Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lembah Orang Hilang
Gilda Phoenix mengalami perubahan secara signifikan. Aku tidak ingin menyia-nyiakan pengaturan yang sudah kami buat sedemikian rupa tanpa ada hasil. Aku senantiasa menjaga gilda agar tetap hidup walau orangnya itu-itu saja.
Berbeda dengan Phoenix, gadis itu sangat percaya diri untuk mengundang beberapa kenalannya bergabung menjadi anggota. Ada saat ketika tab ku terus berdenting, beberapa orang memerlukan persetujuan untuk menjadi anggota. Tapi selalu kubiarkan Phoenix yang menyetujui lewat tab nya kemudian terlihatlah wajah-wajah baru di gilda.
Upaya yang kulakukan untuk mempertahankan anggota cukup membuatku puas, walau menguras kantong uangku, tapi tidak mengapa sedikitnya akan kembali ke kas gilda walau Phoenix tidak menentukan besarannya.
Untuk memanjakan anak-anak agar tidak sering keluyuran ke gilda lain, biasanya aku bermain tebak-tebakan dengan hadiah atau mengadakan permainan berburu peti di hutan pribadi. Gelombang peti terakhir sudah kukeluarkan namun nampaknya anak-anak itu masih belum puas. Ketika kutunjukan kedua tanganku yang kosong, mereka membubarkan diri dengan kecewa.
Phoenix menepuk bahuku dan berkata dengan manja,"Permainan berburu kali ini memang mengecewakan ya, Tuan administrator."
Aku tidak mengerti bagian mana yang menurutnya mengecewakan. Tapi secara terang-terangan Phoenix sedang memamerkan hasil buruannya dihadapanku. Sudah jelas dia keluar sebagai pemenang piti terbanyak untuk permainan berburu kali ini. Aku hendak meraih kantong uangnya tapi kantong itu lolos dari genggamanku.
"Yang ini akan masuk kantong pribadiku." Dia buru-buru menyembunyikannya, menyimpannya baik-baik dibelakang pakiannya.
"Bagaimana?" Phoenix bersedekap, menahan senyum sambil memandangiku menungguku mengomentarinya.
"Bagaimana apanya, kenapa kau ikut masuk dalam permainan?"
"Aku juga anggota gilda Phoenix Tuan administrator, mereka boleh dapat koinmu lantas kenapa aku tidak?"
"Anak-anak itu bukan tandinganmu dan kemampuan peti dirancang sesuai kemampuan mereka. Peti-peti itu hanya selevel jangkrik di musim panas."
"Kalau begitu lain kali buatlah peti yang bisa menandingiku, aku akan menantikan itu Tuan administrator."
Setelah berkata begitu dia menepuk kantong uangnya hingga terdengarlah gemerincing lalu Phoenix pergi dengan riang.
Aku memerlukan lebih banyak piti atau bahkan koin emas, apalagi Phoenix menyebut-nyebut soal memugar gilda menjadi lebih berkelas, tentu saja pembangunan membutuhkan dana yang cukup besar. Sedangkan berburu di hutan lepas tidak akan bisa menanggung biaya sebesar itu.
Aku dan Niken terkadang berburu bersama. Kami pergi ke hutan lepas sampai masuk ke inti hutan dan bertemu penghuni hutan yang sangat tidak ramah pada tamu. Hanya karena makhluk itu memiliki kulit atau sisik yang cerah dan berkilauan seperti permata, Niken kelihatannya ingin menjadikannya peliharannya, sayang sekali makhluk itu terlalu jual mahal.
"Dia bukan kelinci," aku memperingatkannya. "Kau yang akan jadi kelinci mainannya atau bahkan camilannya." Saat itu juga kami langsung meninggalkan air terjun dan menjauhi sungai. Dilain hari kami dikepung sekawanan babi berbulu coklat. Niken bilang itu bukan babi tapi beruang. Namun dilihat bagaimanapun, mereka tampak mirip babi yang memakai jaket bulu.
Akhirnya kami berhasil lolos berkat jerat yang dipasang Niken sebelumnya untuk menjaring peti.
"Akhirnya perangkapmu ada gunanya selain menjerat dirimu sendiri." Sambil berkata begitu aku mengingat pertemuan pertama kami.
"Apa yang akan kita lakukan pada babinya?" Niken memandangi seekor babi yang tengah tergantung dan meronta.
Aku tidak tahu apa ada manfaatnya dengan si babi itu, tapi aku menyuruh Niken segera pergi dari sana secepat dan sejauh mungkin. "Apa yang akan kau lakukan, gege?"
"Ikuti saja apa kataku."
Niken mengikuti perintahku, setelah kurasa cukup, kutebas tali yang menjerat si babi hingga putus setelahnya aku berlari tanpa melihat ke belakang.
"Gege, kau membunuh babinya?"
"Mana mungkin, aku hanya melepasnya."
Hari lain kami pergi ke bagian hutan yang sama sekali asing. Entah dapat informasi darimana anak ini yang jelas dia sepertinya mempercayai orang itu. "Niken kau tidak ada takut-takutnya, bagaimana kalau mereka hanya mengerjaimu."
"Untungnya ada kau, kalau aku tersesat disini paling tidak aku punya teman ngobrol."
Anak ini punya relasi yang luas, aku yakin jika kita menanyakan soal keadaan dunia diluaran sana, dia akan memberikan jawaban yang cukup. Tapi yang kukhawatirkan dia tidak pernah memilah mana yang baik dan buruknya.
Bagian hutan yang kami datangi sangat berbeda, beberapa hutan tidak bisa dimasuki cahaya matahari tapi dibagian ini sinar matahari dikaburkan oleh kabut dan keheningan melayang di sekeliling kami. Jika bagian hutan lain diliputi sihir warna-warni, di sini merangkum sihir gelap dan kuno.
"Disini ada yang tidak beres. Jangan jauh-jauh dariku."
"Aku memang tidak ingin jauh darimu." Niken tampak mengelus tengkuknya.
"Apa yang kau lakukan?" dia bertanya saat aku melingkarkan tali ke pinggangnya.
Aku mengacungkan ujung tali sisi lainnya yang segera saja kuikatkan pada pinggangku. "Aku akan membuat ikatan takdir. Dengan begini aku tidak akan kehilanganmu di tengah kabut."
"Kalau begini mana bisa kita berburu."
"Kita tidak akan berburu, kita akan cari jalan pulang, tidakkah kau lihat, tidak seekor pun nyamuk mendekati wilayah ini."
Gagasan mengikat kami dengan tali dan saling terhubung ternyata memang tepat. Kabut kian menebal dan udara tiba-tiba menurun, seolah-olah mayat hidup bisa kapan saja muncul. Niken menggigil di sampingku. Aku menarik lengannya untuk lebih dekat.
Kami tidak boleh menurunkan kewaspadaan. Kesunyian yang abnormal lebih riskan akan musuh yang tidak terlihat. Setelah melalui langkah yang tidak mudah, kami keluar dari hutan dan berada di dasar ngarai yang keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Didepan nampak tebing batu abu-abu muram menjulang tinggi dengan sisi yang curam dan terjal.
Melayang kian kemari menembus kabut, beberapa ekor burung hitam mencuit seperti peluit panjang di angkasa.
"Dimana kita?"
"Lembah orang hilang," Niken berbisik.
Aku berbalik menghadapnya. "Apa yang kau dengar soal lembah ini?"
Dia mengedikkan bahu. "Entahlah."
"Entahlah bagaimana?"
Niken tidak menjawabku tapi dia diam dan menatap ke kejauhan. "Gege, maapkan aku, seharusnya aku tidak membawamu. Seharusnya kita tidak kesini. Bukannya aku tidak tahu soal bahaya tapi mereka membuatku kesal."
Untuk kali pertama aku melihat pertahanan anak ini runtuh. Jika biasanya dia sebagai anak perempuan nakal dan tidak terkendali kali itu aku benar-benar melihatnya sebagai anak perempuan biasa yang ketakutan.
Aku mendekat kepadanya, mengelus kepalanya dengan lembut dan hati-hati. Dia menoleh kepadaku dengan mata berkaca-kaca.
"Aku tidak akan menyalahkanmu, yang sudah sudah biarkan saja berlalu."
"Mereka bilang tidak ada yang bisa ke luar dari sini."
"Lalu apa yang kau katakan pada mereka?"
"Kubilang aku bisa keluar hidup-hidup dengan membawa ..." Dia menyela ucapannya sendiri dengan helaan napas sebelum memulai lagi. "Koin emas."
Dia menunduk menatap sepatunya yang sedang meremukkan dedaunan di permukaan tanah. "Ya, apa bahayanya dengan kabut, lalu akulah yang akan menertawakan mereka, si pecundang itu."
Sesaat aku dapat merasakan kesedihan dan kekesalan dalam suaranya, tapi aku juga melihat ada kebohongan disana.
"Kalau begitu mari kita berusaha keluar, lalu kau bisa menertawakan semua yang menyinggungmu. Seandainya kita terjebak selamanya disini bukankah tidak masalah selama aku menemanimu. Tenang saja kau tidak akan kesepian karena aku akan terus mengajakmu mengobrol."
Niken setengah tertawa setengah tersedu mendengarku. Dia mengusap setitik air matanya. "Kau itu sedang menghiburku atau malah mengejekku, gege."
"Kalau bisa keduanya kenapa tidak," aku menampilkan seulas senyum jahil. "Aku akan membawamu keluar, aku ini berbakat. Seperti yang kau bilang ini cuma kabut, kabut hanya menghalangi pandangan bukan mengubah rute."
Namun pada kenyataannya kabut ini sungguh menyusahkan jika memang hanya menghalangi pandangan lantas kenapa kami malah diarahkan ke lembah?
"Gege..."
Aku menarik lengan Niken sebelum anak itu menyelesaikan kalimatnya lalu membawanya ke celah sempit di bawah tebing, di balik batu. Aku menggeleng dan menempelkan telunjuk ke bibirku saat dia hendak mengatakan sesuatu. Tidak lama terdengarlah derap kaki kuda dikejauhan, burung pemangsa di angkasa memekik lagi.
Derap kuda semakin dekat, menggetarkan tanah yang kami pijak. Aku mencengkram pundak Niken, agar anak itu tetap diam ditempatnya. Aku tidak ingin dia berpikir untuk melompat keluar dari persembunyian kami dan mengira orang berkuda tersebut kerabat yang bisa ditumpangi.
Langkah kuda melambat, ketika anak itu penasaran dan hendak mengintip, si penunggang melintas di jalan setapak dan berhenti tepat di tempat tadi kami berdiri. Niken merosot dan menangkupkan tangan ke mulutnya. Aku memberinya tatapan agar dia tetap bersikap tenang.
Bukan tanpa alasan Niken begitu ketakutan, si penunggang itu berpakaian serba hitam. Jubahnya tampak tercabik di beberapa tempat. Kondisi kabut mengaburkan wujudnya, tapi tudung dan kain hitam yang menutupi wajahnya membuatnya bagai kengerian yang datang dari mimpi buruk.
Si penunggang tampak mencari sesuatu, mengendus udara, mungkinkah merasakan keberadaan kami? Ketika akhirnya aku mengira kami tidak ketahuan dan kuda mulai melangkah, terdengar bunyi denting nyaring bersamaan dari tab milikku dan Niken. Kami saling pandang.
Sial! Kenapa harus disaat seperti ini.
masih nyimak