Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Jejak Kegelapan dan Harapan
Suasana di ruang kontrol itu seperti terhenti, sesaat sebelum badai besar melanda. Elyana berdiri tegak, mengumpulkan keberanian, sementara Davin di sampingnya menatap tajam ke arah pria misterius yang duduk di kursi besar itu. Suara pria itu, yang terdengar begitu familiar namun penuh teka-teki, menggema di dalam ruangan, menambah ketegangan yang sudah mencekik.
“Kardinal Nocturne?” Elyana mengulang, suaranya hampir tak terdengar. Ia mencoba mengendalikan dirinya, meskipun jantungnya berdegup keras, mengingatkan akan bahaya yang terpendam di balik setiap kata yang diucapkan.
Pria itu tersenyum, senyuman yang tidak mengandung kebahagiaan, hanya kepercayaan diri yang menakutkan. “Ya, aku Kardinal Nocturne,” jawabnya dengan nada yang penuh dengan kepastian. “Dan aku sudah lama menunggu saat ini.”
“Kenapa kau mengincar kita?” Davin bertanya, suaranya tegas meskipun ketegangan di matanya tak bisa disembunyikan. “Apa yang kau rencanakan?”
Kardinal Nocturne tertawa pelan, suara itu menggema seperti gema di dalam gua yang dalam. “Rencana? Oh, kita semua hanya memainkan peran dalam sebuah permainan besar, Davin. Aku hanya ingin memastikan permainan ini berlangsung seadil mungkin.”
Elyana memandangnya dengan kecurigaan. “Permainan apa yang kau maksud? Kenapa kita yang kau cari?”
Pria itu menoleh ke arah Elyana, matanya yang tajam menilai setiap gerakannya. “Kau memiliki sesuatu yang sangat berharga, Elyana. Sesuatu yang bisa mengubah alur permainan ini. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia berada di tempat yang seharusnya.”
Mata Elyana melebar. “Kau berbicara tentang Ryo, bukan?”
“Ah, Ryo,” pria itu mengulangi, wajahnya berubah serius. “Dia hanya awal dari apa yang seharusnya menjadi akhir. Tapi tidak, tidak sekarang. Kita masih memiliki banyak langkah yang harus dilakukan.”
Davin bergerak sedikit maju, tubuhnya memancarkan kewaspadaan. “Kau tidak akan menang, Kardinal Nocturne. Kami tidak akan membiarkanmu menghancurkan apa yang telah kami perjuangkan.”
Kardinal Nocturne memandang Davin, matanya seolah menembus hingga ke dalam jiwanya. “Kau tidak memahami skala permainan ini, Davin. Kalian hanya pion. Di sisi lain, aku adalah pemain yang menentukan jalannya cerita.”
Suasana di ruangan itu menjadi semakin tegang. Elyana tahu mereka sedang berada di ujung jurang, dan hanya satu langkah saja yang bisa mengubah segalanya. Ia mengambil napas dalam-dalam, menatap pria itu dengan penuh tekad.
“Jika ini permainan yang kau maksud, maka aku tidak akan kalah begitu saja,” ucap Elyana dengan suara yang dipenuhi keyakinan. “Kami tidak akan membiarkanmu memenangi permainan ini.”
Kardinal Nocturne hanya tersenyum, senyuman yang seolah tahu lebih banyak dari yang seharusnya. “Mari kita lihat seberapa jauh kalian bisa bertahan, Elyana. Permainan ini baru saja dimulai.”
Tanpa peringatan, layar-layar di sekeliling mereka berkedip, menampilkan peta-peta dan informasi yang berputar cepat. Sesuatu di dalam diri Elyana bergerak, sebuah insting yang mengatakan bahwa mereka tidak hanya melawan seorang musuh biasa. Mereka sedang berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar, dan lebih berbahaya dari yang pernah mereka bayangkan.
Elyana merasakan udara di sekelilingnya mencekik, seolah ada kekuatan yang tak terlihat mengikat setiap gerakan dan setiap napas. Hatinya berdetak cepat, namun ia berusaha untuk tetap tenang, mencari celah di antara kekacauan yang tiba-tiba melanda. Di sekelilingnya, layar-layar yang sebelumnya gelap kini menyala terang, menampilkan data yang bersilangan dan bergulir seperti arus sungai yang deras. Ada peta-peta yang memantulkan titik-titik merah, tanda-tanda penting yang terhubung dengan jalur-jalur misterius.
Davin menatap layar dengan ekspresi serius. “Ini bukan hanya permainan. Ini sebuah peringatan. Mereka tahu kita di sini.”
Kardinal Nocturne berdiri dari kursinya, langkahnya tenang namun menggetarkan. “Kalian tidak tahu seberapa besar ancaman yang sebenarnya. Jika kalian ingin melawan, maka buktikan kalian layak untuk berada di sini.”
Tiba-tiba, suara alarm yang keras dan menusuk telinga bergema di seluruh ruangan. Layar-layar itu menampilkan simbol-simbol merah yang berkedip dengan cepat, seolah menandakan bahaya yang datang dalam sekejap. Elyana merasakan getaran di lantai, menandakan ada sesuatu yang bergerak di dalam gedung. Mungkin pasukan, mungkin sesuatu yang lebih mengerikan.
“Davin, kita harus keluar dari sini!” teriak Elyana, suaranya terdengar lebih panik daripada yang diinginkannya.
Davin mengangguk, namun matanya tidak lepas dari sosok Kardinal Nocturne yang berdiri dengan sikap tak tergoyahkan. “Kami tidak akan membiarkanmu menang, Kardinal,” katanya dengan penuh tekad.
Pria itu hanya tertawa, tetapi kali ini ada kebencian yang terlihat di balik senyumannya. “Kalian sudah terlambat. Semua sudah diatur. Kalian hanya memilih untuk ikut dalam permainan ini.”
Mata Elyana mencari-cari sesuatu di ruang itu, sesuatu yang bisa mereka gunakan untuk melawan. Di dekat panel kontrol, ada sebuah senjata kecil yang tampak seperti alat pemancar energi. Dengan secepat kilat, Elyana mengambilnya dan mengarahkan ke Kardinal Nocturne.
“Jika ini permainan, maka aku akan mengubah aturannya,” ucap Elyana, suaranya sekarang tegas, tidak memberi ruang untuk kompromi.
Kardinal Nocturne mengerutkan kening, tetapi ada kilatan penghargaan di matanya. “Berani sekali. Tapi apakah kau yakin bisa mengendalikannya?”
Belum sempat Elyana menjawab, suara gemuruh yang lebih keras mengguncang gedung. Marcus, yang sejak awal berada di dekat pintu, berteriak, “Kita harus pergi sekarang! Mereka sudah mengunci jalan keluar.”
Davin menarik tangan Elyana dan berlari ke arah pintu, menembus kegelapan yang mulai merayap di ruangan itu. Di belakang mereka, suara Kardinal Nocturne terdengar seperti bisikan yang penuh misteri. “Jangan kira kalian sudah bebas. Ini baru awalnya.”
Mereka berlari melalui lorong-lorong yang sempit, diikuti oleh teriakan dan langkah-langkah yang mendekat, penuh dengan kegelisahan. Elyana tahu ini adalah titik balik. Apa pun yang ada di balik pintu itu, mereka tidak akan kembali seperti sebelum ini.
Begitu mereka keluar ke udara malam, hiruk-pikuk di luar sudah mulai melanda. Ada kendaraan yang melintas dengan kecepatan tinggi, suara sirene, dan teriakan yang semakin mendekat. Elyana memandang ke arah Davin, merasakan panas dan kehangatan dari tangan pria itu yang memegang erat tangannya.
“Davin, kita harus berhati-hati. Ini belum selesai,” ucapnya, menatap ke mata pria itu dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Davin mengangguk, matanya menyiratkan keberanian yang sama. “Kita akan melawan. Sampai akhir.”
Di balik kegelapan malam, di dalam bayang-bayang yang semakin dalam, permainan Kardinal Nocturne semakin mendekat. Dan Elyana tahu, apapun yang akan terjadi, mereka sudah memilih jalan mereka—jalan yang tidak akan pernah mereka sesali, apapun risikonya.
Mereka berlari menembus lorong-lorong sempit, berbelok ke kanan dan kiri, menyeberangi jembatan sempit yang bergoyang di atas sungai gelap. Udara malam itu terasa berat, penuh dengan rasa takut dan ketegangan yang mengapung di sekitar mereka. Elyana bisa mendengar derap kaki di belakang, semakin mendekat, mengintai setiap langkah mereka.
“Marcus, ada jalur aman?” tanya Davin, napasnya terengah-engah saat mereka menambah kecepatan.
Marcus yang memimpin di depan menoleh, wajahnya dipenuhi keringat dan ekspresi serius. “Jalur bawah tanah di kiri, cepat!” jawabnya, menunjuk ke arah sebuah pintu besi yang setengah terbuka. Mereka berlari menuju pintu itu dan Marcus mendorongnya, mengungkitnya ke samping hingga terbuka sepenuhnya. Di baliknya, lorong sempit berliku-liku mengarah ke ruang yang gelap, suara air yang menetes membuat suasana semakin mencekam.
Elyana tidak ragu untuk masuk, diikuti oleh Davin dan Marcus. Begitu mereka masuk, suara gemuruh dan teriakan di luar semakin jauh, tetapi rasa cemas di hati mereka tidak berkurang. Lorong itu sempit dan penuh dengan kelembapan, membuat setiap langkah mereka disertai dengan suara desisan yang mengganggu. Elyana merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya, tetapi dia tahu, dia tidak bisa berhenti.
Di ujung lorong, mereka tiba di sebuah ruangan yang lebih luas. Di sana, dindingnya penuh dengan pipa-pipa tua yang mengalirkan air kotor. Namun, ada sesuatu di sana yang membuat hati Elyana berdetak lebih cepat: sebuah pintu yang terlihat berbeda dari yang lain, berwarna hitam pekat dengan simbol yang tampak seperti perisai yang terukir di atasnya.
Marcus memandang pintu itu, lalu menatap Elyana dan Davin. “Ini adalah pintu keluar yang paling aman. Tetapi kita harus cepat, karena mereka pasti akan mengejar kita.”
Davin mengangguk dan melangkah ke depan, menekan panel kecil di samping pintu itu. Pintu bergeser perlahan, mengeluarkan suara berderit keras. Seketika, mereka melihat cahaya terang dari luar, sebuah pemandangan yang sangat kontras dengan gelapnya lorong di dalam gedung itu.
Elyana melangkah keluar, merasakan angin malam yang dingin menyapu wajahnya, seolah memberi tahu bahwa mereka telah meninggalkan kegelapan yang menghimpit dan kembali ke dunia yang lebih bebas. Di sekelilingnya, tampak bangunan-bangunan tua yang sudah ditinggalkan dan jalanan sepi yang diselimuti kabut.
“Tempat ini…” suara Marcus terbata, matanya melirik ke sekitar dengan waspada. “Ini adalah distrik lama, tak jauh dari pusat kota.”
Davin menoleh pada Elyana, raut wajahnya serius. “Kita hanya punya waktu sedikit. Mereka pasti sudah mengirim pasukan untuk menangkap kita.”
Elyana menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan di dadanya. “Kita tidak bisa tinggal di sini. Kita harus bergerak sekarang.”
Mereka mulai berjalan, berusaha memanfaatkan bayang-bayang dan reruntuhan untuk menyembunyikan diri. Namun, di antara ketegangan dan kebingungan, ada sebuah pertanyaan yang terus menghantui Elyana. Siapa sebenarnya Kardinal Nocturne? Dan apa yang dia rencanakan selanjutnya?
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar di belakang mereka. Seorang pria dengan pakaian gelap dan masker menutupi sebagian wajahnya muncul dari balik kegelapan. Matanya tajam, menatap Elyana dan Davin dengan sinyal peringatan.
“Kalian tidak bisa lari dari ini,” katanya, suaranya tenang namun penuh ancaman.
Elyana merasakan hatinya berdegup lebih cepat. Kini, permainan ini benar-benar dimulai.
Pria itu melangkah lebih dekat, matanya seolah menembus hingga ke dalam jiwa Elyana. Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menekan setiap napas mereka. Elyana tahu bahwa mereka sedang dihadapkan pada musuh yang tidak bisa dianggap remeh, seseorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih dari sekadar tentara biasa.
Davin berdiri di samping Elyana, posisi tubuhnya membentuk pertahanan alami. “Siapa kau?” tanyanya, suaranya rendah namun tegas.
Pria itu tidak segera menjawab. Ia mengangkat tangan, mengarahkan telunjuknya ke arah mereka. “Kalian terlalu terlambat. Kardinal Nocturne telah memulai langkah berikutnya, dan kalian tidak akan bisa menghentikannya.”
Elyana merasakan rasa cemas yang menjalar di tubuhnya. “Apa yang dimaksud dengan langkah berikutnya? Apa yang ingin dia lakukan?” tanyanya, mencoba menyusun rencana di kepalanya.
Pria itu hanya tersenyum sinis, namun tidak menjawab. Matanya mengalirkan ancaman yang jelas, seolah-olah sudah cukup untuk membuat Elyana dan Davin tahu bahwa waktu mereka sangat terbatas.
“Cukup bicara!” teriak Marcus, yang akhirnya maju dengan ekspresi penuh tekad. “Jika kau tidak membantu kami, kami akan mengambil jalannya sendiri.”
Sekilas, mata pria itu melintas pada Marcus, lalu kembali ke Elyana dan Davin. Ada kilatan samar dalam sorot matanya, sesuatu yang seperti pertanda bahwa ada lebih dari satu sisi dalam permainan ini. Namun, secepat itu juga, ekspresinya kembali kosong, seperti patung yang tidak bisa merasakan apa pun.
“Jangan buang waktu kalian,” katanya, lalu berbalik dan mulai berjalan menjauh. “Tapi ingat, keputusan yang kalian buat sekarang akan menentukan hidup kalian di masa depan.”
Davin melirik Elyana, mata mereka saling bertemu sejenak sebelum Elyana mengangguk. Mereka tidak punya pilihan lain selain mengikuti petunjuk itu. Tidak ada waktu untuk ragu, tidak ada ruang untuk kesalahan.
“Cepat, kita harus keluar dari sini,” perintah Elyana. Mereka berlari melewati gang-gang sempit, melintasi jalan-jalan gelap di distrik lama yang sepi. Setiap langkah yang mereka ambil seolah membawa mereka lebih dalam ke dalam permainan berbahaya yang kini sudah berada di luar kendali mereka.
Tiba-tiba, suara ledakan kecil mengguncang udara, diikuti oleh teriakan yang menggema di kejauhan. Marcus berhenti sejenak dan menoleh. “Itu datang dari pusat kota,” katanya, ekspresinya serius. “Mereka benar-benar memulai semuanya.”
Elyana menatap Davin, matanya dipenuhi dengan tekad. “Kita tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Apa pun yang terjadi, kita harus menghentikan Kardinal Nocturne.”
Davin meraih tangan Elyana, memegangnya erat sejenak. “Kita akan melakukannya. Bersama.”
Dengan langkah yang lebih cepat dan hati yang penuh harapan, mereka terus melangkah ke depan, siap menghadapi apa pun yang menunggu mereka di depan. Dunia yang gelap ini mungkin mengancam, tetapi Elyana tahu satu hal: di antara kegelapan itu, masih ada cahaya yang bisa mereka temui, dan mereka akan mencapainya, tak peduli apa pun yang terjadi.
...****************...