Nayla, seorang gadis sederhana dengan mimpi besar, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah menerima lamaran dari Arga, seorang pria tampan dan sukses namun dikelilingi rumor miring—katanya, ia impoten. Di tengah desakan keluarganya untuk menerima lamaran itu demi masa depan yang lebih baik, Nayla terjebak dalam pernikahan yang dipenuhi misteri dan tanda tanya.
Awalnya, Nayla merasa takut dan canggung. Bagaimana mungkin ia menjalani hidup dengan pria yang dikabarkan tak mampu menjadi suami seutuhnya? Namun, Arga ternyata berbeda dari bayangannya. Di balik sikap dinginnya, ia menyimpan luka masa lalu yang perlahan terbuka di hadapan Nayla.
Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Nayla menyadari bahwa rumor hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Tetapi, ketika masa lalu Arga kembali menghantui mereka dalam wujud seseorang yang membawa rahasia besar, Nayla dihadapkan pada pilihan sulit, bertahan di pernikahan ini atau meninggalkan sang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Ketegangan menggantung di udara seperti jerat yang siap menjerat leher. Arga melangkah keluar dari kamar, tubuhnya tegak dan waspada. Ia berhenti sejenak di ambang pintu, menoleh ke Nayla yang masih terpaku di tempat tidur. “Kunci pintunya setelah aku keluar,” perintahnya, nada suaranya tak memberi ruang untuk perdebatan.
Nayla tidak menjawab. Tubuhnya kaku, matanya terpaku pada punggung Arga yang perlahan menghilang di balik pintu. Begitu ia mendengar bunyi pintu tertutup, ia bangkit dengan tangan gemetar dan memutar kunci seperti yang diminta.
Detik berlalu terasa seperti abad. Suara-suara samar dari ruang tamu membuat jantung Nayla berpacu tak karuan. Ia ingin tahu apa yang terjadi, tapi rasa takut menahannya di tempat. Ia menempelkan telinga ke pintu, berharap mendengar sesuatu yang bisa menjelaskan situasi.
“Kau seharusnya tidak ke sini,” suara Arga terdengar rendah, nyaris seperti desisan.
“Kau pikir aku tidak tahu kau menyembunyikan sesuatu?” Suara perempuan itu penuh kemarahan dan dingin.
Clara. Nama itu langsung terlintas di kepala Nayla.
Keesokan paginya, Nayla terbangun dengan kepala berat. Ia tidak ingat kapan akhirnya berhasil tertidur, tetapi saat membuka pintu, ia menemukan rumah kembali rapi seperti tidak terjadi apa-apa. Arga duduk di ruang makan, wajahnya biasa saja seolah malam tadi hanyalah mimpi buruk yang tidak pernah terjadi.
“Apa yang sebenarnya terjadi semalam?” Nayla duduk di depannya, menatap tajam.
Arga meletakkan cangkir kopinya, tatapannya datar. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku sudah menangani semuanya.”
“Itu bukan jawaban, Arga,” desak Nayla, nadanya meninggi. “Siapa yang datang semalam? Clara?”
Mata Arga menyipit, dan rahangnya mengeras. “Sudah kubilang, Nayla. Jangan ikut campur. Fokus saja pada hidupmu.”
Nayla hampir membalas, tetapi suara ponselnya menyela percakapan. Ia mengangkat telepon itu dengan enggan saat melihat nama yang tertera.
“Nayla, bagaimana kabarmu?” Suara ceria ibunya terdengar di ujung sana. “Kami butuh bantuan sedikit. Rumah kita sepertinya butuh perbaikan dan uang pensiun ayahmu sudah habis. Kau tahu kan, Arga pasti tidak keberatan membantu?”
Kata-kata itu membuat perut Nayla bergejolak. “Ibu, aku... aku tidak tahu. Mungkin aku harus membicarakannya dulu dengan Arga.”
“Ah, kau terlalu banyak berpikir,” potong ibunya cepat. “Arga kan pria kaya, masa kau tidak bisa meminta bantuan kecil seperti ini?”
Percakapan itu berakhir dengan rasa bersalah yang menekan dada Nayla. Ketika ia menceritakan permintaan ibunya kepada Arga, pria itu hanya mengangguk singkat.
“Aku akan urus,” katanya tanpa emosi.
Namun, respons tenang itu justru membuat Nayla semakin gelisah.
---
Hari-hari berikutnya, keluarga Nayla semakin sering menghubunginya dengan berbagai permintaan. Renovasi rumah, kendaraan baru, bahkan investasi bisnis kecil-kecilan yang entah apa tujuannya. Awalnya Nayla mencoba menolak, tapi tekanan dari ibu dan adiknya membuatnya menyerah.
“Apa kau tidak malu?” bisik Nayla kepada dirinya sendiri saat melihat jumlah uang yang ditransfer Arga ke rekening adiknya. Ia menatap layar ponselnya dengan campuran rasa bersalah dan amarah.
Namun, keluarga Nayla tampaknya tidak merasa demikian. Bahkan, ibunya dengan santai mengirim foto-foto renovasi rumah sambil menambahkan catatan,"Terima kasih untuk Arga. Kau benar-benar beruntung, Nak!
“Aku bukan perantara!” gumam Nayla kesal.
Di malam yang sama, saat Arga baru saja pulang kerja, Nayla memberanikan diri membahas hal ini.
“Arga, aku merasa keluargaku mulai berlebihan,” katanya hati-hati.
Arga menatapnya, wajahnya tetap tenang. “Kau istriku, Nayla. Keluargamu adalah tanggung jawabku juga. Aku tidak keberatan.”
“Tapi aku keberatan!” Nayla mendadak meninggikan suara. “Mereka memanfaatkanmu, dan aku merasa seperti... seperti alat!”
Arga terdiam sejenak. Kemudian ia berkata pelan, “Kalau begitu, bicaralah dengan mereka. Aku tidak bisa melarang mereka meminta sesuatu darimu. Tapi aku ingin kau tahu, aku melakukannya untukmu.”
---
Nayla akhirnya memutuskan untuk bicara dengan ibunya. Namun, pembicaraan itu jauh dari lancar.
“Kau tidak tahu apa-apa!” suara ibunya meninggi di telepon. “Kau pikir hidup ini mudah tanpa uang? Kau sekarang istri orang kaya, apa susahnya membantu keluarga sendiri?”
“Ibu, ini bukan soal itu!” Nayla mencoba menahan emosinya. “Ini soal harga diriku. Aku tidak ingin merasa seperti pengemis!”
“Pengemis?” Suara ibunya terdengar marah sekaligus mengejek. “Jadi sekarang kau merasa lebih baik dari kami hanya karena menikah dengan pria kaya? Dengar, Nayla, kalau kau tidak mau membantu keluarga sendiri, jangan harap kami akan ada di saat kau butuh!”
Telepon itu terputus dengan bunyi klik tajam, meninggalkan Nayla terpaku dalam kesedihan.
Di malam yang sama, Nayla duduk di ruang tamu, menatap koper yang masih tergeletak di sudut. Ia tahu ada sesuatu di dalam sana yang belum ia pahami. Arga mungkin punya alasan untuk semuanya, tapi rahasianya semakin membebani hubungan mereka.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya, membuat dadanya berdegup kencang. Pesan itu hanya terdiri dari satu kalimat:
“Kau harus tahu kebenarannya malam ini, atau kau akan menyesal selamanya.”
Nayla menggenggam ponselnya erat, rasa takut dan penasaran bercampur menjadi satu. Kali ini, ia tahu ia harus pergi. Namun, sebelum ia bisa merencanakan langkah berikutnya, suara langkah kaki terdengar di belakangnya.
“Nayla,” suara Arga memanggil, rendah dan penuh makna. “Apa yang sedang kau rencanakan?”
Tatapan Arga seperti menembus jiwanya. Nayla berdiri terpaku, tidak mampu berkata apa-apa. Ponsel di tangannya terasa seperti bukti kejahatan yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Apa yang kau rencanakan, Nayla?” ulang Arga, kali ini dengan nada lebih dingin. Langkahnya perlahan mendekat, membuat tubuh Nayla tegang.
“A-aku...” Nayla berusaha mencari kata-kata. Tapi pikirannya terlalu penuh—antara pesan misterius, rahasia di koper Arga, dan rasa bersalah pada keluarganya.
Arga berhenti hanya beberapa langkah darinya, menundukkan kepala sedikit untuk melihat wajah Nayla dengan lebih jelas. “Kau mau pergi ke suatu tempat?”
Nayla menggeleng cepat, tapi gerakannya terlalu gugup untuk meyakinkan siapa pun. “Tidak, aku hanya...” Ia mengangkat ponselnya, seolah itu bisa menjelaskan semuanya.
Arga meraih pergelangan tangannya dengan lembut, namun mencengkeram cukup kuat untuk membuatnya tak berkutik. Matanya bergerak ke layar ponsel Nayla, membaca pesan terakhir yang tertera di sana. Rahangnya mengeras dan kilatan marah tampak di matanya.
“Jadi, kau masih berhubungan dengan mereka,” gumamnya.
“Mereka siapa?” Nayla bertanya, kali ini suaranya terdengar lebih tegas. “Apa yang sebenarnya terjadi, Arga? Kenapa kau terus merahasiakan banyak hal dariku?”
Arga melepaskan pergelangan tangannya dan melangkah mundur. Ia menghela napas berat, seperti seseorang yang mencoba menahan ledakan emosi. “Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Nayla. Kalau aku melindungimu, itu karena aku tahu mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka mau.”
“Siapa mereka?”
“Clara dan semua orang yang ada di belakangnya,” jawab Arga dengan nada rendah. “Mereka bukan hanya mengincarku, tapi juga kau. Dan kalau kau terus melibatkan dirimu, kau hanya akan membuat keadaan jadi lebih buruk.”
Nayla menggenggam ponselnya lebih erat, rasa takut mulai tergantikan oleh amarah. “Jadi aku harus diam saja, membiarkan diriku dikelilingi rahasia dan ancaman? Aku ini istrimu, Arga! Kalau ada bahaya, aku berhak tahu!”
“Kalau aku bilang ini untuk melindungimu, kenapa kau tidak percaya?” balas Arga dengan nada tajam.
“Karena aku tidak mau hidup dalam ketakutan yang tidak aku mengerti!” Nayla mendekat, menatap Arga dengan mata penuh tekad. “Katakan padaku, Arga. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa Clara? Dan kenapa dia begitu penting bagimu?”
Arga terdiam lama. Tatapannya berubah menjadi lembut, tapi itu hanya membuat Nayla semakin merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
“Aku sudah kehilangan seseorang sebelumnya,” katanya pelan, hampir seperti bisikan. “Dan aku tidak mau kehilangan lagi. Itu sebabnya aku meminta kau tidak mencampuri urusan ini.”
“Tapi kau tidak akan kehilanganku,” jawab Nayla, suaranya mulai melembut. “Kalau kau percaya padaku, aku akan tetap di sini. Tapi kalau kau terus mendorongku pergi, Arga, aku tidak yakin bisa bertahan.”
Arga memejamkan mata, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tampak seperti seseorang yang terjebak antara keinginan untuk jujur dan kebutuhan untuk melindungi.
“Aku butuh waktu,” katanya akhirnya. “Dan aku butuh kau percaya padaku.”
Nayla ingin membalas, tapi suara dering dari pintu depan menghentikan mereka.
Ketika Nayla membuka pintu, ia menemukan sebuah amplop cokelat besar di lantai. Tangannya gemetar saat mengambilnya, mengenali tulisan yang sudah terlalu familiar:
“Ini yang terakhir. Jangan abaikan.”
Ia melangkah mundur perlahan, memperhatikan jalanan di luar dengan waspada. Tidak ada siapa pun di sana.
“Apa itu?” suara Arga terdengar dari belakang, membuat Nayla melompat kaget.
“Tidak... tidak ada apa-apa,” jawabnya cepat, menyembunyikan amplop di balik tubuhnya. Tapi Arga tidak tertipu. Ia mendekat dan merebut amplop itu dengan cepat sebelum Nayla sempat melawan.
Tatapannya berubah gelap saat membaca isi surat itu. “Mereka benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti.”
“Arga, apa maksudnya? Apa yang ada di dalam sana?” Nayla mencoba meraih amplop itu kembali, tapi Arga menahannya dengan mudah.
“Kau tidak perlu tahu,” katanya dingin.
“Tapi aku ingin tahu!” Nayla berteriak, suaranya pecah.
Arga menatapnya tajam, lalu membuka amplop itu. Isinya hanya sebuah foto—gambar seorang wanita yang tersenyum lembut, dengan tangan melingkari seorang pria yang sangat mirip dengan Arga. Tapi namanya bukan Arga.
Ardi Saputra Raharja.
“Siapa dia?” tanya Nayla, suaranya nyaris berbisik.