NovelToon NovelToon
LOVE ISN'T LIKE A JOKE

LOVE ISN'T LIKE A JOKE

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Slice of Life
Popularitas:792
Nilai: 5
Nama Author: Yhunie Arthi

Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.

Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.

Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.

Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13. TIDAK DATANG?

...“Aku tidak tahu kenapa aku marah....

...Kenapa aku tidak bisa melangkah pergi,...

...ketika kelembutan memprovokasiku?...

...Demi daun yang mencintai angin dan semilirnya,...

...kurasa aku telah jatuh cukup dalam....

...Di jurang yang sama.”...

Ciutan burung yang terdengar dari luar jendela entah kenapa begitu merdu di telingaku. Kulihat hari ini cuaca cukup bagus, tidak panas dan tidak mendung pula. Melihat kondisi yang sempurna membuat mood-ku meningkat ke level senang, bersemangat atas apa yang akan menungguku hari ini.

Setelah kubersihkan tubuhku dengan guyuran air, tampaknya aku harus berlama-lama di depan lemari pakaian. Dengan kimono mandiku serta rambut basah tertutup handuk, aku hanya menatapi isi lemari dengan kebingungan. Walau sudah berhari-hari aku memikirkannya, aku masih tidak tahu harus mengenakan pakaian apa untuk acara hari ini. Jujur aku tidak pernah pergi selain dengan Dini dan Rini sebelumnya, sehingga aku tidak tahu pakaian apa yang pantas untukku kupakai jika ingin pergi dengan pria, terutama atasanku.

“Din, Rin, yang ini apa yang ini?” tanyaku pada dua temanku yang tengah bersantai menonton televisi, menunjukan dua pakaian yang mungkin tepat untuk kupakai.

“Memangnya lo mau kemana?” tanya Dini yang membuatku sadar kalau aku belum memberitahu mereka berdua tentang rencana nontonku dengan Bos Juna.

“Ah, itu. Mas Juna ngajakin nonton hari ini,” jawabku ragu-ragu. Berharap mereka tidak mengamuk karena aku tidak mengatakan tentang rencana menonton bersama ini kepada mereka berdua.

“Apa?!” seru Dini dan Rini bersamaan. Entah kenapa aku tidak terkejut dengan reaksi mereka berdua ini setelah mendengar kabar barusan.

“Serius Bos Juna ngajak nonton? Sejak kapan kalian deket?” tanya Rini tidak percaya dengan kabar yang baru saja ia dengar.

“Nggak deket juga sih, mungkin karena dia sering anter pulang jadi kami berdua udah kayak teman. Lagian dia janji ngajakin nonton karena beberapa hari lalu kami berantem kecil,” jelasku.

“Ciee! Akhirnya temen kita deket sama cowok juga, nggak tanggung-tanggung sama Manager lagi,” goda Dini saat melihat raut maluku ketika memberitahu mereka.

“Ehem, traktirannya ditunggu,” tambah Rini yang ikut-ikutan menggodaku. Senyum lebar terpasang sudah di wajah ayu gadis jangkung ini, membuatku malu setengah mati sekarang.

Aku mendelik pada mereka berdua, sepertinya salah telah memberitahu hendak kemana aku hari ini. “Berisik. Jadi, baju yang mana?” tanyaku.

“Nggak dua-duanya,” sahut Dini. “Yang feminim-an dikit kenapa sih, Yun. Lo itu mau ngedate, bukan mau main sama kita berdua,” sambungnya yang protes akan pilihan bajuku.

“Terus gue harus pake yang mana dong?” tanyaku.

“Baju yang beli minggu kemaren pas kita main bareng,” jawab Rini.

Aku mencoba mengingat pakaian mana yang ia maksud. “Yang warna biru putih itu?”

Rini mengangguk ditambah dengan dukungan Dini yang juga setuju dengan saran Rini barusan.

Cepat-cepat aku kembali ke kamar, mengunci pintu agar dua temanku itu tidak iseng masuk untuk menggodaku lebih lanjut lagi.

Kukenakan pakaian yang disarankan temanku, kelihatannya memang cocok untuk acara seperti ini. Tidak salah karena mereka memaksaku membeli pakaian tersebut minggu lalu, ada gunanya juga. Kukira akan tersimpan rapi saja di dalam lemari untuk waktu lama, mengingat aku jarang keluar atau memiliki acara untuk dihardiri.

Kukeringkan dan kurapikan rambut panjangku, membiarkannya tergerai melewati bahu. Kupatut diriku di cermin cukup lama, bertanya-tanya apa yang kurang dalam penampilanku sekarang. Untuk pertama kalinya aku merasa takut akan penampilanku sendiri, gugup mungkin. Biasanya aku cuek akan penampilan, memakai pakaian yang menurutku nyaman saja. Tidak peduli apakah terlihat feminim atau maskulin.

Setelah dirasa tidak ada yang kurang atau tertinggal, kukumpulkan keberanianku untuk pergi ke tempat tujuan yang sudah Bos Juna janjikan. Wajahku memanas karena malu mendengarkan dua teman baikku itu terus melemparkan ucapan yang menggodaku, membuatku justru merasa gugup sekarang.

Suasana di jalanan terlihat begitu ramai, mungkin karena hari libur sehingga banyak orang menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan atau keperluan masing-masing. Matahari juga tidak terlalu menyengat, cukup sejuk dengan semilir angin dimana-mana.

Sepertinya aku datang terlalu awal, mungkin karena terlalu bersemangat—aku sendiri tidak tahu bersemangat karena apa. Namun, pikiranku teralihkan ketika seseorang menepuk pundakku sebelum aku masuk ke dalam bioskop.

“Ayuni?”

Kutolehkan kepalaku, melihat sosok wanita bertubuh indah dengan paras cantik akan wajah berbentuk hati nan manis itu, yang selalu kuingat sejak pertama kali bertemu dengannya. “Oh, Mbak Hana? Kok bisa ada di sini?”

“Cuma lagi jalan-jalan aja, udah lama nggak ketemu ya. Kamu makin cantik aja,” pujinya tulus. “Apa kabar Indra? Udah lama juga nggak ngeliat dia,” sambungnya.

“Baik-baik aja, Mbak. Kak Indra masih kerja di tempat lama, di luar kota,” jawabku dengan senyum terbaikku.

“Nggak berubah juga dia, masih suka kerja keras. Suruh dia cari istri, jangan kerja terus. Kasihan kamu ditinggal terus dari dulu sama dia," protesnya akan kelakuan kakakku.

“Mbak Hana juga nggak berubah, masih muda aja kayak dulu,” pujiku jujur, karena memang ia salah satu perempuan yang pernah kutemui dengan paras cantik dan enak di pandang.

“Kamu bisa aja. Mbak ini udah jadi ibu-ibu, udah punya anak lagi, lucu kalau dibilang masih muda,” kekehnya.

Tidak banyak waktu kami mengobrol, karena sepertinya ia sedang menghabiskan waktu dengan keluarganya. Bisa kulihat suami dan juga anaknya melambai memanggil Mbak Hana dari tempat mainan, sehingga mau tidak mau ia harus ke sana.

“Ke rumah Mbak ya kapan-kapan, supaya ngobrolnya bisa lama.”

“Iya, Mbak. Kapan-kapan Ayuni main ke tempat Mbak, udah lama juga nggak main ke sana.”

“Iya, kalau gitu Mbak pergi dulu ya. Salam buat kakakmu tuh,” kata Mbak Hana seraya melambai kepadaku sebelum akhirnya ia masuk ke dalam toko mainan tempat suami dan anaknya berada.

Aku tersenyum ketika bisa melihat paras cantik itu lagi setelah sekian lama kukira berpikir kalau wanita itu telah pindah ke luar kota.

Mbak Hana adalah salah satu teman dekat Kak Indra sejak kuliah, dia bahkan pernah kerja di tempat yang sama dengannya selama beberapa tahun. Sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti dan menikah. Dari yang kulihat sepertinya kehidupan pernikahannya berjalan bahagia. Wanita itu satu-satunya teman Kak Indra yang ia perkenalkan padaku, alasannya karena ia perempuan jadi tidak masalah jika kami dekat nantinya. Terkadang sifat kakakku yang sok protektif itu bisa membuatku menggelengkan kepala.

Aku dan Mbak Hana cukup dekat, karena Kak Indra sering meminta Mbak Hana menjagaku saat Kak Indra tidak pulang ke rumah. Dan dari Mbak Hana pula aku banyak diajarkan tentang masalah-masalah pribadi perempuan. Mengingat orang tuaku telah tiada sejak aku kecil, sehingga tidak ada yang mengajariku untuk perihal penting tentang kewanitaan.

Aku mendudukan diriku di kursi tunggu di dekat pintu masuk bioskop, menunggu Bos Juna datang. Jarum jam di tanganku menunjukan pukul sebelas lewat sepuluh menit, sepertinya ia telat.

Aroma popcorn menguar di sepanjang lobi bioskop, hal yang paling kusuka ketika memasuki tempat ini. Rasanya sudah lama sejak terakhir kali aku menginjakkan kakiku ke bioskop, dan itu tentu saja dengan dua temanku. Kurasa setelah ini aku ingin mengajak mereka menonton lagi. Tapi harus kupastikan terlebih dahulu bioskop tidak menayangkan film horor, jika tidak aku harus siap-siap mau diseret oleh dua temanku itu untuk menontonnya. Entah kenapa mereka senang sekali mengajakku menonton film seperti itu, padahal mereka tahu betapa takutnya aku jika berhubungan dengan hal-hal berbau horor.

Menjadi seorang atasan di perusahaan yang cukup ternama kurasa tidak mudah. Dari yang kutahu Bos Juna memang sering sekali masih bekerja bahkan di hari libur demi kelancaran tanggung jawab yang diembankan padanya. Namun, apakah sesulit itu?

Entah sudah berapa kali aku melihat jam di tanganku, rutinitas yang kulakukan sejak tiga jam lalu selama duduk di tempat yang sama. Berkali-kali aku mencoba menelepon Bos Juna tapi ponselnya tidak aktif, entah sudah berapa pesan yang kukirimkan padanya.

Yang kulakukan selama menunggu hanya memerhatikan orang-orang di sekitar, dari yang mengantri tiket hingga mereka sudah selesai menonton film. Beruntung karena ada pertukaran shift kerja, jadi aku tidak menjadi bahan tatapan dari para pegawai di bioskop. Ada satpam baik hati yang mengajakku mengobrol, pria yang sudah terlihat berusia kepala empat kurasa atau lebih muda, aku tidak tahu. Setelah mengatakan kalau aku menunggu teman, ia membiarkanku duduk dengan tenang, dan mengajakku mengobrol agar aku tidak bosan atau menjadi bahan pembicaraan orang yang karena aku tidak pergi juga dari tempatku.

Seperti orang bodoh aku terus menunggu, tidak tahu kenapa aku enggan untuk beranjak pergi. Takut kalau tiba-tiba Bos Juna datang dan ia tidak menemukanku, kurasa itu akan membuatku merasa bersalah. Mungkin karena itu aku tidak ingin pergi.

Apa Bos Juna lupa kalau ia punya janji denganku?

Pikiran itu terus bergelayut padaku seiring waktu berjalan, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Aku berterima kasih pada satpam yang mau menemaniku mengobrol, memberitahunya kalau orang yang kutunggu tidak datang.

Aku berjalan ke luar bioskop, melangkah terus meninggalkan gedung besar yang membuat suasana hatiku buruk. Kulihat ponselku mati, baterainya sudah habis. Aku baru sadar kalau di luar sudah gelap, dan terkejut karena jam di tanganku sudah menujukan angka tujuh.

Kurasa aku tidak waras karena menunggu seseorang yang jelas tidak akan datang sejak terlambat satu jam di awal. Bodoh, itulah kata yang tepat untukku saat ini. Amat sangat bodoh.

“Ah, lapar,” kataku pada diriku sendiri, berusaha menghilangkan perasaan tidak enak yang kurasakan sekarang.

1
aca
lanjut donk
Yhunie Arthi: update jam 8 malam ya kak 🥰
total 1 replies
aca
lanjut
Marwa Cell
lanjut tor semangatt 💪
Lindy Studíøs
Sudah berapa lama nih thor? Aku rindu sama ceritanya
Yhunie Arthi: Baru up dua hari ini kok, up tiap malam nanti ☺️
total 1 replies
vee
Sumpah keren banget, saya udah nungguin update tiap harinya!
zucarita salada 💖
Akhirnya nemu juga cerita indonesianya yang keren kayak gini! 🤘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!