WARNING ***
HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN!!!
Menjadi istri kedua bukanlah cita-cita seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun bernama Anastasia.
Ia rela menggadaikan harga diri dan rahimnya pada seorang wanita mandul demi membiayai pengobatan ayahnya.
Paras tampan menawan penuh pesona seorang Benedict Albert membuat Ana sering kali tergoda. Akankah Anastasia bertahan dalam tekanan dan sikap egois istri pertama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Ingin Pulang
Ana tersentak kaget mendengar penuturan Rosalie. Bagaimana bisa wanita itu bersikap begitu egois setelah membuatnya terjun dalam masalah seperti ini?
Bukankah Rosalie sendiri yang berjanji untuk membiayai seluruh pengobatan ayah Ana hingga tuntas? Mengapa kini wanita itu harus menuntut Ana melakukan sesuatu di luar kehendaknya?
"Kak, kau pikir aku tidak sedang berusaha? Aku tidak sedang bermain-main untuk segera mengandung anak yang kau idam-idamkan itu. Aku melakukan apapun yang kau inginkan, Kak!" seru Ana.
"Kau yakin sedang berusaha?" Rosalie balik bertanya. "Aku pikir kau hanya sedang memanfaatkan kesempatan, kau membuat dirimu tidak kunjung hamil agar lebih punya banyak waktu bersama suamiku," lanjutnya.
"Kami baru melakukannya sekali, Kak! Sekali!" sentak Ana. Gadis itu berjalan mendahului Rosalie dan keluar dari rumah sakit.
Ana pergi ke sebuah halte bus di sebrang jalan dan menghentikan taksi. Gadis itu merasa sedih sekaligus kesal, mengapa Rosalie bahkan tidak bisa melihat ketulusannya selama ini? Ana berusaha menjauhi Ben, menjaga perasaannya, memaklumi sikap egoisnya, namun Rosalie seakan tidak mengerti.
Ana menangis di dalam taksi. Jika bukan demi satu-satunya orang yang ia sayangi, Ana tidak akan pernah mau melakukan semua hal gila ini. Gadis itu sungguh tidak percaya, jika Rosalie akan mengancam menghentikan pengobatan untuk ayahnya.
Kembali ke rumah Rosalie bukanlah hal yang Ana inginkan saat ini. Gadis itu meminta sopir taksi untuk mengantarnya ke rumahnya sendiri, rumah yang baru ia tinggalkan beberapa jam yang lalu.
Setelah sampai, Ana masuk ke dalam rumah dengan perasaan kacau. Ia benar-benar khawatir, khawatir jika Rosalie berhenti membiayai pengobatan ayahnya.
Di saat gadis itu sedang menangis sendirian, ponselnya berdering. Nama dalam layar telepon itu membuat tangisnya terhenti seketika.
"Anastasia, apa kau sudah pulang?" tanya Ben dari sebrang telepon. Ana tidak menjawab, ia masih kesulitan menghentikan tangisannya.
"Apa kau menangis? Apakah terjadi sesuatu padamu?" tanya Ben lagi. Laki-laki itu mendengar suara isakan pelan.
"Aku ... baik-baik saja," jawab Ana.
"Aku tidak yakin. Katakan, ada apa?" desak Ben.
"Sepertinya aku tidak akan pulang hari ini. Mungkin besok atau lusa."
"Baiklah, itu tidak masalah. Lalu kenapa kau terdengar menangis? Katakan sesuatu padaku, Anastasia."
Ana tidak memberi jawaban, gadis itu memutuskan sambungan telepon secara sepihak tanpa ingin memberitahu Ben sesuatu. Ana tidak ingin membuat masalah di antara Ben dan Rosalie. Biarkan ini hanya anatara dirinya dan wanita itu.
***
Di kantor, Ben merasa tidak tenang. Ia baru saja menghadiri meeting bulanan perusahaan dan mendapatkan informasi tentang keuntungan perusahaan yang sangat pesat. Namun semua itu tidak membuatnya senang, suara tangis Ana dari sebrang telepon sangat menggangu suasana hatinya.
"Kenapa dia tidak pulang?" batin Ben bertanya-tanya. Laki-laki itu akhirnya melihat rekaman CCTV di rumahnya yang tersambung pada ponselnya. Ia resah mendapati Rosalie menarik lengan Ana dengan kasar saat gadis itu baru tiba beberapa jam lalu.
Daripada terus gelisah dan tidak tenang, Ben memutuskan untuk keluar dari kantor lebih awal. Laki-laki itu tidak memberitahu Rosalie, melainkan langsung bergegas menuju rumah Ana.
Sebelum pergi ke rumah Ana, Ben membeli beberapa makanan. Laki-laki itu tiba dengan cepat dan melihat rumah istri keduanya nampak sepi.
Tok ... Tok ... Tok ....
Ben mengetuk pintu kayu sambil berusaha mengintip di jendela kaca. Setelah lebih dari lima menit menunggu, Ana membukanya.
"Kanapa kau datang?" tanya Ana.
"Aku khawatir padamu," jawab Ben. "Ada apa?" tanya laki-laki itu sambil memaksa masuk ke dalam rumah.
"Sudah kubilang, aku baik-baik saja."
"Kau tidak terlihat seperti apa yang kau katakan, Anastasia. Kenapa kau tidak pulang?"
"Aku masih ingin di sini. Lagi pula jadwal masa suburku masih sekitar satu minggu lagi, aku akan pulang lusa," jawab Ana.
"Tapi kau menangis, pasti terjadi sesuatu," desak Ben. Raut wajah dan bekas air mata yang mengering di pipi Ana membuat Ben tidak mempercayai ucapan gadis itu.
"Sudahlah, lebih baik kau pulang. Aku khawatir Kak Rose akan tahu jika kau sering datang. Aku tidak ingin dia berpikir jika aku menghianatinya," pinta Ana.
"Tidak, aku akan di sini sampai malam." Ben menolak mentah-mentah permintaan Ana.
Ana terlalu lelah untuk terus berdebat dan memaksa suaminya pergi. Lagi pula, Ben berhak berada di manapun yang laki-laki itu sukai. Ana tidak bisa mengusirnya sesuka hati, Ben punya hak untuk tinggal.
Melihat Ana sedang tidak baik-baik saja, Ben mengeluarkan makanan yang sudah ia beli dan mengajak Ana makan bersama. Awalnya Ana menolak, namun karena ia harus mengkonsumsi obat dan berbagai vitamin, ia harus memaksakan diri makan teratur dan menjaga kesehatan.
"Maaf, aku mungkin tidak akan pernah bisa membawamu makan di luar, atau pergi berbelanja bersama," ujar Ben.
"Aku tidak menginginkannya," jawab Ana.
"Anastasia, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Ben. Ana mengangguk.
"Apa kau tahu bahwa leukimia tidak bisa disembuhkan?"
"Aku tahu."
"Lalu kenapa kau mengorbankan hidupmu hanya untuk sesuatu yang sia-sia?"
"Tidak ada yang sia-sia bagiku. Satu atau dua hari hidup ayahku lebih berharga dari diriku. Aku harus berusaha maksimal untuk pengobatannya, dengan begitu aku tidak akan menyesal saat kepergiannya. Ayah dan almarhum ibuku memberiku kehidupan yang bahagia, cinta yang sempurna dan sebuah keluarga, mereka memberikan segalanya pada anak malang yang terdampar di sebuah panti asuhan. Inilah caraku berterima kasih," ungkap Ana.
Ben terdiam saat melihat kedua mata gadis di depannya mulai berkaca-kaca. Ben sama sekali tidak tahu jika Ana hanya anak adopsi. Rosalie tidak pernah menceritakan apapun tentang keluarga Ana. Ben hanya tahu jika Ana adalah anak dari pelayan setia keluarga istrinya.
Laki-laki itu merasa bersalah telah lancang menanyakan tentang sesuatu yang sensitif terhadap perasaan Ana. Ia kini sadar, bahwa Ana benar-benar berhati mulia.
Setelah makan siang bersama, Ana segera mencuci piring mereka. Sementara Ben hanya berdiri dan menunggu istrinya menyelesaikan pekerjaannya.
"Kau pandai melakukan banyak hal. Kau sepertinya ahli dalam segala pekerjaan," puji Ben.
"Tapi aku tidak seberuntung Kak Rose," jawab Ana.
"Kau tahu, Anastasia. Keberuntungan bukan hanya soal sukses dan kekayaan. Terkadang keberuntungan itu datang dalam bentuk lain, misal keluarga yang bahagia, nikmat sehat dan banyak hal lainnya."
"Tentu, aku adalah wanita beruntung," gumam Ana. Gadis itu melirik Ben, mengenal laki-laki itu sudah termasuk keberuntungan dalam hidupnya. Meski Ana sadar bahwa keberuntungan ini hanya bersifat sementara.
Ben melihat Ana mengeluarkan kantong plastik dari tas lusuhnya. Gadis itu membawa air mineral dan meneguk beberapa obat serta vitamin sekaligus. Meski dalam hati Ana merasa enggan, namun ia tetap harus melakukannya.
"Boleh aku minta sesuatu?" tanya Ana pada Ben.
"Katakan."
"Bisakah kita lebih sering melakukannya tanpa menunggu masa suburku? Masa subur hanya perhitungan, dan itu bisa saja salah. Jika lebih sering kita melakukannya, maka peluang kehamilan akan semakin meningkat!"
"Apa aku tidak salah dengar?" tanya Ben.
🖤🖤🖤
karena tidak semua hal di dunia ini terwujud sesuai keinginan mu