para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Jejak yang hilang
Setelah berhasil keluar dari Hutan Giripati, hidup Danu, Alin, dan Bimo berubah menjadi mimpi buruk. Mereka berharap hutan itu hanya akan menjadi kenangan buruk, tetapi justru merasa bahwa sesuatu telah mengikuti mereka keluar.
---
Bimo adalah yang pertama mengalami sesuatu yang aneh. Dua hari setelah keluar dari hutan, ia mulai kehilangan waktu. Ia terbangun di tempat-tempat yang tidak ia kenali, dengan tanah basah di sepatunya dan bau kayu lapuk di bajunya.
Saat ia memeriksa kamera miliknya, ia menemukan rekaman yang tidak pernah ia ambil. Dalam rekaman itu, terlihat dirinya berjalan sendirian di dalam hutan, berbicara dengan seseorang yang tidak terlihat.
“Aku tidak tahu apa yang kamu mau!” teriak Bimo di dalam video.
Namun, suara lain menjawab dengan nada rendah, hampir seperti bisikan:
“Kamu sudah tahu. Kami hanya mengambil apa yang sudah menjadi milik kami.”
Bimo mencoba menghubungi Danu, tetapi sebelum ia sempat menceritakan apa yang terjadi, panggilannya terputus, dan ia mendengar suara familiar di belakangnya.
“Sari?”
Saat ia berbalik, ia melihat Sari berdiri di sudut ruangan. Tapi wajahnya tidak seperti manusia lagi. Kulitnya pucat, matanya hitam pekat, dan bibirnya tersenyum lebar.
“Kamu tidak boleh meninggalkan kami, Bimo.”
Keesokan harinya, Bimo ditemukan tewas di apartemennya, dengan tubuh menggantung di tengah ruangan. Di lantai, ada bekas jejak kaki berlumpur yang mengarah keluar dari pintu.
---
Kematian Bimo mengejutkan Danu dan Alin. Namun, mereka tidak sempat berkabung. Keanehan mulai terjadi pada Alin.
Ia mulai bermimpi berada di altar di tengah reruntuhan itu. Dalam mimpinya, ia melihat dirinya berdiri di tengah lingkaran, dikelilingi oleh sosok-sosok tanpa wajah. Mereka terus berbisik, mengulang kata-kata yang sama:
“Kamu tidak akan pernah bebas.”
Ketika Alin terbangun, ia mendapati simbol-simbol kuno yang pernah ia lihat di batu diukir di lengannya, seolah-olah ada yang menulisnya saat ia tidur.
Ia mencoba menghubungi Danu, tetapi setiap kali ia mencoba berbicara, teleponnya hanya mengeluarkan suara bisikan.
Suatu malam, Alin terbangun oleh suara langkah kaki di apartemennya. Ia mengambil pisau dan memeriksa seluruh ruangan, tetapi tidak menemukan siapa pun. Namun, di cermin kamarnya, ia melihat bayangan dirinya sendiri tersenyum.
“Tunggu, apa itu?” bisiknya, menatap bayangan itu lebih dekat.
Bayangan itu berbisik dengan suara yang bukan miliknya sendiri: “Kami ada di sini.”
Esoknya, Alin menghilang tanpa jejak. Apartemennya ditemukan kosong, hanya menyisakan buku catatannya yang terbuka di halaman terakhir, dengan tulisan:
“Mereka datang untukku.”
---
Kini tinggal Danu seorang diri. Ia mulai memahami bahwa Hutan Giripati tidak pernah membiarkan siapa pun pergi. Semua yang pernah masuk akan selalu terikat dengan tempat itu.
Penuh rasa bersalah, Danu memutuskan untuk kembali ke desa di sekitar Giripati, berharap menemukan jawaban. Di sana, ia bertemu seorang pria tua yang mengaku sebagai kerabat dari Pak Mahendra, arkeolog yang menghilang puluhan tahun lalu.
“Kenapa kami tidak bisa bebas dari hutan itu?” tanya Danu.
Pria tua itu menggeleng. “Karena kalian mengambil sesuatu yang bukan milik kalian.”
“Apa maksud Anda?”
Pria itu menyerahkan sebuah benda kecil—sebuah liontin kuno yang ditemukan di reruntuhan. Liontin itu bergambar makhluk dengan banyak mata, dikelilingi oleh lingkaran.
“Itu adalah kunci segel mereka. Ketika kalian mengambilnya, kalian membuka jalan bagi hutan untuk mengikuti kalian ke dunia ini.”
Danu menggenggam liontin itu dengan erat, merasa marah dan putus asa. “Jadi bagaimana cara menghentikannya?”
Pria itu menatapnya dengan penuh belas kasihan. “Satu-satunya cara adalah mengembalikannya ke altar di tengah hutan. Tapi tidak ada jaminan kamu akan keluar lagi.”
---
Dengan tekad yang sudah bulat, Danu kembali ke Hutan Giripati. Kali ini, ia tidak membawa tim, hanya dirinya sendiri dan liontin itu.
Saat ia melangkah masuk, hutan itu langsung mengenalinya. Jalur setapak berubah menjadi labirin, bayangan hitam mulai bermunculan di pinggir penglihatannya, dan suara langkah berat mengikuti di belakangnya.
Namun, Danu terus maju. Ia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti sekarang.
Akhirnya, ia tiba di altar. Tempat itu terasa lebih gelap dari sebelumnya, dengan akar-akar pohon yang bergerak seperti ular, melilit reruntuhan.
Saat ia mencoba meletakkan liontin di atas altar, suara besar menggema di sekitarnya:
“Berhenti.”
Danu berbalik dan melihat sosok Sari, Bimo, dan Alin berdiri di sana, tetapi mereka bukan manusia lagi. Kulit mereka seperti kayu, dan mata mereka kosong.
“Kami sudah menjadi bagian dari hutan ini, Danu,” kata Sari, suaranya serak dan penuh penderitaan. “Dan kamu juga akan menjadi bagian darinya.”
Meskipun tubuhnya gemetar, Danu tetap meletakkan liontin itu di atas altar dan mulai melafalkan mantra yang ia temukan di catatan Pak Mahendra.
Akar-akar pohon mulai bergerak liar, mencoba meraih tubuhnya. Bayangan-bayangan hitam muncul dari segala arah, tetapi Danu terus melafalkan mantra itu.
Akhirnya, liontin itu bersinar terang, dan altar mulai runtuh. Jeritan terdengar dari segala penjuru, seolah-olah hutan itu sendiri merasa kesakitan.
---
Danu terbangun di luar Hutan Giripati, tubuhnya penuh luka, tetapi ia masih hidup.
Namun, saat ia kembali ke kota, ia menyadari bahwa tidak ada yang mengenalnya. Namanya tidak ada di dokumen mana pun, teman-temannya tidak ingat siapa dirinya, dan bahkan keluarganya menganggapnya orang asing.
Danu menyadari bahwa meskipun ia berhasil menghentikan hutan, ia telah membayar harga yang mahal.
Ia sekarang adalah bayangan di dunia nyata, terhapus dari ingatan semua orang.
Hutan Giripati mungkin telah kehilangan kekuatannya, tetapi ia telah mencuri sesuatu yang lebih besar: eksistensi Danu.
Dan di malam-malam sunyi, Danu masih mendengar bisikan dari hutan itu:
“Kami belum selesai.”