kisah seorang siswi perempuan yang tidak tertarik dengan apapun akhirnya menyukai seorang lelaki yaitu kakak kelasnya,hari demi hari ia lewati tana menyapa ataupun yang lain.hanya sebatas melihat dari jauh orang yang di kaguminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myz Yzy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OVERTHINKING
Hubungan Nabil dan Yana semakin kokoh setelah liburan singkat mereka. Namun, kehidupan kembali berjalan seperti biasa, dan kesibukan perlahan mengambil alih. Nabil yang mulai terlibat dalam proyek kampus baru semakin sulit meluangkan waktu. Yana pun kembali sibuk dengan dunia fotografi, namun perasaan rindu yang sempat terobati kembali muncul.
Satu sore, saat Yana sedang mengedit foto di laptopnya, notifikasi ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari salah satu teman klub fotografinya.
“Yan, kayaknya aku lihat cowokmu di kafe tadi. Dia bareng cewek lain. Kayaknya teman dekatnya ya?”
Yana membacanya dengan dahi berkerut. Ia mencoba berpikir positif dan meyakinkan diri bahwa itu pasti teman Nabil. Namun, rasa penasaran mengalahkan logikanya. Ia pun membalas pesan itu.
“Kafe mana, ya?”
Temannya menyebutkan nama kafe, dan tanpa banyak berpikir, Yana segera mengemasi barangnya lalu pergi ke sana. Sesampainya di kafe, ia melihat Nabil duduk di meja pojok, tertawa bersama seorang perempuan yang tidak ia kenal. Mereka tampak akrab, terlalu akrab untuk seseorang yang hanya sekadar teman.
Yana memilih untuk tidak mendekat. Ia berdiri di luar, mengamati dari balik jendela. Dadanya terasa sesak. Meski tidak ada bukti pasti bahwa Nabil melakukan sesuatu yang salah, pemandangan itu sudah cukup membuat hatinya retak. Ia berbalik, berjalan menjauh dengan langkah cepat, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.
Malam itu, Nabil menghubungi Yana.
“Hei, Yan. Aku tadi sibuk banget. Maaf baru sempat kabarin,” katanya dengan nada yang terdengar biasa saja.
Yana terdiam, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. “Sibuk banget, ya? Sampai sempat nongkrong di kafe sama cewek lain?”
Nabil terkejut mendengar nada tajam Yana. “Tunggu, kamu maksud siapa? Itu teman kelompok belajar aku. Kami cuma diskusi soal proyek.”
“Diskusi sambil ketawa-ketawa? Nggak ada waktu buat aku, tapi ada waktu buat orang lain?” Yana balas dengan suara bergetar.
“Yan, aku serius. Itu nggak seperti yang kamu pikirin. Aku bahkan nggak menyembunyikan apa-apa,” Nabil mencoba menjelaskan, tapi Yana sudah kehilangan kesabaran.
“Kalau nggak sembunyiin apa-apa, kenapa nggak bilang dari awal? Aku ini pacar kamu, Nabil. Apa susahnya kasih tahu aku?!” bentaknya.
Nabil terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Yana menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya.
“Aku capek, Kak. Aku capek selalu jadi orang yang nunggu, yang ngerti, yang terus percaya. Tapi kamu nggak pernah bikin aku merasa cukup penting.”
Yana memutuskan sambungan telepon sebelum Nabil sempat menjawab. Setelah itu, ia mematikan ponselnya, membiarkan tangisnya pecah tanpa ada yang bisa mendengarnya.
Keesokan harinya, Nabil berusaha menghubungi Yana, tapi tak ada jawaban.
Ia bahkan mendatangi rumah Yana, tapi ibunya hanya berkata, “Yana lagi nggak mau ketemu siapa pun sekarang. Kasih dia waktu.”
Nabil merasa bersalah, tapi ia juga bingung bagaimana memperbaiki situasi. Sementara itu, Yana mencoba menenangkan diri, memikirkan ulang hubungannya. Ia mencintai Nabil, tapi apakah cinta saja cukup jika ia terus merasa terabaikan?
Minggu-minggu berlalu, hubungan mereka terasa dingin. Yana mulai fokus pada dirinya sendiri, sementara Nabil terus berusaha memperbaiki keadaan. Hingga suatu malam, Nabil kembali mengirim pesan panjang.
“Yana, aku tahu aku salah. Aku nggak pernah maksud buat bikin kamu merasa nggak penting. Aku cuma terlalu sibuk dan nggak peka. Aku pengen kita bicara lagi, Yan. Aku nggak mau kita selesai kayak gini.”
Namun, kali ini Yana tidak langsung merespons. Ia tahu, ia harus memutuskan apakah ia ingin memberi Nabil kesempatan lagi atau belajar untuk melepaskannya. Di dalam hatinya, ia masih menyayangi Nabil, tapi luka yang tertinggal membuatnya ragu.
Di depan laptopnya, ia membuka folder foto lama, menatap foto mereka berdua di bukit saat matahari terbenam. Air mata menetes di pipinya.
“Mungkin cinta memang bukan soal selalu bersama,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa pun keputusan yang diambil, ia harus memilih jalan yang paling membahagiakannya.