Ellia Naresha seorang gadis kecil yang harus menjadi yatim piatu diusianya yang masih sangat muda. Setelah kepergian orang tuanya, Ellia menjalani masa kanak-kanaknya dengan penuh siksaan di tangan pamannya. Kehidupan gadis kecil itu akan mulai berubah semenjak ia melangkahkan kakinya di kediaman Adhitama.
Gavin Alvano Adhitama, satu-satunya pewaris keluarga Adhitama. Dia seorang yang sangat menuntut kesempurnaan. Perfeksionis. Dan akan melakukan segala cara agar apa yang diinginkannya benar-benar menjadi miliknya. Sampai hari-hari sempurnanya yang membosankan terasa lebih menarik semenjak Ellia masuk dalam hidupnya.
Cinta dan obsesi mengikat keduanya. Benang takdir yang sudah mengikat mereka lebih jauh dari itu akan segera terungkap.
Update tiap hari jam 08.00 dan 20.00 WIB ya😉🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabur
Dok ... Dok ... Dok ... Dok
"Hei bangun! Sampai jam berapa kau ingin tidur, huh ...?!" Teriak Tevin sembari menendang pintu kayu kamar Ellia.
Ellia langsung terkesiaP bangun dengan terkejut. Gerakan tiba-tibanya itu membuat kepalanya terbentur langit-langit kamarnya.
"Aduh!" Pekiknya meringis kesakitan. Ia mengusap-usap puncak kepalanya. Setelah itu ia segera keluar dan mendapati pamannya menatapnya dengan tajam.
"Dasar pemalas! Kalau kau menumpang, harusnya tau diri ... Sana segera ke dapur dan bantu bibimu membuat sarapan. Pelajarilah dengan baik, ke depannya kau yang harus membuat sarapannya." Kata Tevin mencibir.
"Iya, paman." Jawab Ellia sembari menunduk dan segera menuju ke dapur.
Sebelumnya setelah perdebatan sengit antara kedua paman dan bibinya. Akhirnya, diputuskan bahwa Ellia akan tinggal bersama Tevin, paman pertamanya. Alasannya karna Tevin di pandang paling mampu mengambil tugas itu
Ia hanya memiliki dua anak laki-laki yang saat ini sudah duduk di bangku SMP. Dan terlebih lagi Tevin adalah anak pertama. Jadi, tanggung jawab itu diserahkan padanya. Tak bisa megelak, akhirnya Tevin mau tak mau harus menampung Ellia di rumahnya.
Ellia di tempatkan di ruang kecil di bawah tangga. Sebenarnya ruangan itu terlalu kecil untuk disebut sebagai kamar. Namun, walaupun begitu Ellia tetap menerimanya dengan lapang dada dan senyuman di wajahnya. Tanpa mengeluh sedikitpun.
Dengan sigap ia pun menuju ke dapur dan membantu bibinya di dapur. Walaupun sikap pamannya sangat kasar. Sikap bibi padanya tidak terlalu buruk. Walaupun, bibi sendiri tak bisa banyak membantu Ellia, karna tekanan dari suaminya sendiri.
"Kamu duduk saja di sana Ellia. Biar bibi yang menyiapkan sarapannya." Ucap Dea yang merasa iba pada nasib malang ponakannya itu.
"Enggak masalah kok bi. Ellia akan membantu. Dulu, Ellia juga sering bantu mama masak kok." Jawabnya riang sembari menggulung lengan bajunya agar tak basah saat ia akan mulai mencuci sayuran.
"Baiklah kalo begitu. Tapi, jangan terlalu memaksakan diri ya ..." Dea memberikan senyuman yang tulus dan hangat pada ponakannya itu. Ellia pun merasa perasaannya jadi jauh lebih baik.
"Ehm!" Anggukan kecil diberikan Ellia dengan senyuman cerah dibibir kecilnya.
Setelah sibuk menyiapkan sarapan dan akan selesai Dea menyuruh Ellia segera bersiap untuk pergi ke sekolah. Dan membiarkannya menyelesaikan menata sarapan yang sudah mereka buat itu di atas meja. Tanpa bantahan kali ini Ellia pun menurut. Karna, ia juga tak mau jika harus terlambat sekolah.
Saat ia sudah selesai bersiap-siap dan akan bergabung dimeja makan bersama keluarga pamannya. Lagi-lagi ia mendapatkan perlakuan yang jahat.
"Mau apa kau?" Tanya Doni, anak kedua pamannya saat melihat Ellia akan duduk di salah satu kursi yang kosong.
"Ellia, mau ikut sarapan kak." Jawab Ellia ragu-ragu.
"Heh, sadar diri dong. Kau itu menumpang. Masa' juga mau ikut makan tiga kali juga di sini? Gak sadar kau kalau ayahku sudah banyak keluar uang juga untuk sekolahmu." Seru Dion sepupunya yang paling tua.
Mendengar itu Tevin tak melerai anak-anaknya. Senyum mengejek justru muncul di sudut bibirnya. Sedangkan Dea tak berani membuka suara dan menatap kasihan pada Ellia kecil yang akhirnya tak jadi duduk dan menatap makanan di meja dengan air mata yang sudah mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Mending kau berangkat aja ke sekolah. Aku tak bisa mengantarmu. Kau urus saja dirimu sendiri." Tambah Tevin dengan entengnya dan tanpa menatap Ellia sedikitpun.
"Pa! Ellia masih kecil. Lagian kan kamu juga searah dengannya. Bawalah dia sekalian denganmu." Ucap Dea yang sudah tak tahan dengan kelakuan suami dan kedua putranya.
"Diam saja kau! Dan habiskan makananmu. Jangan ikut campur!" Bentak Tevin pada istrinya.
"Sudah bibi. Ellia gak apa kok. Sekolah Ellia kan dekat. Ellia bisa berjalan kaki ke sana, sekalian olah raga." Ujar Ellia menengahi suasana tegang antara paman dan bibinya. Ia tak mau merusak kedamaian keluarga pamannya. Terlebih ia tak ingin melihat bibinya yang baik dibentak oleh pamannya. Cukup dia saja.
Dengan langkah ringan dan senyum cerah Ellia pamit dan mulai berjalan ke sekolah. Di perjalanan ia selalu merapalkan mantranya berulang kali di dalam hati. Semua pasti akan baik-baik saja, katanya. Dan ia berusaha dengan keras menahan air mata agar tak jatuh membasahi pipinya lagi. Ia ingin berhenti menangis dan harus mencoba kuat.
Begitulah hari-hari panjang dan melelahkan terus berputar di hidup Ellia. Tak terasa waktu terus bergulir hingga empat tahun sudah waktu berlalu semenjak kepergian kedua orang tuanya. Dan dia yang tinggal di rumah pamannya.
Tak seharipun semenjak itu, Ellia merasa hidupnya tenang. Tiap hari ada saja bentakan dari pamannya. Bahkan, bukan hanya sekedar kata-kata saja. Jika, pamannya sudah sangat emosi maka pamannya itu tak segan main fisik. Dan memang itu sudah menjadi kebiasannya ternyata. Bukan hanya padanya saja, pada Dea bibinya, paman juga tak segan-segan main fisik. Itulah kenapa, bibi tak terlalu berani menentang apa kehendak paman.
Tabiat buruk pamannya ini juga sudah di contoh oleh anak-anaknya. Kedua sepupu Ellia itu juga sering sekali membully Ellia. mengacaukam pekerjaan Ellia sampai dia kena marah pamannya. Sudah jadi hal biasa bagi Ellia.
Tak jarang, tubuh kecil Ellia jadi pelampiasan kemarahan pamannya. Lebam dan darah sering kali muncul di tubuhnya. Namun begitu, Ellia berusaha tetap menahan semua rasa sakit itu dan berharap hari esok pasti semua akan baik-baik saja.
Puncak dari semua itu. Saat Ellia sudah lulus dari Sekolah Dasar. Pamannya yang saat itu sedang terhimpit masalah ekonomi, juga ada tuntutan untuk biaya kuliah anak-anaknya, mengusulkan sebuah ide gila.
Pada malam itu, Ellia tak sengaja mendengar pembicaraan paman dan bibinya.
"Aku uda enggak sanggup lagi kalo harus menampung Ellia. Putra-putraku sudah mau kuliah. Daripada aku menyekolahkan anak perempuan yatim piatu sepertinya, mending aku fokus untuk sekolah putra-putraku." Gerutu paman dan bibi hanya bisa diam.
"Dia kan hanya seorang perempuan, gak usahlah sekolah tinggi-tinggi. Sekolah Dasar sudah cukuplah untuknya. Mungkin beberapa tahun lagi dia bisa kita nikahkan dengan orang kaya, supaya kita bisa mendapatkan keuntungan karna sudah membesarkannya." Seru paman yang membuat bibi jadi terkejut.
Begitu pula dengan Ellia. Dia sampai tak bisa berkata-kata mendengar ide gila pamannya itu. Ellia tak kuasa menahan kesedihannya. Ia hanya bisa menangis di dalam ruangan sempit miliknya itu.
Pada malam harinya, saat ia ketiduran karna lelah menangis. Ia terbangun karna mendengar ketukan dari pintu kamarnya. Ia segera membuka dan mendapati bibinya di sana.
"Ellia ... Nak, kamu harus kabur dari sini sekarang. Pamanmu sudah tak waras. Kalo kamu terus di sini, bibi gak tau lagi bagaimana nasib kamu ke depannya nak ... Pergilah dari sini sekarang." Ucap bibinya dengan sorot mata khawatir. Ellia yang masih diliputi rasa bingung akhirnya memutuskan mengikuti saran dari bibinya. Walau dia sendiri tak tahu harus kemana.
"pergilah dan tinggalkan kota ini nak. Coba cari orang bernama Yunus Amerta di kota B. Dia ini kenalan bibi. Orang terbaik yang pernah bibi kenal. Coba kamu temui dia, barangkali dia bisa memberimu bantuan." Ujar bibi sembari menyelipkan sebuah surat dan alamat serta identitas seseorang bernama Yunus tadi di secarik kertas di tangan Ellia, tak lupa bibi juga menyelipkan beberapa lembar uang untuk biaya perjalanannya.
"Terima kasih bibi ... Terima kasih atas bantuan bibi selama ini pada Ellia. Suatu saat nanti, Ellia pasti akan membalas kebaikan bibi." Ucapnya sedih sampai berlinang air mata.
Akhirnya, dengan langkah yang mantap. Ellia berjalan meninggalkan rumah pamannya, mengikuti secuil harapan dari bibinya di kota B.
Bisakah Ellia menemukan kebahagiaan di sana?
.
.
.
Bersambung ...