Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 12
Jalanan licin bekas hujan, hawa dingin menyergap tubuh Sukma kala dirinya mulai melangkahkan kaki keluar rumah. Ia menyesal tak memakai jaket, tapi memang niat awal hanya ingin buang hajat, dan siapa sangka justru berakhir di tempat ini. Di bawah pohon nangka ia bersembunyi, melihat dari kejauhan apa yang dilakukan ibu mertuanya di depan rumah kosong.
“Yang ini bener-bener ibu kan?” gumamnya lirih, Sukma khawatir jika yang berada di depan sana bukan mertuanya, seperti kali terakhir ia mengejar seseorang yang mirip nenek Ratih ke rumah kosong.
Nenek Ratih meletakkan ember di atas lantai, lantas mengeluarkan sebuah wadah kecil dari saku jaketnya. Memasukkan sesuatu ke dalam wadah dan mulai menyalakan api. Sukma berusaha keras melihat benda apa yang tengah dibakar mertuanya itu. Dan saat asap dari benda itu mulai menyebar di udara barulah Sukma tau bahwa itu adalah kemenyan.
“Kemenyan? ibu ngapain sih?” ucapnya gusar.
Nenek Ratih duduk bersila di atas lantai, kedua tangannya seperti sedang memohon, wanita itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya beberapa kali, seolah berusaha menenangkan diri sendiri.
“Aku datang, dan aku memintamu tak lagi mengganggu putri dan cucuku. Kejadian di masa lalu bukan salah kami, tapi meski begitu aku minta maaf karena terlambat mengetahuinya. Semua sudah berlalu, jadi kumohon tenanglah disana.”
Sukma mengernyit heran, ucapan ibu mertuanya ditujukan pada siapa? mendadak ia teringat cerita mbah Sani dan mbah Giyem tadi pagi, kemungkinan ibu mertuanya kini meminta maaf pada Memey, putri pemilik rumah kosong, itulah tebakan Sukma.
Krieeeet…..brak!!
“Astaga Naga…” Sukma reflek menutup mulut, sedikit merunduk sebab khawatir ibu mertuanya menyadari keberadaannya kini. Namun, ternyata nenek Ratih sendiri tengah ketakutan disana, pasalnya pintu rumah kosong itu tiba-tiba terbuka. Angin kencang berhembus di sekitarnya, dan suara tawa wanita melengking di udara.
Rasanya Sukma ingin menangis saja, ia bahkan tak sadar celananya kini telah basah. Tubuhnya lemas tak bertenaga, ia berlutut sambil memegang kedua kaki yang tak berhenti bergetar. Sukma sudah tak peduli pada ibu mertuanya, ia sibuk menyelamatkan diri sendiri, berjalan merangkak kembali masuk ke rumah lewat pintu dapur.
Jatuh bangun Sukma berlari ke kamar, lantas mengunci pintu kamar dan naik ke atas tilam. Beruntung putrinya sama sekali tak terganggu dengan kehadirannya yang grusa grusu itu, Sukma membungkus tubuh dengan selimut, ia benar-benar tak peduli meskipun dirinya baru saja mengompol.
***
Keesokan paginya Nadira terus mengomel karena ibunya mengompol, semua orang heran mengetahui fakta itu, bahkan Wijaya tak henti-hentinya menertawakan mbak sepupunya itu. Sukma memilih mengabaikan semua, ia lebih fokus melihat ibu mertuanya yang berubah menjadi lebih pendiam dari hari-hari biasa.
“Makanya Bu, besok-besok kalau takut ke kamar mandi malam-malam, bangunin Dira,” keluh gadis cantik itu, baru saja dirinya mengangkat kasur bersama Wijaya untuk dijemur di depan rumah.
“Iya iya,” jawab Sukma setengah hati.
“Bangunin aku juga boleh kok Mbak,” sambung Wijaya. Sukma mengangguk mengerti, lagi-lagi melihat ibu mertuanya yang tengah duduk melamun di ruang tengah.
“Nenek kenapa ya Pak lek? perasaan dari pagi diem aja, apa mungkin lagi nggak enak badan ya?” Nadira mengikuti arah pandangan ibunya.
Wijaya hanya diam, ia bukan tak mengetahui keanehan budenya pagi itu. Tapi memang Wijaya sengaja memberikan waktu budenya untuk memutuskan bercerita atau tidak. Sementara itu Sukma seolah mendapatkan kesempatan, ternyata bukan hanya dirinya yang menyadari keanehan sikap nenek Ratih pagi ini.
“Kita tanya saja yuk,” ajaknya berjalan terlebih dulu masuk ke dalam rumah. “Ibu, ibu kenapa? ada keluhan kah? kok kami lihat dari pagi kayak lesu gitu.”
Nenek Ratih menatap wajah menantunya dengan senyuman tipis, matanya menyiratkan kesedihan dan kekhawatiran. Sebenarnya Sukma paham ibu mertuanya sedang berusaha menghilangkan segala gangguan yang menimpa menantu dan cucunya, tapi yang Sukma inginkan saat ini adalah kejujuran nenek Ratih, dan bersama-sama menyelesaikan masalah dengan keluarga.
Ibu, bukankah lebih baik kalau kita minta tolong pada kyai Usman saja? daripada ibu berusaha sendiri menggunakan cara seperti tadi malam. Sukma berbicara dalam hati, ia hanya tidak menyangka nenek Ratih yang dikenalnya taat agama bisa menggunakan cara tidak masuk akal seperti tadi malam.
“Ibu tidak apa-apa, cuma sedikit lelah,” jawabnya, “oh iya Jaya nanti siang antarkan bude ke rumah Mak Tini, bude mau urut aja.”
“Jam berapa Bude?” tanya Wijaya.
“Ba’da sholat dhuhur aja kita berangkat,” ucapnya sambil berlalu. Wanita sepuh itu berjalan menuju gudang di depan rumah, ia sudah mengundang beberapa tukang untuk merenov tempat itu menjadi toko kue, dan hari ini adalah hari pertama rencana mereka bekerja.
Nadira mengikuti neneknya, di depan rumah dua lelaki baru saja tiba. Nenek Ratih meminta Sukma membuatkan kopi untuk bapak tukang bangunan yang siap bekerja, sementara Wijaya membantu membuka gudang untuk mereka.
Inilah kali pertama Nadira melihat isi gudang, ternyata ada tangga menuju lantai dua yang terletak diujung ruang. Nadira mengira rumah neneknya hanya satu lantai saja selama ini, ia yang penasaran segera mendekati sang nenek yang tengah menjelaskan apa saja yang perlu dikerjakan tukang bangunan itu.
“Nek, itu tangga kemana?”
“Oh itu, dulu di atas ada ruang bersantai yang selalu digunakan ayahmu untuk berkumpul dengan teman-temannya, tapi sejak ayahmu berangkat ke pesantren tempat itu ditutup oleh kakekmu, Dira. Oh iya, kamu jangan pergi ke atas karena sudah sangat kotor.”
Dira mengangguk mengerti, ia memilih membantu ibunya yang datang membawa kopi dan beberapa kudapan untuk bapak tukang bangunan. Mereka mulai bekerja, membersihkan ruang, menambal beberapa sudut ruang yang dindingnya rontok termakan waktu. Dan mengecat ulang warna dinding yang kusam.
Sukma terlihat begitu bersemangat saat membahas warna cat yang akan digunakan di toko kuenya, sedangkan Nadira hanya menyimak rencana mereka dengan hati bahagia. Berharap ini menjadi awal yang indah untuk keluarganya, Nadira ingin segera kuliah seperti teman-temannya di kota.
.
Tbc