Namaku Melody Bimantara, umurku baru dua puluh dua tahun, tapi sudah menjadi Manager sebuah hotel bintang lima milik keluarga.
Yang membuat aku sedih dan hampa adalah tuntutan orang tua yang memaksa aku mencari lelaki yang bisa dinikahi.
Kemana aku harus mencari laki-laki yang baik, setia dan mencintaiku? sedangkan para lelaki akan mundur jika aku bilang mereka harus "nyentana"..
Tolonglah aku apa yang harus aku perbuat??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENUNGGU MAMA DI RUMAH SAKIT
Pembicaraan ku terhenti saat dokter Suprapto masuk menemuiku Dadaku seketika berdetak kencang, cepat aku berdiri dan menghampirinya. Aku bertanya dengan perasaan khawatir tentang keadaan mama ku.
"Bagaimana kondisi mama saya dok?"
"Tetaplah berdoa nona, kami para dokter akan berusaha semaksimal mungkin, demi kesembuhan mama nona."
"Trimakasih dokter."
"Nona Melody, saya minta persetujuan untuk operasi kecil untuk menyedot cairan yang ada di jantung. Setelah di rontgen ada cairan di jantung." jelas dokter Suprapto memperlihatkan hasil rontgen.
"Apakah tidak ada jalan lain dok? saya ngeri mendengarnya, kalau harus di operasi." ucapku ketar ketir.
"Kita membuat sayatan kecil supaya selang bisa masuk, untuk mengeluarkan cairan. Operasi ini tidak berb4haya dan tingan. Kami melakukan operasi di ruangan ini, tidak seperti operasi besar yang harus dipindah ke ruangan operasi."
Aku manggut-manggut seolah mengerti, dalam hati perasaan takut kehilangan tetap mendominasi. Takut terjadi sesuatu yang membuat aku menyetujui.
"Saya menyerahkan kesembuhan mama sepenuhnya kepada dokter. Silahkan lakukan sesuatu demi kebaikan mama."
"Jika nona setuju silahkan tanda tangan di bawah ini." ucap dokter Suprapto menaruh surat persetujuan operasi.
Aku cepat membubuhkan tanda tangan, ada rasa pedih di hati. Apalagi melihat peralatan medis yang menempel di dada mama, seperti tidak ada harapan."
"Dokter, boleh saya menengok mama?"
"Kami sedang berdiskusi dengan dokter penyakit jantung dan dokter amnesty. Untuk malam ini nona belum boleh menengok mama, semoga besok bisa."
"Baiklah semoga ada keajaiban." sahutku kecewa.
Aku kembali duduk disamping Arunakha. Keberadaannya membuat aku sedikit nyaman, aku memang butuh teman curhat yang bisa membantuku untuk mengusir kesedihan.
Terhitung sudah tiga hari aku keluar dari rumah Arunakha, pertamanya aku senang merasa bebas, bisa pulang ke rumah, tapi itu cuma sebentar.
Kenyataannya sangat meny*dihkan mama sakit dan papa bersel*ngkuh dengan teman, ini yang membuat aku h4ncur. Aku merasa tidak berdaya merubah semua ini menjadi seperti semula.
Ternyata kekayaanku tidak bisa membuat mama bangun dari komanya, atau papa sadar dari persel*ngkuhannya. Rasanya lebih baik hidup sederhana yang penting mama sehat.
"Siapa yang memberitahumu kalau mama opname dan aku ada disini?" tanyaku mengambil air mineral di atas meja.
"Aku kerumahmu, sepi sekali disana cuma ketemu Sri dan dua orang pelayan. Yang lain mungkin berada di rumah lain. Dialah yang memberitahu kalau mama sakit dan kamu ada disini. Tadinya dia tidak mau memberitahuku, setelah aku katakan bahwa aku suamimu barulah dia buka mulut dan bisik-bisik di kupingku."
"Padahal aku menyuruh merahasiakan keberadaan mama." ucapku.
Kesal juga kepada Sri, dia tidak bisa jaga mulut, gimana kalau papa dan w4nita j4l4ng itu dikasitahu juga.
"Mungkin Sri kasihan padaku. Jangan mem4rahinya, kau harus berterimakasih pada Sri, gara-gara dia kita bisa bertemu."
"Aku tidak marah hanya kesel saja, kalau kamu saja bisa di kasih tahu, apalagi Julianti dan papa yang bertanya, bisa-bisa semua rahasia dibongkar."
"Benar juga, bukankah wajar kalau papa di kasih tahu, orang dia suaminya."
"Panjang ceritanya dimana papa dan Julianti, bersama-sama atau perorangan memberi mama obat pelemah saraf yang mengakibatkan mama lumpuh."
"Jangan cepat memberi statement yang belum tentu benar. Bukankah obat itu dari dokter yang merawatnya, jika terjadi efek samping itu wajar karena pemakaiannya terlalu lama."
"Lihat saja nanti mereka mau membunuh mama ku perlahan-lahan. Keinginannya sudah tercapai, mama sekarang sekarat."
"Aku tidak senang kamu menuduh papa dan memusuhinya. Dia orang tuamu yang harus disayang, dihormati. Jika kamu membuat papamu marah gimana nanti nasibmu dan nasibku."
"Paling aku dibuang tidak dapat warisan dan kamu dipecat." ucap ku menakutinya. Aku ingin tahu reaksinya jika aku miskin.
Wajah Arunakha memucat, aku senang melihatnya. Tanpa harta warisan apakah dia mau denganku atau dia akan kembali dengan Belinda.
"Aku akan bicara kepada papa, kamu juga harus mengalah, jadi anak yang baik dan jangan jadi anak durh4ka."
"Gimana aku bisa baik dan mengalah kalau mereka berdua bersel*ngkuh dan membuat mama ku menderita. Aku belum tau cerita lengkapnya, aku harus mencari pelayan yang dulu bekerja di rumahku. Meteka pasti tahu mulai kapan mama sakit."
"Yank, kamu jangan kaku, sujud kepada papa, minta maaf. Laki-laki bersel*ngkuh itu hal wajar. Asal tetap pulang ke rumah."
"Begitu prinsipmu. Berarti kamu membela papa. Suami m*skin dan jelek lebih bisa di ampuni, kalau sampai bersel*ngkuh, aku lebih baik cer4i." ucapku tegas.
"Kita menganut budaya patriarki yaitu sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam segala bidang. Laki-laki adalah raja yang harus di hormati, di turutin."
"Tapi tidak harus sel*ngkuh dong, enak aja mau menang sendiri. Lebih baik tidak menikah daripada tersiksa bathin." ucapku kesal. Arunakha seperti orang ortodoks yang tidak punya empati.
"Makanya aku tidak mau meresmikan pernikahan kita di catatan sipil, karena aku sudah tahu sif4tmu yang tidak pernah punya rasa sayang dan cinta padaku. Kamu mata duitan dan egois." sambungku lagi. Aku marah padanya.
Kami terus berdebat sampai jam dua malam, dia membuat aku marah. Dia takut aku menjadi anak durh4ka dan tidak dapat warisan.
"Aku tidak perlu warisan yang penting bisa kerja dan hidup tidak di atur."
"Terus warisan siapa yang ngambil?"
"Julianti karena dia pendamping papa yang baru. Aku tidak masalah lebih baik kerja sendiri."
"Ahh...aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu. Jadi m*skin itu tidak enak. Tolong dengarkan aku, minta maaf kepada papa supaya kamu dikasi warisan."
"Aku juga jadi berpikir kalau kamu miskin, karena nyentana di rumahmu tanggung jawabnya berat. Perlu modal besar untuk menjalankan tugas adat."
"Biarlah kamu bilang diriku kaku, tidak punya etika, anak durh4ka, tidak apa-apa. Itu yang aku mau supaya aku bebas, tidak perlu mencari lelaki untuk dinikahi. Aku bebas nikah dengan orang yang aku cintai."
"Kalau itu yang kamu inginkan silahkan, aku juga tidak mem4ksa lagi, capek!"
"Berarti kita jadi cerai?" tanyaku pura-pura sedih.
Arunakha meneguk air mineralnya sampai tuntas. Aku yakin kep4lanya panas dingin memikirkan tidak jadi k4y4. Dasar mata duitan.
"Sebenarnya aku tidak masalah kamu kaya atau miskin, aku yakin kita bisa hidup walaupun papa nanti memecatku. Cuma ibuku dan adikku yang akan kecewa berat jika tiba-tiba ekspektasinya di luar nalar." ucap Arunakha lesu.
"Makanya jangan kamu putuskan Belinda, dia k4ya, orang yang setia denganmu."
"Aku sudah putus dengannya. Kami tidak pernah berhubungan lagi. Rencananya aku fokus padamu, mulai hidup serumah dengan bahagia, punya anak." ucapnya seraya mem*lukku.
*****
onel dapatt dari mana si munarohhh iniii??
aduhhhhh kasiannn itu yang tak bisa tumpah
. tapi udaaa penuhhh di otak