Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Emma Mogok dan Manja
Pagi hari, suasana di rumah Harrison berubah menjadi sedikit tegang. Biasanya, Emma adalah anak yang paling bersemangat bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Namun, pagi ini, gadis kecil itu duduk di sofa dengan wajah cemberut, tangan terlipat di dada, dan tatapan tajam yang diarahkan pada semua orang yang berani memanggilnya.
“Emma, Sayang, kamu kenapa tidak bersiap-siap? Kak Hawa sudah siapkan sarapan favoritmu, lho,” Hawa berkata lembut sambil duduk di samping Emma, mencoba memancing reaksi.
Namun, Emma hanya menggeleng. “Aku libur sekolah.”
Hawa menatap Emma dengan penuh perhatian. “Kenapa? Kamu sakit?”
Emma menggeleng lagi, kali ini dengan lebih keras. “Aku libur di sekolah dan aku mau ikut Kak Hawa ke rumah sakit!”
Harrison yang sedang membaca koran di ruang makan langsung mengangkat kepalanya. “Emma, jika kamu libur maka dirumah saja. Jangan ganggu Hawa, dia mempunyai tanggungjawab di rumah sakit.”
Emma tidak terpengaruh. Dia malah melompat dari sofa dan langsung memeluk Hawa erat-erat. “Aku nggak mau dirumah, Papa. Aku mau sama Kak Hawa!”
Hawa berusaha melepaskan pelukan Emma dengan lembut, tetapi gadis kecil itu semakin erat memeluk pinggangnya. “Emma, Sayang, kamu tahu kan dirumah sakit tidak baik buatmu untuk menunggu. Disana adalah tempat orang sakit.”
Emma memandang Hawa dengan mata berkaca-kaca. “Aku nggak peduli! Aku cuma mau sama Kak Hawa!”
Harrison meletakkan korannya, berdiri, dan berjalan mendekati mereka. Dia menatap putrinya dengan tegas. “Emma, apa yang kamu lakukan ini tidak sopan. Kak Hawa punya tanggung jawab lain di rumah sakit. Kamu nggak bisa memaksanya seperti ini.”
“Tapi, Papa!” Emma merengek, suaranya mulai pecah karena emosi. "Aku takut dirumah sendiri. Aku takut seperti disekolah."
Mendengar itu, Hawa langsung memeluk Emma erat-erat, menyadari ketakutan gadis kecil itu yang masih membekas sejak tragedi terakhir di sekolahnya. “Sayang, nggak akan ada lagi orang jahat mengganggu di sekolahmu. Papa sudah memastikan semuanya aman, kan, Tuan Harrison?”
Harrison mendengus pelan, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. “Emma, Papa sudah memastikan pihak sekolah meningkatkan keamanan. Tidak akan ada yang bisa menyakiti kamu lagi.”
Namun, Emma tetap tidak terpengaruh. “Aku nggak percaya. Aku cuma percaya Kak Hawa bisa jaga aku!”
Hawa menatap Harrison, mencoba mencari solusi. “Mungkin biarkan dia ikut saya hari ini saja, Tuan Harrison. Lagipula, sekolah memang sedang libur untuk tiga hari ke depan.”
“Dan kamu pikir itu ide yang bagus?” Harrison menatap Hawa dengan penuh ketidaksetujuan. “Emma nggak bisa terus-terusan mendapatkan apa yang dia mau. Dia harus belajar menghadapi kenyataan.”
“Tapi ini hanya tiga hari,” ujar Hawa lembut, mencoba menenangkan Harrison. “Dan selama di rumah sakit, Emma bisa belajar banyak hal baru. Aku akan memastikan dia tidak mengganggu pekerjaanku.”
Harrison terdiam, menatap Hawa dalam-dalam, sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi kalau Emma membuat masalah, aku akan langsung menjemputnya.”
Emma yang mendengar itu langsung melompat kegirangan. “Terima kasih, Papa! Terima kasih, Kak Hawa!”
***
Di Rumah Sakit
Ketika tiba di rumah sakit, Emma terlihat sangat antusias. Gadis kecil itu terus mengikuti Hawa seperti bayangan, memerhatikan setiap gerakan Hawa dengan penuh minat.
“Kak Hawa, itu apa?” tanya Emma sambil menunjuk sebuah alat di ruang perawatan anak.
“Itu namanya stetoskop, Sayang. Alat ini dipakai untuk mendengar detak jantung dan pernapasan pasien,” jawab Hawa sabar sambil tersenyum.
Emma mengangguk dengan ekspresi penasaran. “Aku boleh coba nggak?”
Hawa tersenyum. “Nanti, ya. Kalau Kakak sedang tidak sibuk, Kakak akan tunjukkan cara pakainya.”
Namun, suasana berubah ketika seorang dokter muda, Dokter Hakim, datang menghampiri Hawa. Dokter itu membawa beberapa berkas di tangannya dan menyunggingkan senyum lebar.
“Suster Hawa, tolong bantu saya memeriksa pasien di ruang empat,” katanya sambil menyerahkan berkas kepada Hawa.
“Baik, Dokter Hakim. Saya akan segera ke sana,” jawab Hawa profesional.
Emma, yang memperhatikan interaksi itu dari samping, mengerutkan alis. Ketika Dokter Hakim berbalik untuk pergi, gadis kecil itu mendekat ke Hawa dan berbisik, “Kak Hawa, aku nggak suka dokter itu.”
Hawa menatap Emma dengan bingung. “Kenapa, Sayang? Dokter Hakim itu orang baik, kok.”
Emma menggeleng keras. “Aku nggak suka cara dia ngeliat Kak Hawa. Dia kayak ganggu dan ingin merebut kakak dariku.”
Hawa hanya terkekeh kecil, menganggap ucapan Emma sebagai celotehan anak kecil. “Emma, jangan berpikiran seperti itu. Dia hanya sedang bekerja.”
Namun, Emma tetap merasa tidak nyaman. Ketika dia melihat Dokter Hakim kembali mendekati Hawa beberapa saat kemudian, dia mulai bertindak jahil. Saat dokter itu berdiri dekat Hawa, Emma dengan sengaja menjatuhkan sebuah pena ke lantai, membuat Dokter Hakim tersandung sedikit.
“Ups, maaf ya, Dokter,” kata Emma dengan nada polos.
Dokter Hakim menatap Emma dengan bingung tetapi hanya tersenyum kecil. “Tidak apa-apa.”
Hawa yang melihat kejadian itu menegur Emma dengan lembut. “Emma, itu tidak baik. Jangan seperti itu, ya.”
Namun, Emma hanya mengangkat bahu. “Aku cuma nggak suka dia, Kak Hawa.”
Sementara itu, Emma mengirim pesan singkat kepada Harrison: “Papa, dokter itu gangguin Kak Hawa terus. Datang sekarang.”
Harrison, yang sedang sibuk dengan pekerjaannya, membaca pesan itu dengan dahi mengernyit. Meski awalnya ia menganggap itu hanya candaan Emma, rasa penasaran membuatnya meninggalkan pekerjaannya dan langsung menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Harrison menemukan Emma sedang duduk di ruang tunggu perawatan anak. Gadis kecil itu langsung berlari ke arahnya begitu melihatnya.
“Papa! Kak Hawa digangguin dokter itu lagi,” katanya dengan nada penuh semangat.
Harrison mengerutkan kening. “Emma, jangan asal bicara. Mana Kak Hawa?”
Emma menarik tangan Harrison dan membawanya ke salah satu lorong rumah sakit, di mana Hawa sedang berdiri bersama Dokter Hakim, membahas sesuatu.
Harrison berjalan mendekat dengan langkah tegas. “Hawa, semuanya baik-baik saja?”
Hawa menoleh, terkejut melihat Harrison ada di sana. “Tuan Harrison? Apa yang Anda lakukan di sini?”
“Emma bilang ada masalah,” jawab Harrison singkat, matanya tertuju tajam pada Dokter Hakim.
Dokter Hakim, yang merasa terganggu dengan kedatangan Harrison, mencoba menjelaskan. “Tidak ada masalah, Pak. Kami hanya sedang membahas tugas.”
Namun, Harrison tidak puas. “Hawa, kalau ada sesuatu yang mengganggu, beri tahu aku.”
Hawa tersenyum kecil, merasa situasinya sedikit canggung. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan Harrison. Semua baik-baik saja.”
Emma, yang merasa puas karena Papanya datang, memeluk Hawa erat-erat. “Papa, Kak Hawa harus dijaga dengan baik. Kalau ada yang ganggu dia lagi, Papa marahin aja mereka semua!”
Harrison menatap Emma dengan senyum kecil. “Emma, kamu nggak boleh seperti itu. Kak Hawa tahu bagaimana menjaga dirinya sendiri.”
Emma mengangguk, tetapi dalam hati dia bertekad untuk terus menjaga Kak Hawanya dengan caranya sendiri.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya jangan lupa ya like dan komentarnya.
Terima kasih.