NovelToon NovelToon
ANAKKU DIJUAL IBU MERTUA

ANAKKU DIJUAL IBU MERTUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Non Mey

Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sedikit Perkembangan

Beberapa bulan berlalu sejak pertemuan Angga dan Amira waktu itu, mereka tidak lagi bertemu, hanya saja jika Angga ingin memberikan nafkah untuk Arka akan diam titipkan lewat Loli adiknya. Angga mulai belajar melupakan semua tentang ceritanya bersama dengan Amira dengan cara sibuk bekerja.

Suatu sore, ketika Angga sedang berkeliling menjajakan pukisnya, ia tiba-tiba dihentikan oleh seorang pria yang terlihat familiar. Setelah memperhatikan lebih dekat, Angga langsung mengenali pria itu sebagai Erik, teman kuliahnya dulu.

"Angga? Ini kamu, kan?" Erik menyapa dengan penuh antusias.

Angga tersenyum kecil, meskipun agak malu karena kondisinya sekarang. "Iya, Erik. Lama nggak ketemu. Gimana kabarmu?"

Erik terlihat ceria. "Baik, Alhamdulillah. Eh, kamu gimana sekarang? Kok jualan pukis? Bukannya dulu kamu kerja kantoran?"

Angga hanya bisa tersenyum getir sambil menceritakan sekilas perjalanannya yang pahit, mulai dari kehilangan pekerjaan, masalah rumah tangga, hingga kondisinya sekarang. Erik mendengarkan dengan serius, wajahnya menunjukkan rasa simpati.

"Angga, aku ngerti hidup nggak selalu mulus. Tapi aku percaya kamu orang yang jujur dan pekerja keras. Kalau kamu mau, aku ada peluang buat kamu."

Angga terkejut mendengar tawaran tersebut. "Apa maksudmu, Rik?" tanyanya dengan hati-hati.

Erik menjelaskan bahwa ia kini memiliki bisnis toko serba 35 ribu dengan beberapa cabang di berbagai lokasi. Ia membutuhkan seseorang yang dapat dipercaya untuk mengelola salah satu tokonya.

"Kamu yang pegang penuh toko itu, Angga. Semua pemasukan dan pengeluaran kamu yang urus. Aku hanya mau ambil persentase dari laba bersihnya, selebihnya kamu yang kelola. Aku percaya sama kamu," kata Erik dengan nada penuh keyakinan.

Angga terdiam. Tawaran itu begitu menggiurkan, tapi ia merasa ragu. "Rik, aku nggak tahu apa aku bisa. Aku bahkan belum pernah kelola bisnis seperti itu."

Erik tersenyum. "Kamu bisa belajar. Aku akan bantu memulainya, nanti lama-lama kamu pasti terbiasa. Daripada terus seperti ini, kenapa nggak coba? Anggap aja ini kesempatan buat bangkit lagi."

Setelah mempertimbangkan tawaran itu dengan matang, Angga akhirnya menerima. Keesokan harinya, Erik membawa Angga ke salah satu tokonya yang berlokasi strategis di pinggir jalan raya. Toko itu masih baru dan belum sepenuhnya beroperasi.

"Ini tokonya, Angga. Mulai sekarang, ini tanggung jawabmu. Aku percayakan ini sama dan aku yakin kamu pasti bisa."

Angga merasa sedikit gugup, tapi ia bertekad untuk memberikan yang terbaik. Dalam beberapa hari, ia mulai belajar tentang manajemen stok, pemasaran, dan cara melayani pelanggan dengan baik. Erik juga sering datang untuk memberikan bimbingan.

Ketika Angga pulang membawa kabar baik itu, Loli merasa senang dan mendukung penuh keputusan kakaknya. Namun, reaksi Ratna justru sebaliknya.

"Apa? Jadi penjaga toko? Kamu nggak salah? Memangnya itu pekerjaan yang bisa bikin kita kaya? Kenapa nggak cari kerja kantoran aja sih?" sindir Ratna dengan nada sinis.

Angga menghela napas panjang. "Bu, ini peluang bagus. Kalau berhasil, kita bisa bangkit lagi. Lagipula, aku udah nggak mau lagi bergantung pada siapa pun. Aku cuma mau kerja keras untuk masa depan kita."

Loli membela Angga. "Bu, kenapa sih selalu mengeluh? Kak Angga udah berusaha. Kita harusnya bersyukur masih ada orang yang percaya sama Kak Angga."

Ratna hanya mendengus, tapi diam-diam ia merasa kesal karena pekerjaan Angga yang sekarang tidak begitu membuatnya yakin kalau itu menguntungkan.

Di sisi lain, kehidupan Amira terus membaik. Ia kini tinggal di rumah yang nyaman bersama Arka. Bram, yang selalu ada untuk membantu, sering mengunjungi mereka. Meski Bram menyimpan rasa cinta pada Amira, ia tetap menghormati batas yang ditetapkan Amira.

Amira, meskipun mulai merasa nyaman dengan Bram, tetap merasa enggan membuka hati sepenuhnya. "Aku takut salah lagi, Bu Sari," katanya suatu hari ketika mereka sedang berbicara. "Bram memang orang baik, tapi aku masih belum siap untuk memulai lagi."

Bu Sari tersenyum lembut. "Amira, nggak ada yang salah dengan berhati-hati. Tapi jangan sampai kamu menutup semua pintu kebahagiaan. Kalau Bram benar-benar tulus, kamu harus memberinya kesempatan."

Amira hanya tersenyum kecil tanpa menjawab.

Beberapa minggu kemudian, Amira dan Bram pergi ke salah satu toko serba 35 ribu untuk membeli beberapa hiasan rumah yang tanpa disadari oleh mereka kalau toko itu merupakan tempat Angga bekerja. Ketika mereka tiba di toko, Amira terkejut melihat Angga yang kini tampak lebih rapi dan bersemangat dibagian kasir.

"Angga?" Amira memanggil pelan.

Angga menoleh, terkejut melihat Amira dan Bram bersama. "Amira? Kamu... kenapa di sini?"

"Kami hanya ingin belanja sedikit," jawab Amira dengan canggung.

Bram, yang tidak terlalu suka dengan kehadiran Angga, hanya tersenyum tipis.

"Toko ini kelihatannya bagus. Kamu yang kelola?" tanya Bram.

Angga mengangguk sambil tersenyum kecil. "Iya, ini baru mulai berjalan. Masih banyak yang harus dipelajari."

Amira merasa ada perasaan lega melihat Angga yang mulai bangkit. "Baguslah kalau kamu sudah punya pekerjaan yang stabil, Mas. Aku doakan semuanya lancar."

Angga hanya tersenyum, meski hatinya sedikit pilu melihat kedekatan Amira dan Bram.

"Apakah mereka benar-benar akan menjadi pasangan?" batin Angga.

Setelah selesai membeli barang yang mereka butuhkan, Amira dan Bram keluar dari toko dengan membawa kantong belanjaan. Bram, yang sejak tadi diam-diam memperhatikan interaksi antara Amira dan Angga, merasa ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka. Di depan pintu toko, dengan sengaja, Bram memegang tangan Amira.

Amira terkejut. "Bram, apa yang kamu lakukan?" tanyanya sambil menepis tangannya dengan cepat.

Bram menyadari kesalahannya dan segera meminta maaf. "Maaf, Amira. Aku nggak bermaksud membuatmu nggak nyaman. Aku hanya spontan," jelasnya.

Amira memandangnya dengan bingung. "Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya."

Bram menunduk sejenak, lalu menghela napas. "Aku hanya... aku ingin menunjukkan bahwa aku sayang padamu. Tapi sepertinya aku salah cara. Sekali lagi, maaf."

Amira tidak ingin memperpanjang masalah. "Aku tahu kamu peduli, Bram. Tapi tolong, jangan seperti ini lagi. Aku masih butuh waktu untuk memahami semua yang terjadi."

Bram mengangguk dengan penuh penyesalan. "Baiklah, aku janji nggak akan mengulanginya."

Di dalam toko, Angga memperhatikan kejadian itu dari balik etalase. Meski tidak bisa mendengar percakapan mereka, ia jelas melihat Bram mencoba memegang tangan Amira. Meski hatinya terasa sakit, Angga berusaha untuk tidak menunjukkan emosi.

Dalam pikirannya, Angga merasa semakin yakin bahwa Amira memang telah menutup pintu hatinya. "Mungkin aku memang tidak lagi punya tempat di hidupnya," gumamnya pelan.

Namun, di lubuk hatinya yang terdalam, Angga masih merasakan cinta yang kuat untuk Amira. Penyesalan terus menghantuinya. Andai saja ia tidak pernah menyia-nyiakan Amira, semua ini mungkin tidak akan terjadi.

Di perjalanan pulang, Amira terlihat murung. Ia merasa ada jarak yang semakin besar antara dirinya dan Bram setelah kejadian tadi.

"Bram, aku minta maaf kalau membuatmu salah paham," kata Amira tiba-tiba.

Bram meliriknya sekilas. "Amira, aku yang seharusnya minta maaf. Aku tahu kamu butuh waktu, tapi aku terlalu terburu-buru. Aku nggak mau kamu merasa tertekan."

Amira mengangguk pelan. "Aku menghargai semua yang kamu lakukan untukku dan Arka, tapi aku belum siap untuk membuka hati. Aku harap kamu bisa mengerti."

Bram tersenyum tipis. "Aku mengerti. Aku nggak akan memaksamu, Amira. Aku hanya ingin kamu bahagia."

Amira merasa lega mendengar jawaban itu, meskipun ia tahu Bram mungkin merasa kecewa.

Setelah kejadian itu, Angga semakin fokus pada pekerjaannya. Toko yang dikelolanya mulai menunjukkan perkembangan. Banyak pelanggan yang datang, dan Angga merasa semakin percaya diri dengan kemampuannya.

Namun, di tengah kesibukannya, Angga masih menyempatkan diri untuk menulis surat kecil yang ia masukkan ke dalam amplop bersama sejumlah uang. Surat itu ia titipkan melalui Reza, yang kebetulan sedang mampir ke toko.

"Ini buat Amira. Tolong kasihkan ke dia, ya," kata Angga sambil menyerahkan amplop tersebut.

Reza mengerutkan kening. "Apa ini,Mas?"

"Hanya sedikit uang untuk Arka. Aku nggak bisa memberikan banyak, tapi setidaknya ini bentuk tanggung jawabku sebagai ayah," jawab Angga dengan nada rendah.

Reza terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, aku akan sampaikan."

Ketika menerima amplop dari Reza, Amira merasa terkejut. Ia membaca surat yang ditulis Angga:

"Untuk Amira dan Arka,

Aku tahu aku nggak pantas disebut ayah, tapi aku ingin melakukan sesuatu untuk Arka, meski kecil. Semoga uang ini bisa membantu sedikit. Aku mohon, jangan anggap ini sebagai beban. Aku hanya ingin memperbaiki kesalahan yang telah kulakukan."

Amira terdiam setelah membaca surat itu. Ada perasaan haru sekaligus sedih di hatinya. Meskipun ia berusaha melupakan Angga, surat itu mengingatkannya pada sisi Angga yang pernah ia cintai dulu.

"Kenapa dia selalu datang saat aku mulai belajar melupakannya?" gumam Amira pelan sambil mengusap air matanya.

Bu Sari, yang melihat Amira menangis, mencoba menenangkan. "Nak, terkadang orang yang menyesal memang butuh waktu untuk berubah. Tapi bukan berarti kamu harus kembali. Fokus saja pada kebahagiaanmu dan Arka."

Amira mengangguk, meski hatinya tetap bergejolak.

1
Aini Qu
Lumayan
Sri Wahyuni
bagus karya ini,.... ini realisasi kehidupan nyata
Non Mey: Makasih Kakak 🩷
total 1 replies
karya yang bagus, semoga kedepannya Amira punya keberanian untuk melawan mertuanya.gedek juga lihatnya
sangat keren
lanjutkan kakak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!