Bintang panggung dan penulis misterius bertemu dalam pertemuan tak terduga.
Rory Ace Jordan, penyanyi terkenal sekaligus sosok Leader dalam sebuah grup musik, terpikat pada pesona Nayrela Louise, penulis berbakat yang identitasnya tersembunyi. Namun, cinta mereka yang tumbuh subur terancam ketika kebenaran tentang Nayrela terungkap.
Ikuti kisah mereka....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. LOML 14.
Suara khas dari lonceng cafe terdengar diikuti seorang pria bertopi serta menutupi sebagian wajahnya menggunakan masker melangkah masuk dan segera duduk di salah satu kursi kosong sampai seorang pelayan cafe menghampiri pria itu dengan sebuah buku menu di tangannya.
"Hallo, selamat datang,"
Jim menyapa ketika semua temannya menolak untuk melayani pria bermasker dimana pria itu selalu datang di jam yang sama sejak lima hari terakhir.
"Secangkir White Flat," Rory memesan bahkan sebelum Jim memiliki kesempatan untuk bertanya tanpa melepaskan masker yang menutupi wajahnya.
"Adakah makanan yang Anda inginkan, Tuan?" Jim bertanya.
"Tidak! Itu saja," sahut Rory.
"Baik, mohon tunggu sebentar," Jim menjawab dan berlalu pergi.
Jim kembali ke meja bar, menyebutkan menu yang di pesan Rory pada Barista.
"White Flat lagi?" salah satu teman Jim bertanya.
"Ya, apakah ada masalah dengan itu?" Jim balas bertanya.
"Aku berani bertaruh, dia tidak akan meminumnya," dia berkata.
"Dia hanya duduk selama dua atau tiga jam, lalu pergi tanpa menyetuh kopi yang dia pesan,"
"Dia bahkan meninggalkan uang di bawah cangkir dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun," teman lain menimpali.
"Sudahlah! Itu bukan urusan kita bukan? Lagi pula, dia membayar apa yang dia pesan, jadi kenapa kalian meributkan hal ini?" tegur Jim.
"Aku hanya merasa sikap dia aneh," salah satu dari teman Jim kembali membuka suara.
"Dia menunggu seseorang yang tidak pernah datang," teman lain menimpali.
"Lihat saja!" menunjuk satu arah menggunakan dagu.
Jim segera mengarahkan pandangan pada Rory yang tengah memainkan ponsel di tangannya tanpa melepaskan masker. Hal yang membuat dirinya tidak di kenali terutama ia juga mengenakan topi senada di kepalanya.
[[ "Hai,,, Apakah kamu sibuk?" ]]
Rory membaca lagi pesan yang akan ia kirim dengan penerima pesan Nayla, detik berikutnya menghapus pesan yang akan ia kirim, lalu mengetik pesan lain dan menghapus lagi.
[[ "Maukah kamu minum kopi bersamaku?" ]]
'Tck,,,, Tidak,, ini tidak baik,,,' batin Rory kembali menghapus pesan.
[[ "Bisakah kita bertemu di cafe sebelah kantor tempatmu bekerja?" ]]
'Tunggu sebentar,,, Nayla tidak tahu jika aku mengetahui tempatnya bekerja, jika aku mengajaknya dengan kalimat seperti ini, dia akan curiga padaku,' batin Rory.
Hapus lagi.
Hal itu Rory lakukan berulang kali hingga pada akhirnya membalik ponsel di atas meja diikuti menjatuhkan kepalanya.
'Haahhh,,,, kenapa sulit sekali hanya ingin mengajaknya keluar untuk bertemu? Aku bahkan tidak menemukan kalimat yang pas untuk kukatakan,'
'Aku berharap dia keluar dari kantor dan datang ke cafe ini. Akan lebih mudah memulai percakapan jika aku bertemu secara kebetulan dengannya,'
Pelayan cafe menatap Rory dengan tatapan heran tanpa mengenalinya.
"Ada apa dengannya?" Jim bertanya.
"Bukankah sudah kukatakan bahwa dia aneh? Kenapa kamu tidak tanyakan saja pada orang itu untuk mendapatkan jawaban?" balas sang teman.
"Jawabanmu sangat tidak membantu," Jim mendengus.
"Ini adalah kali kelima dia datang dan duduk di tempat yang sama dan datang di jam yang sama selama lima hari," satu dari teman Jim menjawab.
"Benar, entah siapa yang dia tunggu, kami tidak pernah melihat orang itu muncul meski dia menunggu setiap hari," teman lain menimpali.
Beberapa hari berlalu sejak pertemuan dirinya dengan Nayla saat wanita itu mengembalikan dompet miliknya, dan sejak saat itu jugalah ia tidak pernah menghubungi Nayla meski hatinya sangat ingin melakukannya.
Untuk kesekian kalinya Rory mendesah panjang, merasa drama kebetulan yang ia ciptakan gagal. Wanita yang ia tunggu bahkan tidak muncul meski dirinya sudah menunggu selama tiga jam.
Hingga akhirnya ia mendapatkan jawaban ketika akan pergi meninggalkan cafe. Mendengar dari beberapa wanita yang masuk ke dalam cafe membicarakan tentang Nayla yang tidak ke kantor selama lima hari.
'Jelas saja dia tidak ke cafe, dia bahkan tidak datang ke kantor. Apakah dia sakit?'
Rory berkata dalam benaknya dengan pikiran bercabang, pergi meninggalkan cafe setelah meletakkan lembaran uang di bawah cangkir miliknya tanpa menyentuh apa yang sudah ia pesan. Berencana untuk tiba di Bâtiment secepat mungkin.
.
.
.
"Ada apa lagi dengannya?"
Thomas bertanya dengan kerutan di dahi tepat setelah melihat Rory melewati mereka tanpa mengatakan apapun dimana mereka tengah duduk di ruang santai. Hal yang menjadi tanda bahwa Rory tidak ingin diganggu.
"Entahlah." Ethan menjawab sembari menaikan bahu.
"Sejauh yang ku ingat, dia bersikap aneh sejak dompetnya kembali," celetuk Nathan.
"Apakah ada kemungkinan dia masih kesal pada Martin?" tebak Ethan.
"Kurasa tidak," sahut Kevin.
"Pagi ini dia bergabung untuk sarapan bersama, dan Martin ada di sana," imbuhnya.
"Kau benar," sambut Thomas.
"Tapi ini sudah kelima kalinya dia keluar beberapa menit setelah sarapan dan kembali setelah jam makan siang. Dia sudah melakukan itu selama lima hari berturut-turut," imbuhnya.
"Apakah dia memikirkan lagu baru lagi?" tebak Nathan.
Mereka terdiam sejenak, merasa Rory bersikap aneh dan lebih memilih menghabiskan waktunya seorang diri di rooftop sembari bermain gitar, pria itu bahkan tidak peduli dengan udara dingin yang menyapu kulitnya
"Aku akan melihatnya sebentar." ucap Kevin seraya bangkit dari duduknya meninggalkan ruang santai.
Suara Kevin berhasil menghadirkan anggukan dari semua orang, memberikan waktu untuk dua bersaudara itu berbicara tanpa gangguan mereka. Sementara Kevin melangkahkan kakinya menuju rooftop hanya untuk melihat Rory duduk di kursi santai yang disediakan sembari memainkan gitar di tangannya.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Jo?" Kevin bertanya saat jarak antara dirinya dengan sang adik hanya beberapa langkah.
"Bukan apa-apa," jawab Rory.
"Apa kau masih marah pada Martin?" tanya Kevin lagi seraya melangkah mendekat.
"Tidak," jawab Rory singkat.
"Ucapan dan tindakanmu mengatakan hal yang berbeda, kau tahu?" sambut Kevin, lalu duduk di kursi yang berada di samping Rory.
"Aku tidak marah padanya, aku sadar dia bersikap demikian juga untuk kita. Dia hanya ingin bersikap hati-hati, tapi bukan berarti aku membenarkan tindakannya," jawab Rory.
"Apa kau ingat pertama kali kita memulai musik?" tanya Kevin melembut.
"Aku tidak mungkin melupakan itu, semua perjuangan kita hingga kita sampai ditahap ini, melakukan semuanya tanpa campur tangan Papa dan Mama, dan membuktikan pada semua orang bahwa kita bisa berdiri sendiri tanpa nama keluarga," jawab Rory.
"Dan Martin turut andil dalam hal ini, dari langkah pertama kita sampai saat ini," ucap Kevin Lagi.
"Aku tahu, aku juga tahu dia khawatir padaku. Aku hanya kesal kerena dia hanya melihat dari satu sudut saja," jawab Rory.
"Dia hanya tidak ingin hal yang sama kembali terulang, Jo," ucap Kevin.
"Aku tahu, dan aku juga janji masa lalu itu tidak akan terulang lagi," sahut Rory.
"Tapi?" tanya Kevin dengan alis terangkat saat melihat Rory tidak melanjutkan kalimatnya.
"Tapi aku kesal padanya ketika dia menilai rata semua orang," jawab Rory.
"Lalu, ada apa denganmu beberapa hari ini? apa kau sadar sikapmu sedikit aneh sejak lima hari terakhir?" tanya Kevin.
Rory terdiam, tidak bisa lagi menyembunyikan sesuatu jika ia berada di depan sang Kakak.
"Baiklah,aku akui itu, aku hanya keluar mencari inspirasi," ucap Rory segera membuang pandangan.
"Atau lebih tepat jika dikatakan orang yang kau sukai?" tebak Kevin.
Rory menoleh dengan gerakan cepat, membuat pandangan mereka kembali bertemu.
"Apa?" tanya Kevin dengan alis terangkat.
"Jangan kau pikir aku tidak menyadarinya, dasar bodoh!" ucap Kevin sembari menjitak kepala adiknya.
"Kau tahu? Sangat mengesalkan ketika aku tak bisa menyembunyikan apapun darimu." Rory menggerutu sambil mengusap kepalanya.
"Jika kau memang ingin menemuinya, kenapa tidak kau hubungi saja. Bukankah kau memiliki nomor ponselnya?"tanya Kevin.
"Percayalah, aku sangat ingin melakukannya," jawab Rory lalu terdiam.
"Tapi?" tanya Kevin.
"Aku ragu_,,, tidak,,, bukan ragu, lebih tepat jika ku katakan bahwa aku malu pada diriku sendiri jika aku mengingat dia membuang waktunya hanya untuk menungguku mencari dompet," ungkap Rory.
"Konyol!" geram Kevin menepuk dahinya sendiri.
"Jika kamu sebegitu khawatirnya akan hal itu, kamu hanya perlu mengatakan padanya dan minta maaf. Kalaupun kamu tidak ingin mengatakannya, dia bahkan tidak tahu kau pemilik dompet yang dia temukan bukan?" tanya Kevin.
"Itu_,,,,"
Rory gagal melanjutkan kalimatnya, terdiam tanpa suara, lalu menundukkan kepala menyadari apa yang dikatakan sang Kakak benar adanya.
"Ada cara yang lebih baik untuk menunjukan apa yang tidak bisa kau katakan tanpa terlihat seperti orang gila yang mencari seseorang tanpa tahu dimana dia disaat kamu bisa dengan mudah bertemu dengannya hanya dengan mengeluarkan keberanianmu. Sejak kapan kau jadi sepengecut ini?" ujar Kevin meninju lengan adiknya.
Rory meringis sembari mengusap pelan lengannya, merenungi setiap kata yang baru saja Kevin ucapkan.
"Terima kasih," ucap Rory pada akhirnya, lalu tersenyum.
"Kita kebawah! Jangan mengasingkan diri di sini yang akan membuat mereka salah paham." ajak Kevin mengulurkan tangannya pada Rory yang disambut dengan cepat disertai anggukan ringan.
...%%%%%%%%%%...
Gadis kecil itu memeluk tubuhnya sendiri kala hembusan angin dingin menerpa tubuhnya. Tubuhnya yang setengah basah seolah ingin memberitahukan bahwa halte yang menjadi tempat gadis itu berlindung dari tetesan air hujan malam hari tak cukup untuk melindungi tubuhnya dari hujan.
Dalam jarak beberapa meter, seseorang dengan jas hujan yang menutupi tubuh serta wajahnya melangkah mendekati gadis itu. Sepatu boot yang dia kenakan meinggalkan jejak tanah dari setiap langkah yang dia ambil, sementara satu tangannya menggenggam sesuatu.
Langkahnya kian mendekat tanpa gadis itu sadari, menghadirkan senyum tipis di bibir remaja laki-laki yang melangkah semakin dekat sampai gadis itu menoleh ketika jarak mereka hanya tinggal satu jangkauan.
. . . . .
. . . . .
To be continued...