"Putuskan anak saya sekarang juga! Saya sudah menyiapkan sosok laki-laki yang lebih pantas buat dia daripada kamu yang hanya seorang montir."
"Maaf Pak, tapi anak anda cintanya cuma saya."
Satya Biantara, seorang pria yang hanya bekerja sebagai montir tiba-tiba malah di buat jatuh cinta oleh seorang gadis dari keluarga kaya, dia lah Adhara Nayanika.
"Mas Bian, kita kawin lari aja yuk!"
"Nggak ah capek, enak sambil tiduran."
"Mas Biaaaaannn!!"
Follow IG : Atha_Jenn22
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atha Jenn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Kurang lebih dua jam Bian berada di ruang operasi, Dhara sedari tadi duduk dengan mulut yang tak hentinya melantunkan doa pada sang pemilik jiwa dan raga. Bhumi menyodorkan minum pada Dhara dan juga Aletta.
"Makasih Mas Bhumi," ucap Dhara menerima air minum itu, Bhumi pun mengangguk dan tersenyum tipis pada Dhara.
"Apa ini ulah Papa lu?" tanya Bhumi to the point pada Dhara.
Dhara menunduk, melihat itu Bhumi sudah bisa menyimpulkan kalau memang semua itu ulah Papa dari Dhara.
"Gue kira kalau gertakannya nggak sampai mengancam nyawa seperti ini, kalau tahu sampai sejauh ini nggak akan gue dukung Satya buat jadiin lu kekasih Dhara, jadi sekarang gue mohon sama lu Dhara, tolong jauhi Satya, gue nggak mau teman gue satu-satunya mengorbankan nyawa hanya demi cinta."
Untuk pertama kalinya Dhara dapat melihat sisi lain dari seorang Bhumi Dirgantara, pria yang selalu bersikap slengean itu tiba-tiba berubah menjadi sosok yang begitu serius.
"Aku bakal tinggalin Mas Bian, Mas Bhumi tenang saja setelah ini aku jamin kalau Papa tidak akan mengganggu Mas Bian lagi," ucap Dhara yakin, Bhumi yang mendengar itu hanya mengangguk, dia sendiri sudah dapat memastikan bakal seperti apa tanggapan Bian nanti, tapi ini demi keselamatan pria itu juga.
Akhirnya dokter pun keluar dari ruangan itu, semuanya langsung berdiri. Dhara langsung menghampiri dokter.
"Dokter bagaimana keadaan pasien?" tanaya Dhara.
Dokter tersenyum menatap Dhara," Dhara sebelumnya maafin Om ya, Om hanya menunggu perintah."
"Saya nggak mau dengar apa-apa dokter, saya hanya ingin mendengar bagaimana kondisi pasien," Dhara menatap dokter tersebut dengan tatapan datar dan dingin.
Bhumi yang melihat itu sudah dapat menyimpulkan jika dokter tersebut adalah keluarga Dhara.
"Operasinya berjalan lancar, cuma mungkin pasien harus menjalani terapi untuk latihan berjalan, kakinya ada yang patah."
"Apa ada luka yang serius lainnya?" tanya Dhara.
Dokter menggeleng, "Untungnya tidak ada, tapi saya salut, padahal katanya dia di tabrak begitu kencang tapi tubuhnya lukanya tidak terlalu parah, mungkin kalau orang lain sudah dalam kondisi kritis."
"Kalau begitu terimakasih atas kerja kerasnya, semoga lain kali pelayanannya bisa lebih baik lagi."
Setelah mengatakan itu Dhara langsung berlalu begitu saja. Bagi Dhara yang penting adalah kondisi Bian, selama pria itu tak ada yang parah Dhara sudah cukup lega.
"Ra, lu mau kemana?" tanya Aletta.
Dhara pun menoleh, "Gue harus pergi Ta, gue nggak mau Mas Bian kenapa-kenapa lagi gara-gara tetap menjalin hubungan dengan gue."
"Tapi setidaknya lu temui dia dulu dong Ra, lu nggak kasihan sama dia?"
"Kalau gue ketemu lagi sama dia, gue takut nggak bisa tinggalin dia Ta, gue takut hati gue lemah Ta," jawab Dhara dengan air mata yang sudah menganak sungai.
Aletta langsung meraih tubuh Dhara, Aletta memeluk dan mengusap-usap punggung Dhara.
"Semuanya akan berlalu cepat Ra, gue yakin lu bakal bisa melewatinya."
Aletta dapat melihat Pandhu yang berjalan ke arah mereka.
"Dek..." panggil Pandhu pada Dhara, Dhara yang melihat sang Kakak langsung beralih memeluk Pria itu.
"Maafin Kakak yang nggak bisa bantu kamu ya Dek, kakak ingin tapi Kakak sendiri nggak bisa," ucap Pandhu pada Dhara.
Dhara diam, wanita itu hanya bisa menangis di pelukan sang Kakak. Pandhu mengajak sang adik pergi dari rumah sakit.
Sementara itu Bian pun sudah sadar, pria itu mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang di lihatnya sebelum dirinya masuk ruang operasi tadi.
Bhumi yang melihat sang sahabat sudah sadar pun langsung mendekat.
"Sat, lu mau minum?" tawar Bhumi.
Bian pun menggeleng,"Dha-Dhara..."ucapnya lirih.
Bhumi mengepalkan tangannya kuat-kuat, "Sat sebaiknya lu jauhin Dhara ya, ini demi lu Sat, gue nggak mau nyawa berharga lu itu hanya di anggap mainan oleh Papanya, gue nggak terima Sat," jujur Bhumi,Bhumi tak hanya menganggap Bian sahabatnya tapi Bian sudah seperti saudara bagi Bhumi, jadi saat Bian sakit seperti ini Bhumi ikut merasakan sakitnya.
Bian mengernyit mendengar perkataan Bhumi, "Lu kenapa? Kemarin-kemarin lu yang semangatin gue buat dekat sama Dhara, kini kami udah deket kamu malah berubah begitu?" tanya Bian.
"Asal lu tahu Sat, yang bikin lu kayak gini orang tuanya Dhara, gue nggak terima Sat, sahabat gue yang udah gue anggap saudara gue sendiri harus di celakai seperti ini."
Bian tersenyum, dia bukan orang bodoh yang tak tahu unsur kecelakaan ini memang karena di sengaja.
"Bhum, rupanya lu sesayang itu ya sama gue/' tanya Bian sambil terkekeh.
"Bisa-bisanya lu ketawa gitu bangsat! Gue tadi udah nangis-nangis taku lu kenapa-kenapa tapi malah lu cengengesan begini, emang kampret lu Satya," omel Bhumi, Bian hanya tertawa pelan.
"Gue pengen ketemu Dhara Bhum," pinta Bian menatap Bhumi memelas.
"Nggak sekarang, gue nggak tahu rumahnya juga, gue nggak mau berurusan sama Bapaknya, gue masih sayang nyawa gue," ucap Bhumi sedikit menyindir Bian.
"Tanya Aletta, gue tahu kalau lu ada something sama tuh anak," ucap Bian membuat Bhumi seketika tertegun.
"Ternyata lu sekalinya jatuh cinta kayak gini ya Sat, lu kemarin sama Raya bebal tapi ternyata sekarang lu lebih bebal lagi."
"Dia patut di perjuangkan Bhum, gue pengen bawa dia keluar dari sangkar emas yang mengurungnya."
"Tapi meskipun dia terkurung dalam sangkar emas setidaknya semua kebutuhannya terpenuhi dan tak kekurangan apapun. Sedangkan kita, hidup kita bebas tapi kita masih sering merasakan apa itu kekurangan. Jadi lebih menyedihkan siapa dia apa kita?"
Bian terdiam, perkataan Bhumi bagai hantaman besar di dadanya, dia dan Dhara berbeda. Sangat amat berbeda, dan kini keberanian Bian pun sedikit menyurut, apakah dirinya memang pantas untuk Dhara, atau memang udah waktunya dia menyerah dengan hubungan ini.
****
Sementara itu Dhara sampai di rumahnya, wanita itu turun dari mobil dengan raut wajah yang sangat tidak bersahabat.
Dengan langkah malas Dhara memasuki rumahnya, di ruang tamu terdengar suara tawa seseorang, siapa lagi kalau bukan sang Papa dan di depannya ada Arsen yang kini tengah menatap ke arah Dhara. Dhara menatap kedua pria di depannya itu dengan pandangan yang sengit.
"Dhara tunggu!" titah sang Papa.
Dhara menghentikan langkahnya, "Sini sayang, Papa mau bicara serius sama kamu>"
"Papa mau bicara apa?"
"Minggu depan kamu dan Arsen akan bertunangan, kamu mau tema yang seperti apa? Papa akan merayakannya dengan mewah dan megah."
"Terserah Papa mau pesta yang seperti apa, aku hanya akan menurut apa saja yang akan aku lakukan agar Papa tidak mengganggu orang yang aku cintai dan sayangi," ucap Dhara penuh penekanan. Setelah mengatakan itu Dhara berlalu meninggalkan sang Papa menuju kamarnya. Kepala Dhara rasanya begtu berisik dan pening di saat yang bersamaan seperti ini.
/Sob//Sob/