Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Hari yang Ditunggu
Hari yang dinanti-nanti oleh Zahra dan Zidan akhirnya tiba. Semua persiapan telah dilakukan dengan penuh hati-hati. Mereka tak sabar menyambut momen besar dalam hidup mereka, momen yang akan mengubah segalanya. Dengan segala kerendahan hati, mereka menyambut hari pernikahan dengan penuh syukur.
Pagi itu, Zahra bangun lebih awal dari biasanya. Ia duduk sejenak di tepi tempat tidur, memejamkan mata, dan berdoa. “Ya Allah, bimbing kami dalam setiap langkah. Jadikan pernikahan ini penuh berkah, dan berikan kami kekuatan untuk saling menjaga satu sama lain. Aamiin.”
Hari itu juga, seluruh keluarga mulai sibuk dengan persiapan terakhir. Para tamu undangan sudah berdatangan, sementara di bagian belakang rumah, ibu dan beberapa tetangga sedang sibuk menyiapkan hidangan. Suasana penuh dengan tawa dan kesibukan, namun hati Zahra tetap tenang.
Zahra mengenakan gaun pengantin yang sederhana namun elegan, dengan sentuhan kain hijau yang melambangkan harapan dan kedamaian. Wajahnya terlihat cantik dengan riasan natural, meski ia tetap memilih untuk tidak berlebihan. Ia ingin tampil apa adanya, seperti yang selama ini diajarkan di pesantren, yaitu sederhana sederhana, namun penuh makna.
Ibunya memeluknya dengan hangat. “Anakku, hari ini adalah hari bahagiamu. Semoga segala yang kamu impikan tercapai bersama Zidan.”
Zahra tersenyum, sedikit terharu. “Terima kasih, Bu. Doakan saya bisa menjadi istri yang baik.”
Zidan dan keluarga tampaknya sudah tiba di lokasi. Suara shalawat terdengar mengiringi pengantin pria. Di dalam kamar, jantung Zahra tak berhenti berdetak. Menahan segala rasa, dimana sebentar lagi gelarnya akan berganti menjadi seorang istri.
“Aku nggak bisa percaya akhirnya hari ini datang,” bathin Zidan berkata, matanya tampak penuh harapan dan kebahagiaan.
Zidan sudah ditempatkan di ruang akad. Duduk berhadapan dengan calon ayah mertuanya. Di sampingnya ada seorang penghulu dan di sisi mereka ada dua orang saksi. Semua tampak memandang kearah Zidan. Lelaki itu tampak gugup. Bahkan sampai saat ini mereka masih tak percaya, bahwa wanita yang akan dinikahi oleh Gus Zidan adalah Zahra, wanita yang pernah menjadi santriwatinya di pesantren milik sang ayah.
Zahra di bawa ke ruang akad, ia tampak menundukkan kepala dan tak berani menatap calon suaminya. Suasana dalam ruangan itu begitu sakral. Ibu Zahra, berdiri di samping Zahra. Semua mata tertuju pada keduanya, namun Zahra merasa seakan-akan dunia seakan berhenti sejenak, saking geroginya di pandang karena ia benar-benar cantik hari itu.
“Kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya,” ucap penghulu, membuka prosesi pernikahan dengan lantang.
Zahra merasakan dadanya berdegup kencang. Sambil menundukkan kepala, ia mempersiapkan diri untuk mengucapkan janji suci. Di sisi lain, Zidan tampak tenang, matanya penuh keyakinan.
“Zahra, apakah kamu menerima Zidan sebagai suamimu, dengan mahar yang telah disepakati?” tanya penghulu.
Zahra menatap Zidan dengan penuh kepercayaan. “Saya terima dengan ikhlas.”
Dengan jawaban itu, Zidan tersenyum lebar, merasa lega. Begitu pula dengan keluarga besar mereka, yang ikut merasakan kebahagiaan ini.
Kemudian, Zidan mengucapkan ijab kabul dengan suara yang mantap, dan penghulu menyatakan mereka resmi menjadi suami istri. Suasana dalam ruangan itu semakin haru dengan tepuk tangan meriah dari keluarga dan tamu undangan. Zahra merasa bahagia sekaligus terharu. Akhirnya, ia bisa memulai kehidupan baru yang penuh tantangan bersama orang yang ia cintai.
Setelah akad, mereka melanjutkan dengan acara resepsi yang sederhana, penuh kehangatan. Meskipun banyak tamu yang datang, atmosfernya tetap intim dan penuh kedamaian. Mereka merayakan bukan hanya pernikahan, tetapi juga rasa syukur atas perjalanan panjang yang telah mereka lalui bersama.
Selama acara, Zahra dan Zidan sesekali bertemu pandang, saling memberi senyuman hangat. Mereka sadar bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang yang penuh liku. Namun dengan ketulusan cinta, doa, dan niat yang tulus, mereka yakin bisa melewati setiap tantangan yang datang.
Setelah resepsi selesai, mereka berdua pulang ke rumah Zidan, yang telah dipersiapkan sebagai tempat tinggal mereka. Rumah itu sederhana, namun penuh dengan harapan dan impian. Tidak ada yang mewah, namun segala sesuatunya terasa penuh makna. Mereka akan memulai kehidupan baru di sini, sebagai pasangan suami istri.
Zahra duduk di sofa, masih terpesona dengan kenyataan bahwa ia kini sudah menjadi istri Zidan. Ia memandang Zidan, yang sedang mempersiapkan teh hangat untuk mereka berdua. Wajah Zidan tampak lebih dewasa malam ini, lebih matang, seolah segala tanggung jawab yang kini ia emban menjadikannya semakin kuat.
Zidan duduk di samping Zahra, menyodorkan secangkir teh. “Bagaimana, Zahra? Hari ini terasa seperti mimpi, ya?”
Zahra menerima teh tersebut, sambil tersenyum. “Iya, Gus. Saya masih nggak percaya semua ini terjadi begitu cepat.”
Zidan menatapnya dengan penuh kasih sayang. “In syaa Allah, ini adalah perjalanan terbaik bagi kita berdua. Aku janji akan selalu menjaga kamu, Zahra.”
Zahra mengangguk, merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Zidan. Ia tahu perjalanan ini tidak akan selalu mulus, tetapi dengan keyakinan dan doa, mereka akan mampu melewatinya bersama.
Malam itu, mereka berbicara tentang masa depan, tentang harapan-harapan yang ingin mereka capai bersama. Sambil menikmati teh hangat, mereka merasa lebih dekat satu sama lain, lebih siap untuk menghadapi kehidupan baru mereka.
Perjalanan mereka baru saja dimulai. Meskipun dihadapkan dengan banyak hal baru dan tantangan, Zahra dan Zidan yakin bahwa dengan cinta, ketulusan, dan doa, mereka akan mampu menjalani setiap hari dengan penuh kebahagiaan.
Hari itu adalah titik awal dari perjalanan panjang mereka, perjalanan yang penuh dengan mimpi dan harapan, yang hanya bisa diwujudkan dengan kerja keras, kesabaran, dan saling mendukung.
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??