Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Malam H-1 Pernikahan
“Hati-hati, Ares. Lokasi hotel sudah aman, kan?” tanya Benji dengan nada penuh perhatian, menatap Harrison dan Ares di ruang kerja rumah keluarga Noah.
Harrison duduk tegap di kursi besar, matanya tajam memperhatikan peta yang terbentang di atas meja. “Ares, aku ingin kamu dan tim terus mengawasi semua titik di hotel. Jangan ada yang lolos. Semua tamu penting yang hadir besok harus merasa aman, terutama keluargaku.”
Ares mengangguk. “Sudah saya pastikan, Tuan. Tim keamanan dari pihak hotel sudah berkoordinasi dengan kami. Tapi, saya akan tetap menugaskan orang-orang kita di sekitar gedung.”
“Bagus,” jawab Harrison singkat sebelum menoleh pada Benji. “Kak Benji, aku percayakan rumah Harper padamu. Hawa dan keluargamu harus merasa tenang. Jangan biarkan siapa pun yang tidak berkepentingan masuk.”
Benji, yang meskipun sering tampak santai, kini menunjukkan sisi tegasnya. “Serahkan saja padaku, Harrison. Siapa pun yang coba macam-macam, akan langsung aku hadapi.”
Harrison tersenyum tipis. “Aku percaya padamu. Besok bukan hanya soal pernikahan, tapi juga soal melindungi orang-orang yang paling aku cintai.”
Meeting singkat itu diakhiri dengan kesepakatan bahwa setiap detail keamanan akan terus dipantau. Harrison mengingatkan sekali lagi agar tidak ada ruang untuk kelengahan.
Di sisi lain, di kamar yang disediakan khusus untuk Hawa, perempuan itu duduk termenung di depan cermin besar. Gaun malam yang ia kenakan tampak anggun, tetapi hatinya penuh kegelisahan.
Ibunya, yang memperhatikan dari sudut ruangan, mendekat dengan lembut. “Hawa, apa yang kamu pikirkan, Nak? Besok hari besarmu, tapi wajahmu malah muram begitu.”
Hawa menatap bayangan ibunya di cermin. “Ma, aku takut. Bagaimana kalau aku nggak bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Harrison? Aku tahu dia pria hebat, dan aku... aku cuma aku.”
Sang ibu tersenyum, lalu duduk di samping putrinya. Ia menggenggam tangan Hawa dengan penuh kasih. “Hawa, menjadi istri yang baik bukan berarti harus sempurna. Yang penting, kamu selalu berusaha untuk mendampingi suamimu, mendukungnya, dan menjaga keluargamu. Itu sudah cukup.”
“Tapi, Ma...”
“Tidak ada tapi,” potong ibunya. “Harrison memilihmu, bukan karena kamu sempurna, tapi karena dia melihat kebaikan dalam dirimu yang tidak ada di wanita lain yang pernah ia kenal. Percaya pada dirimu sendiri, Nak.”
Hawa terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Kata-kata ibunya seperti menenangkan badai kecil di hatinya.
Tak lama, suara ketukan di pintu terdengar. Ayah Hawa masuk bersama kakak iparnya, dan Nikki, keponakan kecilnya.
“Bagaimana calon pengantin kita malam ini?” tanya kakak iparnya dengan nada bercanda.
Hawa tersenyum tipis. “Gelisah, Kak.”
Ayahnya mendekat, meletakkan tangannya di bahu Hawa. “Hawa, Papa tahu ini bukan langkah kecil. Tapi percayalah, ini langkah yang benar. Kamu sudah melalui banyak hal, dan Papa bangga melihat kamu bisa berdiri di sini sekarang.”
Dylan menambahkan, “Hawa, kamu punya banyak orang yang mendukungmu, termasuk aku. Dan kalau Harrison macam-macam, aku yang pertama bakal turun tangan.”
Semua tertawa kecil, meskipun tawa itu juga membawa kehangatan. Nikki, yang membawa mobil mainannya disana.
“Tante Hawa, aku senang Papa Emma akhirnya menikah sama Tante. Aku yakin Papa Emma pasti bahagia.”
Hawa menarik Nikki ke pelukannya, “Terima kasih, Nikki. Tante juga senang kamu ada di sini.”
***
Malam semakin larut, dan suasana di sekitar rumah Harper sudah mulai tenang. Namun, di balkon kamar Hawa, seorang pria berdiri dengan jasnya yang rapi meski terlihat sedikit lelah. Harrison Noah, yang menyempatkan diri untuk datang setelah selesai dengan pengaturan keamanan terakhir, mengetuk pintu kaca balkon dari luar.
Hawa terkejut mendengar ketukan itu. Dengan cepat, ia membuka pintu balkon dan melihat Harrison berdiri di sana. “Mas? Kamu kenapa datang malam-malam begini? Bukannya kamu bilang sudah kembali ke rumah?” tanyanya dengan nada heran.
Harrison tersenyum tipis sambil melangkah masuk. “Aku nggak bisa tenang kalau nggak lihat kamu dulu. Aku tahu kamu pasti lagi cemas.”
Hawa tersenyum kecil, tapi matanya tetap memancarkan kegelisahan. “Mas, besok pernikahan kita. Aku... aku takut nggak bisa menjalani semua ini dengan baik. Aku takut kalau nanti aku nggak bisa jadi istri yang kamu harapkan.”
Harrison mendekatinya, menatapnya lekat-lekat. Dengan lembut, ia menggenggam tangan Hawa dan membawanya ke sofa kecil di balkon. Mereka duduk berdampingan, dengan cahaya rembulan menerangi wajah mereka.
“Hawa, kamu tahu nggak kenapa aku memilih kamu?” tanya Harrison pelan.
Hawa menunduk. “Kenapa, Mas?”
“Karena kamu adalah perempuan yang paling aku percaya. Aku tahu kamu selalu memberikan yang terbaik untuk orang-orang di sekitar kamu, termasuk untuk Emma. Kamu nggak perlu sempurna, Hawa. Aku nggak butuh istri yang sempurna. Aku cuma butuh kamu.”
Kata-kata Harrison membuat hati Hawa bergetar. Ia menatap pria itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Tapi Mas, aku hanya... aku hanya aku. Aku nggak seperti wanita lain yang mungkin bisa mendukungmu lebih baik.”
Harrison menggeleng, lalu menyentuh pipi Hawa dengan lembut. “Hawa, kamu adalah yang terbaik untuk aku. Kamu sudah membuktikan itu sejak hari pertama kita bertemu. Kamu nggak perlu jadi orang lain. Cukup jadi dirimu sendiri, dan itu sudah lebih dari cukup.”
Hawa merasa matanya panas. Air mata akhirnya jatuh, tapi ia tidak mencoba menyembunyikannya. Harrison menghapus air matanya dengan ibu jarinya, lalu mengecup keningnya dengan lembut.
“Aku tahu kamu cemas. Tapi ingat ini, Hawa: aku akan selalu ada untuk kamu. Apapun yang terjadi, kita akan menghadapi semuanya bersama. Mulai besok, kamu nggak sendirian lagi.”
Hawa mengangguk pelan, hatinya mulai merasa lebih tenang. “Mas, terima kasih. Aku... aku juga akan berusaha jadi yang terbaik untuk kamu dan Emma.”
Harrison tersenyum hangat, lalu mengusap rambut Hawa dengan penuh kasih. “Kamu sudah lebih dari cukup, Hawa. Dan aku nggak sabar untuk membuatmu resmi jadi istriku besok.”
Mereka duduk di sana selama beberapa saat, menikmati kebersamaan yang penuh ketenangan. Namun, waktu terus berjalan, dan Harrison tahu ia harus segera pergi.
Ketika Harrison berdiri untuk pergi, Hawa menggenggam tangannya. “Mas, hati-hati di jalan, ya?”
Harrison menoleh dan tersenyum. “Aku selalu hati-hati, apalagi kalau ada kamu yang menunggu.”
Hawa tersenyum kecil mendengar candaan itu, meski ia tetap merasa enggan membiarkan Harrison pergi. Harrison seakan bisa membaca pikirannya. Ia membungkuk sedikit, menyentuh pipi Hawa sekali lagi.
“Besok, aku akan ada di sana, menunggumu di pelaminan. Dan aku janji, aku akan selalu ada di sampingmu, Hawa.”
Hawa mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca lagi. “Mas, aku juga janji. Aku akan belajar jadi istri yang baik untukmu dan ibu yang lebih baik untuk Emma.”
Harrison tersenyum, lalu perlahan melepaskan genggaman tangannya. Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sekali lagi, memberikan senyuman yang menenangkan.
Hawa berdiri di balkon, menatap punggung Harrison yang perlahan menghilang di kejauhan. Meski cemas, ada rasa hangat di hatinya, mengetahui bahwa pria itu benar-benar mencintainya.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.