Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Pagi ini, Siera bersiap untuk berangkat ke sekolah seperti biasanya. Saat keluar rumah, sama seperti kemarin, tidak ada tanda-tanda Arka akan menjemputnya untuk berangkat bersama. Gadis berparas cantik itu memutuskan untuk pergi sendiri daripada terus menunggu Arka dan berharap tanpa kepastian.
“Ya sudahlah, berangkat sendiri saja. Menunggu lama pun belum tentu si Arka datang,” gumam Siera sambil melangkah meninggalkan rumahnya.
Setibanya di sekolah, Siera langsung menuju kelasnya dan duduk di bangkunya. Ia mengeluarkan buku catatan dan mulai bersiap mengikuti pelajaran. Tak lama kemudian, Arka muncul dengan tergesa-gesa, napasnya tersengal seperti baru saja berlari.
“Kok lo ninggalin gue sih?” tanya Arka sambil menghampiri Siera dengan wajah kesal.
Siera menatap Arka heran. “Ya lo juga nggak ngabarin mau jemput.”
“Biasanya juga nggak ngabarin, tapi tetep nungguin gue,” balas Arka sambil duduk di kursinya.
“Nunggu lo? Yang ada malah kayak kemarin lagi. Gue gak mau buang waktu cuma buat nungguin orang yang nggak pasti,” jawab Siera tegas, sambil memasukkan rambutnya yang tergerai ke belakang telinga.
“Yang kemarin itu kan gue udah bilang maaf, itu nggak sengaja, Sie,” sahut Arka dengan nada menyesal.
Siera mendesah pelan sambil menggeleng. “Ya, tapi gue nggak mau kejadian kayak gitu terulang lagi, Ka. Kalau emang lo niat, kasih tau gue sebelumnya.”
Arka terdiam sejenak, lalu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Oke, gue salah. Mulai sekarang gue bakal kasih kabar dulu.”
“Bagus kalau gitu,” kata Siera sambil menatap Arka sekilas sebelum kembali fokus ke buku catatannya.
Suasana di antara mereka perlahan mencair. Meskipun Arka terlihat sedikit kesal, ia tahu bahwa Siera hanya ingin yang terbaik untuk mereka berdua.
Sesuai janji mereka, seharusnya sepulang sekolah hari ini Arka menemani Siera membeli alat lukis barunya. Namun, Arka keluar lebih dulu dari kelas dan menyuruh Siera menunggunya di luar sekolah. Arka yang terburu-buru tidak mengatakan alasannya keluar kelas lebih dulu.
“Si Arka mana sih? Udah 15 menit nunggu, belum muncul juga. Pulang duluan apa gimana?” gerutu Siera sambil melirik layar ponselnya, memastikan tidak ada pesan masuk.
Setelah menghela napas panjang. Siera akhirnya mengetik pesan. “Lo dimana? Masih lama nggak sih urusan lo?”
Cuaca panas terik hari itu membuat suasana hati Siera semakin memanas. Ia melirik bayangan pohon di dekat gerbang sekolah, berharap bisa sedikit berteduh, namun kerumunan siswa lain sudah memenuhi tempat itu. Merasa tak nyaman, Siera memutuskan untuk menjauh dari keramaian dan mencari tempat yang lebih sepi untuk menunggu Arka.
“Kalau emang gak bisa, ya nggak usah janji juga,” gumam Siera kesal sambil melipat tangan ke dadanya.
Beberapa menit berlalu tanpa ada balasan. Kesabarannya semakin terkikis. Ia melangkah ke sisi jalan, mencoba mencari ojek online, tapi ponselnya menunjukkan sinyal yang lemah.
“Ini si Arka kemana sih?” gumamnya sambil menghapus keringat di dahinya.
Tiba-tiba, suara sepeda motor berhenti di depannya. Siera menoleh dan mendapati Arka tersenyum sambil membuka kaca helmnya.
“Maaf, gue telat. Kyla tadi manggil gue dulu,” ujar Arka dengan nada bersalah.
“Kyla lagi. Kyla lagi,” Siera menggumam penuh kesal sambil mengalihkan pandangannya ke bawah. Ia telah menunggu Arka lebih dari 30 menit, dan fakta bahwa Arka lebih memilih menemui Kyla terlebih dahulu tanpa memberitahunya, hal itu benar-benar membuat emosinya memuncak.
Siera langsung menatap Arka dengan tatapan tajam. “Ka, gue nunggu di sini udah 30 menit lebih. Dan lo milih nemuin Kyla dulu tanpa ngabarin gue,” ucap Siera dengan nada kecewa.
Arka tampak terkejut melihat reaksi Siera, tetapi ia mencoba meredakan suasana. “Ya maaf, Sie. Kyla tiba-tiba manggil gue tadi. Gue juga nggak tahu bakal selama itu ngobrolnya.”
“Tapi gue udah nungguin lo dari tadi, Ka. Seenggaknya lo ngabarin gue atau balas chat gue. Lo kenapa jadi gini, sih? Bener-bener ngelupain gue banget,” balas Siera dengan sorot mata tajam yang tidak bisa disembunyikan.
Arka turun dari motornya dan mencoba mendekati Siera, tapi gadis itu mundur selangkah, menjaga jarak. “Sie, gue nggak maksud kayak gitu. Gue nemuin Kyla tadi, karena dia bilang butuh bantuan gue."
“Dan lo gak mikirin gimana gue di sini?” potong Siera dengan suara yang lebih tinggi dari biasanya. “Gue yang udah nungguin lo di sini kayak orang bodoh, ternyata lo lebih milih Kyla!”
Arka terlihat bingung, wajahnya semakin suram. “Sie, gue nggak bermaksud ngebuat lo merasa kayak gitu. Gue Cuma...”
“Cuma apa, Ka?” tanya Siera, nadanya penuh penekanan. “Cuma nggak enak sama Kyla, iya? Kalau gitu kenapa lo janji sama gue? Kalau lo tahu nggak bakal bisa, jangan janji!”
Siera bingung dengan dirinya sendiri. Seharusnya, ia tidak perlu mempermasalahkan hal ini hanya karena menunggu Arka lebih lama. Namun, ada sesuatu yang lain yang mengusik hatinya, sebuah perasaan yang membuatnya sulit untuk tetap tenang. Gadis itu merasa marah, bukan hanya karena menunggu, tetapi karena Arka lebih mendahulukan orang lain dibandingkan dirinya.
Di sisi lain, desakan Siera yang semakin emosional membuat Arka mera terpojok. Tanpa ia sadari, emosinya perlahan ikut terpancing, membakar ketenangan yang sebelumnya coba ia pertahankan.
“Siera! Bisa stop nggak sih? Gue kan udah minta maaf, dan sekarang gue di sini mau nganterin lo. Terus apa lagi yang kurang?” Arka meninggikan suaranya, mencoba menahan gejolak di dadanya.
Siera terkejut mendengar balasan Arka yang mulai emosi. “Kok jadi lo yang marah kayak gini sih? Lo nggak pernah loh Ka ngomong pake nada kayak gini sebelumnya.”
“Ya abisnya lo terus-terusan nyalahin gue, Sie! Gue udah bilang gue minta maaf, tapi lo nggak pernah puas,” balas Arka dengan nada frustrasi.
“Arkana! Lo nggak biasanya kayak gini, ya!” balas Siera, tatapannya tajam namun penuh kekecewaan.
“Sie, kehidupan gue bukan cuma soal lo doang, Gue juga punya hal lain yang harus gue lakuin. Lo ngerti, kan?” suara Arka mulai melembut, meski masih ada nada tegas di dalamnya. Ia mencoba mengendalikan amarahnya, tapi ada rasa frustrasi yang tak biasa disembunyikan.
“Gue ngerti Ka, tapi lo juga selalu bilang, ‘gue bakal ada buat lo, prioritasin lo, dan kemana-mana bareng lo.’ Terus kenapa sekarang lo berubah?” suara Siera mulai bergetar, menahan tangis yang hampir tak terbendung.
“Gue gak berubah, Sie. Tapi, lo harus paham…” Arka menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya meski nada suaranya tetap tajam.
“Bukan berarti karena sejak kecil kita selalu bareng, hidup gue harus terus muter di sekitar lo sampai kita dewasa, kan?” ucapnya tegas, tatapannya tajam menghujam ke arah Siera. Suaranya keras, seperti menahan sebuah kebenaran yang tak bisa dihindari.
Deg! Kata-kata itu menghantam Siera begitu kuat hingga membuatnya terdiam. Dadanya sesak, dan sejenak merasa sulit bernapas.
Tanpa sepatah kata lagi, Siera segera berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Arka yang masih berdiri terdiam, terjebak dalam rasa bersalah. Untuk pertama kalinya, Arka merasa tindakannya benar-benar membuat Siera terluka.