seorang wanita cantik yang bertemu dengan Laki-Laki tampan membuat diri nya jatuh hati, Namun sangat di sayangkan mereka memiliki perbedaan yang sulit untuk mereka bersatu selama nya. apakah cinta mereka akan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fallenzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
part 2
Setelah meeting kemarin malam, Nabillah terpilih untuk mengikuti pelatihan selama seminggu. Mau tidak mau, ia harus mengikuti pelatihan manajer yang diadakan untuk seluruh Indonesia. Ini adalah kesempatan besar karena di perusahaan tersebut, menjadi manajer cabang di Indonesia bukanlah hal yang mudah.
Tugas Nabillah kemarin digantikan oleh rekannya, Erika. Nabillah sudah berpesan dan mempercayakan tugas tersebut kepada Erika, yakin bahwa ia bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
Kini, Nabillah sedang bersiap-siap di rumah, membawa koper karena pelatihan ini berlangsung selama seminggu, bukan hanya sehari. Setelah sarapan, Nabillah berpamitan kepada kedua orang tuanya.
"Bu, doain Nabillah semoga pelatihannya lancar," ucap Nabillah sambil merasakan detak jantung yang berdebar-debar.
"Ibu selalu doakan kamu, Nak," jawab Ibu Nabillah, sambil memeluk tubuh Nabillah, yang dibalas oleh Nabillah.
"Kamu baik-baik di sana, kalau ada apa-apa langsung hubungi Ayah atau Ibu," lanjutnya, karena memang pelatihan ini cukup jauh, apalagi Nabillah tidak pulang.
"Iya, Bu. Yasudah, Nabillah pamit," kata Nabillah, lalu mencium pipi Ibu dan melambaikan tangan, yang dibalas oleh Ibu dengan senyuman.
Sebelum berangkat ke tempat pelatihan, Nabillah mampir sebentar ke tempat kerjanya untuk melakukan briefing pagi. Setelah semua staff berkumpul, briefing pun dimulai. Staff di sana mendengarkan dengan seksama saat manajer memberikan masukan dan motivasi.
"Mungkin Nabillah ada yang ingin disampaikan?" tanya manajer kepada Nabillah.
"Sedikit saja boleh?" jawab Nabillah, sambil melirik satu per satu staff di sana. Mereka mengangguk tanda setuju.
"Selamat pagi semuanya," lanjut Nabillah, yang kemudian dibalas dengan sapaan dari mereka semua.
"Saya hanya ingin mengingatkan teman-teman semua, kemarin ada banyak sekali pasien baru. Jadi saya minta tolong sekali, tolong dijaga pasien barunya dan jelaskan kembali apa itu penyakit, apa itu reaksi. Itu harus benar-benar kalian jelaskan secara jelas," ucap Nabillah.
"Kalau ada tamu atau pasien yang tidak datang, tolong telponin, baik yang baru maupun yang lama. Data tamu-tamu sudah saya kasih kepada Kak Erika, nanti kalau menurut kalian pasien kalian tidak datang, kalian bisa bilang ke Kak Erika, nanti Kak Erika akan memberikan nomor telepon mereka. Paham ya?" lanjut Nabillah, yang kemudian mendapat pengertian dari mereka semua.
"Semangat terus ya, teman-teman. Terima kasih banyak." Nabillah mengakhiri sambutannya, yang diikuti dengan tepuk tangan dari staff.
"Yasudah, yuk kita berdoa, semoga hari ini lancar semuanya," kata manajer, yang disambut dengan ucapan "Amin" dari seluruh staff.
Setelah briefing selesai, Nabillah dan manajer berpamitan kepada bapak/ibu yang ada di sana dan mendapatkan doa dari mereka.
Sementara itu, Delvin sedang dalam perjalanan menuju tempat terapi, kali ini tidak hanya bersama Mama Ey, tetapi juga mengajak Kakak dan Kakak Ipar untuk berobat. Kakak iparnya menderita komplikasi, dan beberapa waktu lalu sempat koma akibat pecahnya pembuluh darah di bagian kanan otak. Kini, seluruh tubuhnya tidak bisa digerakkan, dan mereka berharap terapi di sana bisa memberikan hasil yang diinginkan.
Setelah beberapa menit, mereka sampai di tempat terapi. Delvin turun lebih dulu dari mobil, diikuti oleh Andika Halawa, kakak iparnya. Dengan sabar, Delvin membantu kakak nya Andika untuk berjalan pelan-pelan. Meskipun prosesnya agak lama, setidaknya kakak nya Andika masih bisa bergerak.
Mereka masuk ke ruang tunggu dan duduk di kursi yang paling dekat dengan pintu. Delvin kemudian mengambil kartu antrian, lalu duduk di samping Mama Ey. Matanya melirik ke kanan-kiri, tampak seperti sedang mencari seseorang, namun tak ada yang ia temui.
"Dia kemana ya?" batin Delvin.
"Kenapa, Nak?" tanya Mama Ey, yang melihat anaknya seperti mencari sesuatu.
Delvin menoleh ke Mama Ey dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak apa-apa, Mah. Memangnya kenapa, Mah?"
"Kamu seperti mencari seseorang," jawab Mama Ey.
Sebelum Delvin sempat menjawab, ponselnya berbunyi. Delvin memberi isyarat kepada Mama Ey dan Andika untuk keluar sejenak agar ia bisa mengangkat telepon, karena suasana di ruang tunggu cukup berisik.
Tak lama kemudian, sesi terapi pun dimulai, dengan setiap pasien bergantian masuk ke ruang terapi. Banyak staff yang membantu bapak/ibu dan juga Andika untuk mempersiapkan terapi.
"Saya baru di sini, Mas," ujar Andika.
"Mari, saya bantu," jawab salah satu staff dengan ramah.
"Terima kasih," ucap Andika dengan suara pelan.
Salah satu seorang staff yaitu bernama Okky, membantu Andika untuk terapi dan meminta Erika untuk mencatat data mereka serta menjelaskan prosedur terapi.
"Semoga cepat sembuh, Mama Erlita," ucap Erika, setelah memberikan penjelasan.
Erlita tersenyum sambil meneteskan air mata, karena memang sakitnya membuatnya sangat sensitif.
Saat Erika hendak kembali ke ruangannya, tiba-tiba Delvin memanggilnya, dan Erika pun menghampirinya.
"Ada yang bisa saya bantu, Kak?" tanya Erika dengan ramah.
"Tidak ada sih, cuma saya ingin bertanya, Mbak."
"Tanya apa, Kak?" tanya Erika dengan senyum.
"Staff yang bernama Nabillah, kemana ya, Mbak?" tanya Delvin tanpa ragu.
Erika tersenyum mendengar pertanyaan tersebut, karena memang banyak orang yang mencari Nabillah.
"Oh, Kak Nabillah sedang pelatihan, mungkin seminggu lagi ia kembali bekerja di sini," jawab Erika jujur.
"Pelatihan di mana, Mbak? Apakah di sana ada laki-lakinya? Atau bagaimana?" tanya Delvin bertubi-tubi.
Erika agak bingung, tetapi ia tetap berusaha menjawab dengan hati-hati.
Delvin yang peka terhadap kebingungannya langsung merasa canggung, karena ia pun tidak tahu mengapa ia begitu ingin tahu tentang Nabillah.
"Maaf, Mbak. Kalau saya minta nomor teleponnya Nabillah, apakah boleh?" tanya Delvin dengan penuh harap.
"Boleh kok, Kak. Kalau begitu, saya catat dulu ya," jawab Erika, lalu meninggalkan Delvin, yang merasa bahagia.
Sementara itu, Mama Ey yang mendengarkan percakapan mereka hanya tersenyum. Ia merasa bahwa anaknya mulai menyukai seseorang, meskipun mereka berasal dari latar belakang agama yang berbeda. Namun, Mama Ey merasa setuju jika Delvin bersama Nabillah.
"Sudah dapat lampu hijau, tapi temboknya masih tinggi..." pikir Mama Ey dalam hati.
"Semoga ada keajaiban, Amin."
Setelah beberapa menit, Delvin akhirnya mendapatkan nomor telepon Nabillah. Ia sangat berterima kasih kepada Erika, karena meskipun nomor telepon adalah hal pribadi, Erika mempercayakan nomor tersebut kepadanya dengan harapan ia tidak akan menyakiti Nabillah.
TBC...
..."Aku tau ini salah, tapi aku tidak bisa membohongi perasaan ku pada mu"...