Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Laras, Ayo Ikut Bersamaku
Di sebuah tenda, nampak seorang gadis mungil makan seblak dengan lahap. Aliando terus menerus melirik gadis itu. Ujung bibir si Gadis nampak berlepotan kuah merah gurih.
Prass yang sangat peka menyenggol lengan pria beraut wajah datar itu. “Kalau mau ngusap, lakuin aja. Kenapa sih, pake acara gengsi?” senyum Prass sambil menggoda Ali.
Aliando segera meletakkan tissue ke samping Laras. “Seka bibirmu.”
“Eum?” Kedua pipi gadis mungil itu menggembung. Matanya nampak sangat riang.
Lucu sekali ya ampun …. Batin Aliando.
Pelan-pelan, tangan besar pria itu bergerak, menarik selembar tissue lalu diusakkan ke ujung mulut Laras. “Kunyah dengan benar.”
Laras mengangguk, tersenyum senang. Bahagia rasanya diperhatikan oleh si Ojol. Meski pekerjannya tidak wah, setidaknya mukanya tampan dan Laras merasa begitu diperdulikan.
Aliando tanpa sadar mengulum senyum. Pria itu menunduk. Tapi, bukan Prass namanya kalau tidak sadar dengan polah laku sahabatnya.
“Kayaknya lo beneran jatuh cinta.” Bisik Prass.
Ali segera menghindar. Telinganya terasa panas. Kuah dari seblak pedas itu menjadikan napas Prass begitu tidak nyaman untuk Ali.
“Kamu bisa, ‘kan, bantuin aku?” Ali segera mengalihkan pembicaraan sebelum perasaannya pada Laras terbongkar habis.
Prass menyendokkan kembali seblak ke dalam mulutnya. Tak lupa ia hisap es teh jumbo yang menyegarkan tenggorokan. Meski cuaca mendung, udara panas tak terhindarkan saat ini.
“Bisa …,” jawabnya kemudian.
Ali memutar tubuhnya, fokus ke arah Prass. Polisi intel yang telah bertugas selama lima tahun itu meraih tangan sahabatnya. “Kamu memang yang terbaik.”
Prass melirik ke bawah, mulutnya membola. “Ras …, lihat nih, Ras. Suami lo kegatelan.”
Laras menoleh, gadis itu tertawa, matanya seperti bulan sabit, manis dan sangat imut.
Aliando segera menghempaskan tangan sahabat karibnya. “Apaan deh?”
“Yaudah, abis ini kita ke rumah bokap gue,” kata Prass.
“Oke.”
***
Jendral Polisi bintang empat, berkumis lebat, berperawakan tinggi dan tegas. Wibawanya bukan main, sangat dikagumi oleh siapa pun yang memandang.
Aliando menelan salivanya berkali-kali sejak bertemu Jendral yang satu ini. Meski sudah pernah dikenalkan oleh Prass, Ali tetap saja merasa canggung ketika bertemu komandan nomor satu di Polres tempatnya bertugas.
“Kamu tidak mau tugas di Papua?” tanya Pak Candra. Jendral polisi itu menanggalkan kacamatanya ke meja.
Baru saja Aliando akan menjawab. Jendral itu menyuruhnya untuk minum teh hangat dulu.
“Kamu anaknya Pak Abraham, ‘kan?”
“Betul, komandan!” Ali bersuahan menelan air tehnya. Namun, ia segera memposisikan tubuhnya dengan tegak.
Pak Candra mengangguk. “Tapi bapakmu sudah pesan ke saya kalau kamu harus dikirim ke Papua minggu depan.”
Mata Ali melotot. Ia merapatkan bibirnya. Tangannya mengepal. “Tapi saya tidak bersedia, komandan.”
“Pantaskah seorang intel mengatakan hal itu?”
“Papa ….” Prass memajukan tubuhnya, hendak memberitahu ayahnya tapi Pak Candra menaikkan tangannya, tidak mau dipotong ucapannya.
“Bapakmu sengaja kirim kamu ke Papua demi kebaikan kamu, Aliando Putra Perdana ….”
Ali sontak menunduk ketika nama lengkapnya disebut. Polisi intel ini sudah tahu keputusan akhir dari sang Jendral.
“Kalau kamu tidak berangkat ke Papua, nyawamu akan terancam,” ujar Pak Candra secara terang-terangan.
Aliando segera menatap lurus ke arah sang Jendral polisi bintang empat itu. “Apa maksud, komandan?”
“Dalam sebuah institusi atau organisasi, selalu ada keuntungan yang dicari. Kambing hitam selalu dibutuhkan ketika ada masalah besar yang harus ditutupi.” Pak Candra menunjuk Ali. “Kamu adalah kandidat terkuat yang bisa di fitnah. Kamu orang yang sempurna untuk rencana busuk itu.”
Mata Ali bergerak-gerak gelisah meski ekspresi wajahnya masih saja datar. Ali menghela napasnya berat. “Lantas …, kenapa Anda diam saja ketika ada kasus besar yang melibatkan anggota kepolisian? Saya tidak mengerti, komandan!”
“Kamu tahu apa artinya menjaga posisi dan menjaga nama institusi? Kamu tahu apa arti dari melindungi keluarga? Apakah kamu tahu bagaimana cara menang tanpa harus bertindak gegabah?” Pak Candra melemparkan pertanyaan yang tidak bisa Aliando jawab.
“Siapa orangnya, Pah?” tanya Prass penasaran.
“Kamu akan tahu sendiri nanti.”
“Apa Prass juga dalam bahaya?”
Pak Candra menatap putra semata wayangnya. Ia tepuk sebelah bahu Prass. “Kamu satu-satunya putraku, begitu tampan, jujur dan sangat loyal terhadap institusi. Papa tidak mungkin membiarkan kamu terseret dalam kasus gelap itu.”
Prass menelan salivanya, ia melirik sahabatnya. Kedua alisnya turun ke bawah, nampak sedih karena tak dapat membantu Ali.
“Jadi …, hanya itu satu-satunya cara terbaik menurut komandan?” Ali masih menunduk, menantikan sebuah jawaban.
“Hanya satu bulan. Lakukan sesuai perintah bapakmu. Setelah itu, kamu akan saya pindah tugaskan ke kantor polisi yang lain sesuai dengan keinginan kamu.”
“Sungguh?” Kini, mata Ali berbinar. Ya, hanya satu bulan saja. Ia mampu bersabar.
“Janji seorang Jendral selalu bisa kamu pegang.” Pak Candra pun berdiri. Menyudahi perbincangan sebab beliau akan segera menuju polres kota J.
Sementara itu, Laras sengaja dibawa ke kosan putri sebelum Ali dan Prass mengunjungi rumah Pak Candra. Aliando belum siap memberitahu tentang profesinya yang sebenarnya.
Dalam perjalanan menuju kos putri, Prass bertanya, “yakin gak mau kasi tahu, Laras?”
“Baiknya kukasi tempe.”
Prass mendengus, tangannya sudah siap menonjok Aliando. “Bisa-bisanya lo bercanda dalam situasi begini. Lagian …, kalau Laras gak tahu, alasan lo apa nanti?”
“Belum pikirin.” Geleng Ali, santai.
Prass mengerem mobil. Ia turunkan kaca mobilnya, membiarkan udara masuk. Pria berambut plontos itu nyaris kehabisan rasa sabarnya ketika bicara dengan Ali.
“Sampai kapan mau boongin, Laras?”
Ali menoleh. “Laras gak bakalan ikut ke Papua.”
“Terus lo tinggalin istri imut lo sendirian? Gitu?” beo Prass tidak percaya. Kepala plontosnya ia usap-usap saking kesalnya. “Jangan nyesel kalo istri mungil lo diambil orang, yaaa.”
Ali tersenyum, “mana ada yang mau ama Laras? Gadis cengeng bikin repot aja.”
“Ya! Bikin repot perasaan lo!”
“Udah …, lanjutin perjalanannya. Laras mau gue bawa pulang ke kampung.”
Prass menggeleng, tidak tahu mau bilang apa lagi. Mobil jeep hitam mengkilap itu melaju ke arah kosan putri. Tidak perlu waktu lama, Laras nampak menunggu di depan pagar. Aliando segera turun dan membukakan pintu belakang mobil.
“Kita pulang?” tanya Laras dengan mata berkedip-kedip imut.
Ali pun mengangguk. “Iya, memang mau ke mana lagi?”
“Loh, katanya mau ngajakin aku ke mall.”
“Lain kali.” Ali segera meraih lengan gadis itu pelan. Diangkat masuk ke belakang mobil jeep. Tubuh Laras seperti kapas warna-warni bagi Ali. Ringan, lembut dan juga manis. Lagi-lagi polisi intel itu menyunggingkan senyumnya.
Prass yang melihat dari spion tengah menganga. “Beneran deh tololnya. Jatuh cinta tapi denial. Bini lo diambil orang baru tahu rasa,” Prass bergumam kesal.
***
Sekitar dua jam perjalanan menuju kampung Durian Jatuh. Laras ketiduran di belakang. Ali menggerakkan kepalanya ke kanan-kiri, lehernya pegal.
Ketika Prass hendak mengambil sebatang rokok, Ali segera berteriak kencang. Seketika mobil jeep itu mengerem mati.
Crittt!!!
Tubuh mungil Laras agak terhempas. Aliando segera menoleh, memeriksa keadaan istri manjanya. “Kenapa? Apa yang sakit?” Wajah pria itu nampak panik.
Prass mencoba mengstabilkan napasnya. Ia turun dari mobil dan memeriksa seorang nenek tua yang hampir ia tabrak.
“Nenek gak apa? Maaf, ya?” Prass mencoba menangkan nenek tua itu.
Akan tetapi, sang Nenek malah tersenyum lebar. Giginya yang hitam agak keropos membuat Prass agak ngeri. Polisi intel itu mundur.
Ali dan Laras ikut turun. Seketika kening gadis tersebut mengkerut. “Dukun Tukiyem?”
“Hehe …, kamu ingat saya, Ali?” Dukun Tukiyem malah bertanya pada pria berkulit putih itu.
Ali membuang napas, dia sangat lelah. Malas berurusan dengan dukun tidak masuk akal itu.
“Kalian kenal?” Tunjuk Prass secara bergantian, bingung.
Laras mengangguk. “Emmm, dia warga kampung sini.”
Karena ucapannya tak dijawab. Dukun Tukiyem segera menarik paksa Aliando untuk berbicara. Dibawanya Ali ke dekat pohon beringin.
“Kamu masih ingat yang saya katakan tempo hari, anak muda?” tanya suara serak dukun itu. Raut wajahnya sangat serius.
“Ingat apa, ya? Maaf?”
“Kamu sangat keras kepala, anak muda. Luka pada perutmu belum mengering sempurna.”
Sebelah alis Aliando terangkat. Dia rabah area perutnya, merasakan balutan kain kasa tebal yang menutupi lukanya.
“Kali ini …, jika Laras tidak bersamamu. Nyawamu tidak akan tertolong.” Setelah mengatakan itu, si Nenek pergi meninggalkan ke tiga orang tersebut.
Tinggallah Ali seorang diri di bawah pohon beringin sambil menimbang-nimbang ucapan si Dukun. Terdengar tidak masuk akal. Tapi, bagaimana bisa dukun itu tahu kalau Ali habis kena tikam?
Polisi intel tersebut mengencangkan rahangnya. Matanya bergerak-gerak mulai gelisah. Haruskah ia mendengarkan pernyataan mengancam dari seorang dukun?
Beberapa detik kemudian, Aliando pun berbalik, ia menghampiri Laras. Digenggamnya tangan gadis itu secara tiba-tiba. “Laras ….”
Mata Laras berkedip keheranan. “Iya?”
“Ayo ikut bersamaku.”