku tidak enak pada profesor Dartan. Bagaimana jika gadis itu benar-benar adalah ahli bedah paling berbakat seperti yang dikatakan gurunya?"
Anson tersenyum paksa. Pikirannya terbagi. Apakah semua itu benar? Sepertinya tidak. Mana ada orang berbakat terlihat bodoh seperti itu. Lelaki itu tersenyum miring. Ia berdiri dari ruangan itu dan berbalik keluar.