Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Jejak Takdir
Hari itu, Elyana sedang membereskan rak buku di ruang kerja Davin. Ia melakukannya tanpa diminta, mencoba membantunya dalam hal-hal kecil untuk menunjukkan perhatiannya. Saat memindahkan setumpuk dokumen lama, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil di sudut rak yang hampir tertutup debu.
“Ini apa?” gumamnya sambil mengangkat kotak itu.
Ia membuka kotak tersebut dan menemukan beberapa benda di dalamnya: foto-foto lama, surat tulisan tangan, dan sebuah jam saku antik. Jam itu terlihat indah, dengan ukiran rumit di permukaannya. Namun yang paling menarik perhatian Elyana adalah angka-angka yang tidak teratur di dalamnya. Beberapa angka terlihat lebih gelap, seolah-olah menonjol dibandingkan yang lain.
Elyana menyentuh permukaan jam itu dengan hati-hati. Saat ia melakukannya, sebuah kilasan ingatan muncul di benaknya—bukan ingatannya sendiri, melainkan gambaran dari masa depan yang pernah ia alami. Ia melihat Davin, wajahnya penuh kesedihan, dan suara-suara samar dari ambulans di kejauhan.
“Jam ini…” Elyana tersentak mundur. Perasaan aneh menjalar di tubuhnya. Seolah-olah jam itu menjadi penghubung antara masa lalu dan masa depan, mengingatkannya pada misi penting yang harus ia selesaikan.
Malam harinya, Elyana duduk di kamarnya, memeriksa benda-benda dari kotak itu. Ia membaca salah satu surat yang ada di dalamnya. Surat itu ditulis oleh ibu Davin, yang meninggalkan pesan untuk anaknya sebelum meninggal.
Davin, jika suatu hari kamu merasa sendirian dan kehilangan arah, ingatlah bahwa selalu ada jalan kembali. Kau hanya perlu membuka hatimu untuk melihatnya.
Elyana merasa air matanya menggenang. Surat itu terasa sangat dalam dan penuh kasih. Ia bisa merasakan betapa besar cinta ibu Davin kepadanya, meskipun tidak sempat melihat Davin tumbuh dewasa.
Saat ia membaca surat itu, Elyana kembali teringat kejadian di masa depan—hari ketika ia mengetahui kematian tragis Davin. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan waktunya bukanlah kebetulan. Ada sesuatu yang ingin alam semesta tunjukkan kepadanya, sebuah kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan mengubah takdir.
Esok paginya, Elyana memutuskan untuk bertanya pada Pak Henry tentang jam saku itu.
“Pak Henry, apa Anda tahu tentang jam ini?” tanyanya sambil menunjukkan benda tersebut.
Pak Henry mengamati jam itu dengan seksama, lalu tersenyum samar. “Itu milik ibu Tuan Davin. Ia selalu membawanya kemana-mana. Setelah beliau meninggal, Tuan Davin menyimpannya sebagai kenang-kenangan.”
“Apakah ada hal khusus tentang jam ini?” Elyana mendesak.
Pak Henry terdiam sejenak, seolah ragu untuk menjawab. “Ada yang bilang, jam itu memiliki makna khusus. Ibu Tuan Davin selalu mengatakan bahwa waktu adalah kunci untuk memahami takdir. Saya tidak tahu apa maksudnya, tetapi sejak kecil, Tuan Davin sangat menghargai jam itu.”
Elyana memandangi jam itu lagi, mencoba menghubungkan petunjuk-petunjuk yang ia temukan. Ia yakin, jam itu adalah bagian dari teka-teki besar yang harus ia pecahkan.
Di ruang kerja, Elyana meletakkan jam itu di atas meja dan menatapnya dalam-dalam. Sambil mengingat masa depan yang ia tinggalkan, ia bergumam pelan, “Aku akan mengubah segalanya, Davin. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.”
Namun, di sudut pikirannya, ia tahu bahwa jalan yang harus ia tempuh masih panjang dan penuh dengan rintangan.
“Aku tahu aku tidak sempurna, dan aku mungkin tidak bisa mengubah segalanya. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan membiarkan takdir merebut Davin dariku lagi. Tidak kali ini.”
Malam itu, Elyana memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh.
Ia menyalakan laptopnya dan mulai mencari informasi tentang jam saku antik itu. Elyana mengetikkan deskripsi jam itu, berharap menemukan petunjuk yang bisa menghubungkannya dengan peristiwa yang sedang ia alami. Beberapa artikel muncul di layar, tetapi kebanyakan hanya membahas sejarah jam saku secara umum.
Namun, satu artikel menarik perhatiannya. Judulnya berbunyi, “Artefak Waktu: Kisah Jam yang Mengubah Takdir.” Artikel itu menceritakan legenda tentang jam saku kuno yang konon memiliki kemampuan untuk menghubungkan masa lalu dan masa depan. Jam itu sering dikaitkan dengan orang-orang yang memiliki kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan besar dalam hidup mereka.
Jantung Elyana berdegup kencang. “Apakah ini kebetulan? Atau memang ini takdirku?” gumamnya.
Ia membaca lebih jauh. Menurut artikel itu, jam tersebut dipercaya bisa “membawa pesan” melalui waktu, tetapi hanya kepada mereka yang benar-benar memahami arti dari kehilangan. Elyana merasa semakin yakin bahwa jam itu memiliki kaitan dengan perjalanannya kembali ke masa lalu.
Keesokan paginya, Elyana mencoba mendekati Davin lagi.
Ia menyiapkan sarapan dan membawa kopi ke ruang kerja Davin. Namun, seperti biasa, pria itu tetap terlihat dingin dan tidak terlalu memedulikannya.
“Davin,” Elyana mencoba memulai percakapan, “aku menemukan sesuatu yang mungkin menarik.”
Davin, yang sedang membaca dokumen, hanya mendengus pelan. “Apa itu?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya.
Elyana mengeluarkan jam saku dari sakunya dan meletakkannya di meja di depan Davin. “Jam ini. Aku menemukannya di rak bukumu.”
Mata Davin akhirnya beralih ke jam itu. Ia menatapnya sejenak, lalu mengambilnya dengan hati-hati. “Ini milik ibuku,” katanya pelan, nada suaranya lebih lembut dari biasanya.
“Aku membaca surat dari ibumu,” Elyana melanjutkan dengan hati-hati. “Aku tahu itu sangat berarti untukmu.”
Davin mengangguk, tetapi ekspresinya tetap sulit dibaca. “Dia selalu bilang waktu itu berharga. Tapi aku tidak tahu maksudnya sampai sekarang.”
Elyana ingin bertanya lebih jauh, tetapi Davin segera mengalihkan pembicaraan. “Aku harus menyelesaikan ini. Terima kasih sudah membawanya ke sini,” katanya, kembali ke nada dinginnya.
Meskipun respons Davin singkat, Elyana merasakan sesuatu yang berbeda. Ada emosi yang tersembunyi di balik sikap dinginnya, seolah-olah ia sedang berusaha menyembunyikan luka yang belum sembuh.
Malam harinya, Elyana kembali ke kamarnya dengan tekad baru.
Ia memandangi jam saku itu sekali lagi, mencoba mencari petunjuk yang mungkin terlewatkan. Ia mengingat semua yang telah terjadi—perjalanan waktu yang membawanya kembali, kesedihan yang ia lihat di wajah Davin di masa depan, dan pesan ibunya tentang waktu.
“Jika waktu adalah kunci,” Elyana berbisik pada dirinya sendiri, “maka aku harus menemukan pintunya.”
Elyana tahu bahwa untuk benar-benar membantu Davin, ia harus memahami masa lalunya lebih dalam. Ia memutuskan bahwa langkah selanjutnya adalah mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan Davin sebelum mereka bertemu—hubungan dengan ibunya, kehilangan yang dialaminya, dan bagaimana semua itu membentuk pria dingin yang ia kenal sekarang.
Namun, jauh di dalam hati, Elyana tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil mendekatkannya pada kebenaran yang mungkin sulit ia terima.
Esok harinya, Elyana memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang masa lalu Davin.
Ia memulai pencariannya dari rumah itu sendiri, berharap menemukan petunjuk-petunjuk kecil yang bisa membantunya memahami apa yang telah dialami Davin. Elyana kembali ke ruang kerja, kali ini membuka beberapa laci meja yang jarang disentuh. Di salah satu laci, ia menemukan album foto lama yang hampir usang.
Saat membuka album itu, ia melihat foto-foto Davin kecil bersama ibunya. Senyum Davin di foto-foto itu terasa asing baginya—terang dan tulus, jauh dari sikap dingin yang selalu ia tunjukkan sekarang. Ada juga catatan kecil yang terselip di antara halaman album. Tulisan tangan yang lembut dan rapi itu milik ibunya:
Davin kecilku, senyummu adalah hadiah terbesar dalam hidupku. Jangan pernah kehilangan itu.
Elyana menahan napas. Ia bisa merasakan kasih sayang yang besar dalam tulisan itu, tetapi juga memahami betapa besar kehilangan yang dirasakan Davin ketika ibunya pergi.
Elyana memutuskan untuk berbicara dengan Pak Henry.
Siang itu, ia menemui Pak Henry di taman belakang rumah, tempat pria tua itu biasanya merawat tanaman. “Pak Henry, aku ingin bertanya sesuatu tentang Tuan Davin,” katanya.
Pak Henry menatap Elyana dengan penuh perhatian. “Tentu saja, Nyonya. Apa yang ingin Anda ketahui?”
“Davin jarang berbicara tentang masa lalunya. Tapi aku merasa ada banyak hal yang memengaruhinya, terutama tentang ibunya. Apa Anda tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
Pak Henry menghela napas panjang sebelum menjawab. “Ibu Tuan Davin adalah wanita yang luar biasa. Beliau sangat mencintai Davin dan selalu ingin yang terbaik untuknya. Namun, beliau meninggal mendadak ketika Tuan Davin masih remaja. Itu menjadi pukulan besar baginya.”
“Apakah itu sebabnya dia menjadi seperti sekarang?” Elyana bertanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
Pak Henry mengangguk pelan. “Kehilangan itu membuatnya menutup diri. Ia merasa tidak ada yang benar-benar bisa mengerti perasaannya. Itu juga alasan mengapa dia selalu menjaga jarak dengan orang-orang, bahkan dengan orang yang ia sayangi.”
Kembali ke kamarnya, Elyana merenungkan apa yang ia dengar.
Ia teringat pada masa depan yang ia tinggalkan—hari ketika ia menyadari betapa kesepiannya Davin sebelum tragedi itu terjadi. Dalam benaknya, kilasan kejadian di masa depan kembali muncul. Ia ingat suara Davin yang penuh penyesalan, seolah-olah ia ingin mengatakan sesuatu yang tidak pernah ia ungkapkan.
Elyana menatap jam saku yang tergeletak di mejanya. Ia memutar-mutar jam itu dengan jemarinya, seolah berharap benda itu bisa memberinya petunjuk lebih lanjut. “Aku harus melakukan sesuatu,” gumamnya.
Malam itu, Elyana mengambil langkah berani.
Ia menghampiri Davin yang sedang duduk di ruang tamu, tenggelam dalam pekerjaannya. Dengan hati-hati, Elyana duduk di dekatnya, membawa album foto yang ia temukan tadi.
“Davin,” katanya pelan.
Davin meliriknya sekilas. “Apa?”
Elyana membuka album itu dan menunjukkannya kepada Davin. “Aku menemukan ini di meja kerjamu. Aku hanya ingin tahu… apa kamu merindukan masa-masa ini?”
Davin terdiam. Ia menatap foto-foto itu tanpa ekspresi selama beberapa saat, tetapi Elyana bisa melihat ada sesuatu yang berubah di matanya—seperti bayangan kenangan yang mencoba muncul kembali.
“Itu masa lalu,” kata Davin akhirnya, suaranya terdengar datar.
“Tapi masa lalu itu bagian dari dirimu,” Elyana mendesak. “Davin, aku tahu ini sulit, tapi kamu tidak perlu menghadapi semuanya sendirian. Aku ada di sini.”
Untuk pertama kalinya, Davin menatap Elyana dengan tatapan yang lebih dalam. Ada keheningan yang panjang di antara mereka sebelum akhirnya Davin berkata, “Kamu tidak mengerti, Elyana. Beberapa luka terlalu dalam untuk disembuhkan.”
“Tapi aku bisa mencoba,” jawab Elyana dengan suara yang penuh keyakinan.
Meskipun Davin tidak mengatakan apa-apa lagi, Elyana merasa bahwa tembok yang ia bangun perlahan mulai retak.
Di kamarnya malam itu, Elyana berjanji pada dirinya sendiri.
Ia memegang jam saku erat-erat dan berbisik, “Aku tidak akan menyerah, Davin. Aku tahu kamu masih punya harapan di dalam dirimu. Dan aku akan melakukan apa pun untuk memastikan bahwa kamu tidak akan berakhir seperti yang aku lihat di masa depan.”
...****************...