"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelaparan
Hari itu, langit memancarkan warna cerah yang menyegarkan, meski awan putih berarak perlahan, seolah menari di atas kepala Hamzah. Dari dalam kereta yang melaju cepat, ia mengamati dua ekor burung yang terbang bebas, mengikuti ritme kereta dengan lincah. Suara deru mesin kereta berpadu harmonis dengan kicauan burung, menciptakan simfoni yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang terbuka untuk melihat keindahan di sekitar.
Ketika kereta memasuki area persawahan yang luas, aroma tanah basah dan padi yang menguning memenuhi udara. Hamzah melihat dua ekor sapi yang sedang digembalakan, merumput dengan tenang di tengah hamparan hijau. Melihat sapi-sapi itu, ingatan akan mimpinya semalam kembali menghantui pikirannya. “Sapi...?” gumamnya pelan, seolah mencari makna dari mimpi yang tak kunjung jelas.
Di sampingnya, sahabatnya Robi terlihat asyik dengan gadgetnya. Dengan mata terpaku pada layar, ia memainkan sebuah game online yang sedang tren. “Zah, ngapain kamu melamun terus? Mendingan ayok temenin aku main game online. Seru lhoh,” ucap Robi sambil melirik Hamzah dengan senyuman penuh semangat.
“Aku nggak ada waktu buat main game seperti itu, Rob. Lebih baik aku gunakan waktuku untuk baca buku. Lagi pula, handphone-ku mana bisa diinstal game berat seperti itu, rusak nanti,” sahut Hamzah tegas. Robi memang lahir dari keluarga yang cukup berada; gadget mahal dan akses ke semua hal modern adalah hal biasa baginya. Berbanding terbalik dengan Hamzah, yang tumbuh dalam keluarga pas-pasan—setiap suapan makanan adalah berkah.
“Ya daripada ngelamun terus nggak jelas, mendingan ngapain gitu,” sambung Robi lagi, nada suaranya mencerminkan ketidakpahaman akan dunia Hamzah.
Hamzah terdiam sejenak, matanya menatap ke luar jendela, menyaksikan pemandangan yang berlalu cepat. Lalu ia membuka kembali tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah buku kecil serta pena. Dengan penuh konsentrasi, ia mulai menulis sesuatu di halaman kosong itu—mencatat ide-ide yang muncul dari pengamatannya.
Di luar kereta, suasana persawahan berdenyut dengan kehidupan. Kicauan burung dan suara angin menjadi latar belakang bagi perjalanan mereka. Hamzah merasakan ketenangan yang sulit ditemukan di dunia digital Robi. Ia berusaha menangkap momen-momen sederhana ini dalam tulisannya—sebuah cara untuk melawan kebisingan dunia dan menemukan makna dalam kesederhanaan.
Dalam benaknya, Hamzah berjanji untuk tidak hanya menjadi penonton dalam hidupnya sendiri. Ia ingin menulis cerita-cerita tentang kehidupan di sekitarnya—tentang sapi-sapi di ladang, burung-burung yang terbang bebas, dan tentang persahabatan mereka yang saling melengkapi meskipun berbeda latar belakang.
Saat kereta melaju lebih jauh lagi, Hamzah merasa bahwa setiap detik adalah kesempatan untuk mengeksplorasi lebih dalam—baik itu melalui tulisan atau pengalaman nyata di lapangan. Dan meskipun Robi terjebak dalam dunia virtualnya, Hamzah tahu bahwa petualangan sejatinya baru saja dimulai.
Catatan. I
Senin, 20 Agustus 2021, adalah hari yang ditunggu-tunggu Hamzah. Dengan semangat yang membara, ia mempersiapkan diri untuk berangkat menuju Jakarta, sebuah langkah awal menuju petualangan yang lebih besar di Inggris. Dalam perjalanan ini, ia juga ditemani sahabatnya, Robi, yang telah menjadi teman setia sejak mereka kecil. Robi, dengan senyum lebar dan mata berbinar, ternyata juga kuliah di Oxford. Kabar ini membuat Hamzah terkejut sekaligus bangga; dua sahabat dari pelosok desa kini akan menaklukkan dunia.
Setelah menutup buku catatannya, Hamzah memasukkan buku dan bolpoin ke dalam tasnya. Ia menatap Robi yang asyik bermain game di ponselnya. “Rob?” panggil Hamzah lembut, berharap bisa menarik perhatian sahabatnya. “Heemm,” jawab Robi tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
“Jadi, kita sampai di Jakarta sore ini, sedangkan penerbangan kita besok. Enaknya tidur di mana ya? Di masjid kali ya?” Hamzah mengusulkan dengan nada penuh harapan. Ia membayangkan malam yang tenang di masjid, dikelilingi oleh suara merdu para pengunjung yang beribadah.
Robi menggelengkan kepala sambil tetap fokus pada permainannya. “Sudah, tidak usah dipikirkan sekarang. Nikmati saja perjalanan ini,” katanya sambil tersenyum tipis. Namun, beberapa saat kemudian, ekspresi Robi berubah drastis saat timnya kalah dalam permainan. “Yaaahh! Kalaaahh! Ih timnya bener-bener yaaa! Bisa pada main ga sih?!” serunya dengan nada kesal.
Melihat reaksi sahabatnya yang begitu emosional membuat Hamzah tak bisa menahan tawa. “Yah gitu aja emosi Rob-rob, itu cuma permainan,” ujarnya sambil tertawa lepas. Robi pun ikut tertawa meski masih sedikit kesal. “Yeee, kamu bilang gitu soalnya kamu tidak merasakan betapa sakitnya!” balas Robi dengan nada bercanda.
Percakapan mereka berlanjut dengan canda tawa yang menghangatkan suasana perjalanan. Dalam hati Hamzah berdoa agar perjalanan ini membawa mereka selamat ke Inggris dan membuka lembaran baru dalam hidup mereka. “Semoga kita selalu diberikan keselamatan dalam perjalanan sampai ke Inggris,” gumam Hamzah pelan, berharap doa itu akan terjawab.
Matahari mulai terbenam saat bus yang mereka tumpangi melaju di jalanan Jakarta yang ramai. Lampu-lampu kota mulai menyala, menciptakan panorama indah yang membuat hati Hamzah berdebar-debar. Ia tahu bahwa petualangan baru akan segera dimulai; sebuah perjalanan yang tak hanya akan mengubah hidupnya tetapi juga mempererat persahabatan mereka berdua.
Dengan semangat dan harapan yang membara, Hamzah dan Robi bersiap untuk menghadapi dunia baru di depan mereka—dunia yang penuh tantangan dan kesempatan menanti untuk dijelajahi bersama.
***
"Eh Zah, nanti kalau kamu capek bilang ya! Biar nanti aku gantian yang berdiri," tegas Robi dengan nada serius, mengingatkan Hamzah yang sudah setengah jalan dalam perjalanan ke Jakarta. Hamzah mengangguk, "Udah iya tenang saja," sahutnya sambil berusaha menahan rasa lelah yang mulai merayap.
Matahari bersinar cerah, namun di dalam kereta yang penuh sesak itu, suasana terasa sumpek. Hamzah masih berdiri, berpegangan pada pegangan besi di atasnya. Ia melirik ke arah Mbah Dul, yang terlelap dengan nyenyak di kursi, dan Robi yang juga ikut tertidur pulas. "Pulas sekali tidurnya," gumam Hamzah sambil tersenyum melihat teman-temannya. Namun, senyum itu segera pudar ketika perutnya mengeluarkan suara keras, "Krruuwwkk..." Suara lapar itu membuatnya tersadar akan keadaan perutnya.
Dengan cepat, Hamzah membuka tas kecilnya dan mengeluarkan satu bungkus roti yang ia bawa dari rumah. "Alhamdulillah, untung tadi aku sempet bawa roti," gumamnya sambil memandang bungkus roti itu dengan senyum lebar. Ia berjongkok di sudut kereta, berusaha tidak mengganggu penumpang lain. Dengan penuh semangat, ia membuka bungkus roti itu, tak sabar untuk menyantapnya.
Namun, saat roti itu hampir masuk ke mulutnya, matanya tertuju pada seorang ibu-ibu di depannya. Ibu tersebut tampak seumuran dengan ibunya dan terlihat sedang memperhatikan Hamzah dengan tatapan kosong. Dalam sekejap, Hamzah merasakan empati yang mendalam; ia melihat betapa ibu itu menahan rasa lapar yang sama seperti dirinya.
Tanpa pikir panjang, Hamzah menutup kembali klip segel plastik roti tersebut. Ia berdiri dan berjalan perlahan menghampiri ibu itu. "Ibu lapar?" tanyanya pendek namun penuh perhatian.
"Iya nak, ibu lapar," jawab ibu itu lemas, suaranya hampir tak terdengar di tengah keramaian kereta.
"Ini Hamzah ada sebungkus roti, ibu mau? Kalau ibu mau, ini roti ibu makan ya. Tapi kalaupun ibu menolak, Hamzah akan memaksa ibu untuk memakan roti ini," sambung Hamzah dengan nada tegas namun lembut.
Ibu itu menatapnya dengan mata berbinar dan menjawab lirih, "Iya, ibu mau Nak."
Dengan hati-hati, Hamzah menyerahkan sebungkus roti yang ia pegang. Sebenarnya ia juga sangat lapar, tetapi melihat seorang ibu yang kelaparan membuat hatinya bergetar. "Ini ya bu, rotinya dimakan ya,” ucap Hamzah sambil tersenyum tulus.
"Alhamdulillah, terimakasih banyak ya nak," jawab ibu itu dengan bahagia, senyumnya merekah seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya.
"Iya bu, toh cuma roti satu bungkus. Maaf ya bu, Hamzah cuman punya itu," ucap Hamzah dengan nada sedih.
“Tidak apa-apa nak, ini lebih dari cukup,” timpal ibu seraya tersenyum hangat.
“Akhlakmu begitu baik nak; semoga kamu selalu diberikan perlindungan dan pertolongan oleh Allah SWT,” sambungnya dengan nada penuh harapan.
Hamzah merasa tersentuh oleh doa tersebut. “Iya bu, Aamiin ya Allah. Terimakasih banyak bu atas do’a nya,” ucapnya sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dalam hati, ia berjanji akan terus berbuat baik meski hidup sering kali penuh tantangan.
Perjalanan ke Jakarta masih panjang dan penuh ketidakpastian. Namun saat itu juga, Hamzah merasakan kebahagiaan yang tulus; kebahagiaan karena bisa berbagi meski hanya sepotong roti. Di tengah keramaian dan kebisingan kereta yang melaju cepat itu, terjalinlah sebuah ikatan sederhana antara dua jiwa yang saling memahami satu sama lain dalam kesederhanaan hidup mereka.
***
"Hei Zah, bangun Zah. Bisa-bisa nya kamu tidur dengan berdiri," ucap Robi, suaranya penuh canda, berusaha membangunkan Hamzah yang tampak terjaga dalam keadaan setengah sadar. Hamzah, seolah baru saja terbangun dari mimpi yang dalam, mengerjap-ngerjapkan matanya.
"MasyaAllah, bisa-bisa nya aku tidur dengan berdiri. Mana tidur ku nyenyak pula," sahutnya heran, masih meraba-raba kenyataan di sekelilingnya.
Robi tersenyum melihat sahabatnya yang tampak bingung. "Itu karena kamu kecapekan, sudah sini Zah, gantian sama aku!" ujarnya sambil berdiri dari duduknya. Namun, Hamzah tidak segera merespons. Ia hanya terdiam dan celingukan, matanya mencari sosok yang sangat dikenalnya. Dalam benaknya terbayang jelas wajah perempuan paruh baya yang ia temui.
"Ibu tadi di mana?" gumamnya pelan, hatinya mulai bergetar.
Sewaktu Hamzah mencarinya, bangku tempat ibu duduk tampak kosong. Ia menatap sekeliling dengan harapan menemukan sosok itu berdiri di suatu tempat. Namun semua itu tampak sia-sia; ibu itu tidak ada di mana pun ia lihat.
"Sedang mencari siapa kamu Zah?" tanya Robi penasaran, menyadari kegelisahan sahabatnya.
"Ini aku sedang mencari ibu yang tadi duduk di sebelah sana," tegas Hamzah sambil menunjuk ke arah bangku kosong itu. Suaranya bergetar, seolah mengharapkan jawaban yang bisa menenangkan hatinya.
"Ibu yang mana Zah? Toh juga kamu tadi tidur. Cuma mimpi kali," Robi mencoba menenangkan Hamzah. "Sudah, mendingan sekarang kamu duduk. Tenangkan fikiranmu dan tenangkan hatimu, oke!"
Hamzah mengangguk pelan, meskipun keraguan masih membayangi pikirannya. Ia berjalan mendekati kursi dan duduk dengan hati yang berat.
"Sudah sekarang kamu kalau mau lanjut tidur silahkan Zah," ucap Robi mempersilakan dengan nada lembut.
"Sudah ndak ngantuk lagi Rob," jawab Hamzah sambil memandangi kursi kosong itu dengan tatapan kosong. Mimpinya masih segar dalam ingatannya—ibu yang tersenyum padanya. "Kursinya kosong, dan aku lihat sekeliling aku tidak menemukannya," gumam Hamzah heran.
Dengan perasaan campur aduk, Hamzah menyandarkan kepalanya ke tangan dan menghirup napas panjang. Ia berharap semua ini adalah pertanda baik.
"Semoga saja itu membawa kebaikan untukku, aamiin," ucapnya pelan, menutup mata sejenak untuk mengumpulkan kembali kekuatan dalam dirinya. Dalam keheningan itu, ia seketika merasakan kehadiran ibunya meski hanya dalam bayangan—sebuah pengingat bahwa cinta seorang ibu akan selalu ada meski jarak memisahkan mereka.