Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Issue
Hari ini kelas siang, dalam satu minggu dia dan Dizza memang hanya punya kelas yang sama sebanyak dua kali. Jadi kali ini pun dia berangkat sendiri. Tapi meski dia sangat malas dan enggan berangkat, semangat pemuda itu tiba-tiba jadi membara ketika dia mengingat moment kemarin saat Dizza memberinya bekal makanan. Menurut Levin, makanan buatan Dizza tersebut adalah makanan yang paling lezat yang pernah dia cicipi setelah masakan ibunda tercinta. Dia pun berjalan dengan langkah santai sambil bersenandung sebab berpikir bahwa hari ini pun dia akan mendapatkan kejutan yang sama. Terutama karena Dizza berangkat pagi hari ini. Pengharapan pemuda itu cukup tinggi ketika dia membuka kunci lokernya sendiri. Namun kali ini dia harus menelan kecewa. Tidak ada bekal makanan buatan Dizza di dalam sana. Tidak ada tas, tidak ada pesan, dan tidak ada kotak bekal makan siang. Tidak ada apa-apa.
“Mungkin dia tidak sempat membuatnya karena terlalu terburu-buru kurasa, atau bisa saja dia membelikanku makanan yang lain?” ujar Levin seraya menghibur dirinya sendiri dan mencoba berpikir positif dan menunggu. Dia terus menunggu bahkan sampai siang menyapa, dan jam kelasnya berakhir begitu saja. Namun di percobaan kedua, tetap tidak ada apa-apa di dalam sana. Tidak ada apapun yang dia tunggu, tidak ada yang kunjung tiba.
Perasaan kesal dan kecewa tiba-tiba saja merajai hatinya. Membawa Levin dalam kondisi mood yang membuat orang disekitar jadi takut untuk menghadapinya. Memang kekanakan sih, tetapi Levin tidak kuasa menahan dirinya atas perasaan ini. Merasa bahwa Dizza melupakannya saja sudah agak menyakitinya, dan pikiran buruk itu terus saja berulang di kepalanya. Hal itu juga dibuktikan dari Dizza yang tidak kunjung membalas pesan darinya padahal dia sudah membaca isi pesan yang Levin kirimkan sebelum kelas dimulai.
“Kenapa?”
Pertanyaan itu kembali mengulang bagai kaset rusak di dalam pikirannya. Kemudian dia tiba-tiba saja mendapati jawaban atas kegundahan dan keresahan yang sedang dia rasakan ketika dia mencuri dengar percakapan para mahasiswi tukang gosip di sekelilingnya. Saat itu mereka sedang berkumpul di salah satu meja kantin, dan tampak asyik membicarakan sesuatu. Sebenarnya Levin tidak begitu suka dengan obrolan bertemakan gosip, tapi berhubung dia sedikit mencuri dengar ada nama Dizza terselip, secara tidak sadar Levin jadi menguping.
“Kupikir itu ternyata kabar burung, tapi ternyata …” Salah satu dari mereka memulai cerita, dia sampai meletakan smartphone-nya di atas meja kantin sebelum menyelesaikan kalimatnya. “… beritanya sudah menyebar kemana-mana.”
“Kudengar sih mereka berdua pergi bersama kemarin. Ya, tidak mengherankan juga. Tidak ada pertemanan yang murni antara perempuan dan laki-laki,” timpal seseorang lagi.
“Tidak aneh juga, karena aku juga sudah punya feeling sih kalau salah satu diantara mereka ada yang menyimpan rasa. Kurasa embel-embel ‘persahabatan’ cuma jadi jalan saja supaya dia punya jalan untuk mendekatinya. Edzhar kan termasuk yang paling tampan di kampus,” sahut seseorang yang terdengar ketus dan paling sebal diantara lingkaran tersebut.
Bahkan merasa tidak puas dengan mengeluarkan pendapatnya, dia bahkan menarik ponsel salah satu dari para gadis itu hanya untuk sekadar melihat isinya. Orang itu adalah Daneth, si ratu kampus yang memang sudah jadi rahasia umum mengejar-ngejar Edzhar tapi belum dapat hingga sekarang. Barangkali karena title-nya itu lah dia merasa perlu mendapatkan Edzhar supaya dia tetap di cap sebagai primadona dan punya pasangan yang paling tampan juga.
“Aku tahu kalau si Dizza itu memang gatal sejak awal, tapi aku pikir Edzhar tidak akan mau menerima dia. Sudah bukan levelnya, dia pun pasti cukup memikirkan konsekuensinya. Mengingat Dizza dekat dengan Levin. Hubungan dua orang itu kan terlalu lengket untuk dikatakan sebagai sebatas teman juga,” jelas Daneth lagi menambahkan argumentasi lain.
“Ah, kau benar. Bahkan kudengar juga kalau kemarin ada yang melihat Levin menerima sebuah kotak bekal di lokernya. Dia juga mengupdate fotonya di sosmed kan sampai nge-tag si Dizza-nya juga. Kalau begitu hubungan mereka pasti lebih dari teman, ya kan?” timpal seseorang lagi yang terpancing dengan argumentasi Daneth.
Daneth cuma mengedikan bahu. “Ya, kalau mereka sih lebih bisa diterima. Mengingat mereka sepadan. Tapi kalau Dizza dengan Edzhar itu seperti … entahlah, langit dan bumi?”
“Tapi dari gerak geriknya sepertinya Edzhar juga sepertinya tidak keberatan tuh, maksudku kalau pun dia suka pada Dizza juga wajar sih. Menurutku Dizza itu lumayan manis,” sahut yang lain.
“Ugh, serius kau bilang dia manis?”
“Memang manis kok.”
“Tapi dibandingkan soal itu aku jadi lebih penasaran dengan reaksi si Levin kalau mendengar sahabatnya yang bak perangko diam-diam pergi berduaan dengan Edzhar di luar kampus. Bisa-bisa dia kebakaran jenggot tidak sih?” ujar Daneth sambil terkekeh.
“Kurasa itu bukan urusanmu, Daneth.”
Seketika lingkaran wanita yang sibuk bergosip tersebut langsung melirik ke arah yang sama. Semua tampak salah tingkah ketika orang yang mereka bicarakan muncul disana secara tidak terduga. Bagi Levin dia juga tidak mengira bahwa dia akan menghadapi gosip dengan cara seperti ini. Tapi mendengar mereka bicara buruk soal Dizza membuat Levin tidak nyaman sama sekali.
“L—Levin?” satu orang menyebut namanya dan wajahnya terlihat pucat pasi. Sedang yang lain, meski tidak mencoba kabur tetapi mereka menampakan secara jelas wajah bersalahnya. Yang paling tenang dan percaya diri tentu saja adalah Daneth. Dia malah mendekati Levin dan memperlihatkan ponsel yang disana terdapat foto Dizza dan Edzhar sedang duduk bersama, di sisi meja tersebut ada sebuah kotak yang isinya entah apa. Setelah memperlihatkan foto itu kepada Levin, Daneth langsung memasang senyum meremehkan di wajah. “Gimana nih Levin? Kurasa kau sudah dengar apa yang sedang kami bicarakan. Jadi, biar aku tanyakan langsung saja padamu. Bagaimana nih, kurasa sahabat terbaikmu itu sedang melakukan tahap pendekatan dengan temanmu yang lain.”
“Seperti yang aku bilang tadi, itu sama sekali bukan urusanmu,” jawab Levin dingin.
Danteh hanya mengedikan bahu dan memutar tubuh, lalu melangkah menghampiri teman-temannya tanpa rasa bersalah. “Tidak seru sekali sih, kubilang kau pecundang kalau kau kalah sebelum menyerang. Apalagi kalau kau membiarkan mereka benar-benar jadian. Kau bukan malaikat Levin,” ujarnya lagi dengan senyum misterius.
Kedua tangan Levin terkepal. Kemudian tanpa merasa perlu menanggapi apa yang Daneth katakan dia langsung berderap menuju ke luar area kantin. Setengah jalan menuju ke pelataran parkir. Di sana … Levin menemukan dirinya. Gadis yang menyita isi pikirannya nyaris seharian ini. Gadis yang membuatnya badmood, dan marah-marah tidak jelas. Dizza.
“Hei Levin!” senyum terbit di wajah Dizza saat gadis itu melihatnya. Dizza melintasi banyaknya para mahasiswa yang hilir mudik diantara mereka untuk mendekati Levin yang mendadak menghentikan langkahnya. Pandangan matanya tertuju pada sebuah kotak yang berada di tangan gadis itu. Kotak itu sama persis seperti yang dia lihat dalam foto yang di tunjukan oleh Daneth kepadanya beberapa saat yang lalu. Kenapa Dizza membawa benda itu kepadanya?
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱