"Sekarang tugasku sudah selesai sebagai istri tumbalmu, maka talaklah diriku, bebaskanlah saya. Dan semoga Om Edward bahagia selalu dengan mbak Kiren," begitu tenang Ghina berucap.
"Sampai kapan pun, saya tidak akan menceraikan kamu. Ghina Farahditya tetap istri saya sampai kapanpun!" teriak Edward, tubuh pria itu sudah di tahan oleh ajudan papanya, agar tidak mendekati Ghina.
Kepergian Ghina, ternyata membawa kehancuran buat Edward. Begitu terpukul dan menyesal telah menyakiti gadis yang selama ini telah di cintainya, namun tak pernah di sadari oleh hatinya sendiri.
Apa yang akan dilakukan Edward untuk mengambil hati istrinya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malu
Edward keluar dari kamar tamu, dengan kepalanya terasa cenat cenut, begitu juga kepala bawahnya. Senormalnya sebagai lelaki, ada hasrat yang terbangun ketika melihat wanita hampir tidak berbusana.
20 menit kemudian Dokter keluarga sudah datang, di dampingi Ria mengecek kondisi Ghina.
“Nanti tolong pakaikan baju hangat atau selimut tebal, biar badannya kembali hangat. Lalu usahakan kalau sudah sadar kasih minuman yang menghangatkan badan,” pinta Dokter Dimas.
“Baik Pak Dokter.”
“Bagaimana kondisinya Dok?” tanya Edward kembali ke kamar tamu.
“Sepertinya adik ini kelamaan berendam di air, tubuhnya tidak bisa menahan rasa dingin. Jadi pingsan sesaat, tapi nanti akan siuman dengan sendirinya. Untuk sementara tadi saya sudah minta ke si mbaknya untuk menyelimutinya pakai selimut tebal.”
“Saya juga akan tulis resep obat, untuk di minumnya," sambung Dokter Dimas.
“Baik Dok, terima kasih.”
Dengan memasukkan ke dua tangannya ke kantong celana, Edward menatap Ghina dari tempat dia berdiri.
Menyusahkan orang saja!
“Ria, jaga Ghina sampai siuman. Saya harus ke kantor.”
“Baik Tuan.”
Ria bergegas menyelimuti Ghina agak badannya yang dingin kembali ke suhu normal.
1 Jam kemudian......
“Eeugh...” lenguh Ghina, merasa badannya agak kurang enak.
“Non Ghina......sudah sadarkah?” tanya Ria yang sabar menemani Ghina.
“Mbak Ria.......ini badan saya kenapa?” dia melihat tubuhnya di selimuti oleh beberapa helai selimut.
“Tadi Non Ghina pingsan di bathub, bibirnya sampai biru dan badannya dingin.”
“Astaga......saya sampai ketiduran ya. Trus mbak Ria yang angkat saya dari bathub?”
“Bukan Non, saya mana kuat. Yang angkat Non tadi Tuan Besar.”
DEG
“Berarti Om Edward lihat badan saya yang..." Ghina menutup mulutnya dengan salah satu tangannya.
“Iya Non.....” Ria menganggukkan kepalanya.
“OMG.......bodohnya lo Ghina berendem sampai pingsan,” gumam Ghina, sambil mengetuk kepalanya sendiri.
Berarti tubuh gue udah dilihat sama Om Edward.......duh malunya gue.......mau di kemanaiin muka gue kalau ketemu Om Edward.
“Non sekarang minum dulu, saya sudah buatkan jahe susu, sama makan pakai sup ayam. Biar hangat badannya dan cepat pulih."
Ghina menyandarkan dirinya setengah duduk di kepala ranjang, dan menerima minuman yang telah di buatkan Ria.
“Makasih banyak ya mbak, enak susu jahenya.”
“Mbak Ria, Om Edwardnya masih ada di mansion?”
“Sejam yang lalu sudah berangkat ke kantor bersama non Kiren.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Mbak sorry nanya lagi, mbak Kiren tinggal di sini juga?”
“Iya Non, Non Kiren sudah hampir setahun tinggal di sini. Kamarnya di sebelah Tuan Besar.”
“Ooooo...” membulat bibir Ghina, tak di sangka pasangan tersebut sudah satu rumah.
Ghina melanjutkan minumnya dan sarapan pagi yang telat.
Ria tanpa sengaja memperhatikan Ghina ..”Non....saya boleh nanya gak?”
“Nanya apa mbak?”
“Non Ghina....siapanya Tuan Besar?”
“Papa saya masih saudara sepupu jauh dengan Om Edward, yaa berarti saya saudaranya......yaa kayak keponakan jauhlah,” jawab Ghina sambil mengunyah makannya.
“Oh pantesan non panggil Tuan Besar.... Om.”
Ghina menganggukkan kepalanya.
“Nanti setelah makan, minum obat ini ya Non,” ucap Ria sambil menjulurkan beberapa obat.
“Loh kok minum obat mbak?”
“Tadi waktu non pingsan, Tuan Besar panggil dokter. Jadi dokter kasih obat ini untuk non minum.”
“Oooo...." Ghina kembali membulat dan meminum obatnya.
“Mbak Ria nanti kalau ada tamu yang cariin saya, tolong kasih tahu ya. Mata saya kok rasanya pengen tidur lagi.”
“Mungkin efek dari obat biar istirahat lagi. Ya nanti saya kabarin Non. Sekarang tidur aja dulu."
Ghina kembali menyelimuti tubuhnya, dan Ria kembali ke dapur bergabung dengan pelayan lainnya.
🌹🌹
“HEI......Kalian yang bertugas di dapur cepat siapkan makan siang untuk Tuan Besar!” perintah Kepala Pelayan mansion Edward.
Para pelayan tampak grabak gerubuk dapat kabar Tuan Besar makan siang di mansion, tidak biasanya makan di mansion.
“Ria.....Ghina sudah siuman?” tanya Edward saat berpas-pasan dengan Ria.
“Sudah Tuan Besar, sekarang lagi istirahat di kamar,” jawab Ria.
Selama di kantor, Edward tidak konsentrasi bekerja dan tidak tenang. Pikirannya ingin segera balik ke mansionnya. Akhirnya dia menyuruh asistennya melanjutkan pekerjaannya dan dia memutuskan untuk pulang ke mansion.
“Nanti bilang ke kepala pelayan mengantarkan makan siang saya di kamar tamu, sekalian bawa makan siang untuk Ghina,” perintah Edward.
“Baik Tuan Besar.”
Edward melangkahkan kakinya ke kamar tamu yang di tempati Ghina di lantai 1.
Ghina masih menyelimuti tubuhnya dengan selimut, hanya tampak kepalanya saja. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat, warna bibirnya kembali merah.
Edward menghempaskan dirinya di sofa yang berada di kamar tamu tersebut.
“Permisi Tuan Besar,” sapa Kepala Pelayan bersama Ria membawakan troly makanan. Beberapa makanan di sajikan di meja sofa.
“Selamat makan siang Tuan, ada yang bisa saya bantu lagi Tuan?” tanya Kepala Pelayan.
“Cukup, kalian bisa keluar dari kamar!”
“Baik Tuan, kami permisi.”
Selepas para pelayan pergi, Edward mendekati ranjang Ghina.
“Ghina...” panggil Edward dengan salah satu tangannya menepuk pipi Ghina.
“Ghina...” panggilnya kembali.
“Mmmm......apa mbak Ria......masih ngantuk nih,” jawab Ghina dengan mata terpejam.
“GHINA.....!” suara Edward naik satu oktaf.
Ghina mulai mengerjapkan kedua matanya setelag mendengar suara pria yang menyebut namanya.
“Ooooh Om Edward!” jawab Ghina dari balik selimutnya.
“Bangun.....makan dulu!” titah Edward dengan sikap dinginnya.
“Mmmmm..... ”gumam Ghina, dia bangun dari tidurnya dan beranjak berdiri menuju sofa.
Edward sudah mulai menyantap makan siangnya, di susul Ghina ikut menyantap makan siang.
Sesekali Edward melirik Ghina yang sedang makan, sedangkan Ghina sibuk menyantap makannya.
“Saya ajak kamu makan siang bukan karena perhatian dengan kamu,” ucap Edward membuka pembicaraan.
“Jadi kamu jangan GE-ER!” ucap Edward lagi mempertegas.
Ghina tidak membalas pernyataan Edward, dan tidak menatap sedikit pun ke arah Edward. Ghina mengunyah makan siangnya dengan tenang.
“Hemmm...” Edward bergumam menunggu jawaban dari Ghina.
Merasa di acuhkan Ghina, Edward kembali menyantap makan siangnya dengan wajah kecewanya.
Sedangkan Ghina lebih sering menunduk atau memalingkan wajahnya jika sekiranya dia akan bersitatap dengan Edward.
Cepetan selesai kenapa makannya, dan keluar dari kamar ini......batin Ghina gelisah.
Ghina menyelesaikan makan siangnya lebih cepat dari pada Edward, dan segera bangkit dari duduknya menuju ranjang.
“Habis makan jangan langsung tidur, tidak baik buat lambung,” tegur Edward.
Ghina hanya mendengarnya saja tanpa menjawabnya lagi. Tidak ada yang bisa dia lakukan, akhirnya dia memilih duduk di sofa yang posisinya pas di depan televisi, dan menyetelnya.
Melihat Ghina sedang menonton tv, Edward memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya di ruang kerjanya.
Ah akhirnya Om Edward keluar juga dari kamar.
TOK......TOK.......TOK
“Masuk!” ucap Ghina dari dalam kamar.
“Permisi Non Ghina,” ucap Ria.
“Eh mbak Ria....”
“Non......di luar ada yang cariin namanya Rika.”
“Akhirnya datang juga, tapi mbak Ria gimana cara supaya bertemu dengan teman saya?”
“Begini non, nanti saya bilang sama security kalau Rika saudara saya mau jenguk. Nanti non Ghina bisa ketemu di paviliun belakang.”
“Ide cemerlang nih mbak, tapi saya kan gak tahu paviliunnya ada di mana,” bibir Ghina mengerucut.
“Saya antar non dulu ke paviliun, baru jemput teman non, gimana?”
“Oke Mbak.”
bersambung ....
n