Cerita ini mengikuti kehidupan Keisha, seorang remaja Gen Z yang sedang menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Ia terjebak di antara cinta, persahabatan, dan harapan keluarganya untuk masa depan yang lebih baik. Dengan karakter yang relatable dan situasi yang sering dihadapi oleh generasi muda saat ini, kisah ini menggambarkan perjalanan Keisha dalam menemukan jati diri dan pilihan hidup yang akan membentuk masa depannya. Ditemani sahabatnya, Naya, dan dua cowok yang terlibat dalam hidupnya, Bimo dan Dimas, Keisha harus berjuang untuk menemukan kebahagiaan sejati di tengah kebisingan dunia modern yang dipenuhi tekanan dari berbagai sisi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sasyaaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semangat Baru
Malam itu, Keisha pulang dengan perasaan campur aduk. Raka mengantar hingga ke depan rumah, memastikan dia merasa aman sebelum melanjutkan perjalanan ke rumahnya sendiri. Keisha melirik ke arah Raka, merasakan kehangatan dalam pandangannya.
“Rak, terima kasih sudah mau nemenin. Gue... senang bisa jujur sama lo. Mudah-mudahan semuanya baik-baik saja,” katanya sambil mengatur napas.
“Gue juga, Keish. Apapun yang terjadi, gue bakal ada buat lo. Ingat itu,” jawab Raka, memberikan senyum meyakinkan sebelum berbalik pergi.
Setelah sampai di rumah, Keisha mendapati ibunya sudah menunggu di ruang tamu. Wajah ibunya tampak tegang dan serius. Keisha merasakan ketegangan di udara.
“Ibu, ada apa?” tanya Keisha sambil duduk di sofa.
“Ibu mau bicara tentang rencana masa depanmu, Keisha. Kita perlu membicarakan pilihan kuliahmu,” ujar ibunya tanpa basa-basi.
“Rencana kuliah? Ibu, kan gue udah bilang mau masuk fakultas yang sama dengan Raka? Itu impian gue,” jawab Keisha, sedikit defensif.
“Ibu tahu, tapi... ada beberapa hal yang harus kita pertimbangkan,” kata ibunya, menghela napas panjang. “Kita tidak bisa mengandalkan Raka terus. Apa jadinya kalau dia tidak bisa membantumu lagi?”
Keisha merasakan kemarahan yang tidak bisa ia bendung. “Ibu, Raka bukan hanya teman, dia juga bagian dari hidup gue! Kenapa Ibu selalu melihat semuanya dari sisi yang negatif?”
Ibunya terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri. “Keisha, ini untuk kebaikanmu. Ibu hanya ingin yang terbaik. Raka mungkin tidak selalu bisa ada untukmu. Dan... kita juga harus memikirkan biaya kuliah. Kita tidak punya banyak.”
“Jadi, Ibu mau gue kuliah di tempat yang Ibu pilih, hanya karena alasan biaya?” Keisha berdiri, merasa frustrasi. “Gue nggak mau kehilangan impian gue hanya karena itu!”
“Kita tidak bisa terus berharap, Keisha. Hidup itu sulit, dan kadang kita harus membuat keputusan yang tidak kita inginkan. Ibu ingin agar kamu sukses,” balas ibunya dengan nada yang lembut namun tegas.
Keisha menatap ibunya, jantungnya berdebar. “Sukses dengan cara apa, Bu? Hidup ini bukan hanya tentang uang! Itu tentang bahagia dan mengejar impian!”
Sambil berusaha menahan air matanya, Keisha melangkah ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Dia merasa terjebak antara apa yang diinginkan ibunya dan apa yang diinginkannya sendiri.
Sementara itu, Raka pulang ke rumah dengan perasaan yang campur aduk setelah mengantar Keisha. Ia khawatir tentang apa yang mungkin terjadi antara Keisha dan ibunya. Raka membuka pesan dari Keisha, berharap untuk mendapatkan kabar baik.
Keisha: “Rak, ada masalah di rumah. Ibu pengen gue kuliah di tempat yang jauh dari lo. Gue butuh waktu buat mikirin ini.”
Raka merasakan dadanya sesak. Dia tahu ini bukan hanya soal kuliah, tetapi tentang impian dan harapan Keisha. Dia segera membalas.
Raka: “Keish, kita bisa atur semuanya bareng-bareng. Jangan biarkan keputusan orang lain mempengaruhi impianmu. Kita pasti bisa.”
Setelah beberapa menit, Keisha membalas.
Keisha: “Gue tahu, Rak. Tapi semua ini bikin gue bingung. Ibu pengen yang terbaik, tapi gue juga mau mengejar apa yang gue impikan.”
Raka merasa perlu memberikan dukungan lebih kepada Keisha. Dia memutuskan untuk datang ke rumahnya keesokan harinya.
---
Keesokan harinya, Raka tiba di depan rumah Keisha. Dia melihat Keisha duduk di teras, wajahnya terlihat murung. Raka melangkah mendekat, dan Keisha langsung berdiri menyambutnya.
“Rak, maaf kalau gue nggak bisa fokus belajar. Ini semua bikin gue pusing,” keluh Keisha, berusaha tersenyum.
“Nggak masalah, Keish. Justru gue mau datang ke sini untuk membantu lo,” kata Raka, berusaha mencairkan suasana. “Ayo, kita cari solusi bareng. Lo jangan sendirian dalam hal ini.”
Keisha mengangguk, merasa sedikit lebih baik. “Gue pengen ngobrol tentang ini, Rak. Ibu berkeras mau gue kuliah di tempat lain. Tapi gue juga nggak mau kehilangan kesempatan bersama lo.”
Raka meraih tangan Keisha, mengusap punggung tangannya. “Kita bisa bikin rencana. Coba bicarakan sama Ibumu. Kalo perlu, gue bisa bantu menjelaskan. Kita bisa tunjukkan betapa seriusnya kita soal ini.”
Keisha menatap Raka, melihat ketulusan dalam matanya. “Lo yakin mau bantuin gue?”
“Pastinya. Kita kan tim, Keish. Dan gue percaya sama kemampuan lo,” jawab Raka dengan tegas. “Kalau lo mau, kita bisa bikin proposal untuk Ibumu. Jelasin semua alasan kenapa kuliah di sana itu penting buat kita.”
Setelah beberapa menit berdiskusi, mereka merancang rencana untuk menghadap ibunya. Keisha merasa lebih bersemangat dan percaya diri. Raka dan Keisha berdua bekerja sama, merangkai argumen yang akan membantu meyakinkan ibunya.
Saat mereka kembali ke dalam rumah Keisha, suasana masih tegang. Keisha menghela napas, “Semoga ini berhasil.”
Raka mengangguk, memberikan senyuman menenangkan. “Apapun yang terjadi, kita hadapi ini bareng-bareng.”
Keisha melangkah mendekati ibunya, yang sedang berada di dapur. “Bu, ada yang mau gue bicarakan.”
Ibunya menoleh, terlihat sedikit terkejut. “Ada apa, Keisha?”
“Gue dan Raka sudah bikin rencana. Kita mau jelasin kenapa kuliah di tempat yang sama itu penting buat kita berdua,” ujar Keisha dengan tegas, melihat Raka memberikan anggukan dukungan di belakangnya.
Ibunya terlihat ragu, tapi tetap memberikan kesempatan. “Baiklah. Ayo, bicara.”
Keisha dan Raka duduk di depan ibunya, menjelaskan dengan penuh keyakinan. Mereka memaparkan impian dan rencana masa depan mereka, serta bagaimana mereka saling mendukung untuk mencapai tujuan itu. Raka bahkan menyebutkan beberapa informasi mengenai biaya dan bagaimana mereka bisa mengatur semuanya.
Setelah mendengarkan dengan seksama, ibunya terdiam sejenak. “Ini semua terdengar baik, tapi...”
Keisha merasa jantungnya berdebar, menunggu keputusan ibunya.
“Tapi,” lanjut ibunya, “saya tetap ingin melihat kalian berdua punya rencana yang jelas dan realistis. Kalian masih muda, dan kadang ambisi bisa menipu.”
Raka mengangguk, berusaha untuk tidak terlihat gugup. “Kami paham, Bu. Tapi kami sudah memikirkan ini matang-matang. Kami siap kerja keras untuk mencapai impian kami.”
Akhirnya, ibunya tersenyum, terlihat lebih tenang. “Saya menghargai usaha kalian. Mari kita bicarakan lebih lanjut tentang ini dan cari solusi terbaik untuk semua pihak.”
Keisha merasakan beban berat yang terangkat dari dadanya. Dia merasa lega karena ibunya mau mendengarkan. Dia menatap Raka dan tersenyum. Mereka berdua tahu ini baru awal dari perjalanan panjang mereka, tetapi mereka tidak lagi merasa sendirian. Mereka berkomitmen untuk menghadapi setiap rintangan bersama.
---
Setelah pertemuan itu, Keisha dan Raka melanjutkan hari mereka dengan semangat baru. Keisha merasa optimis tentang masa depannya, dan kehadiran Raka di sampingnya memberinya kekuatan.
“Tahu nggak, Rak? Gue merasa lebih ringan setelah ngomong sama Ibu,” kata Keisha saat mereka berjalan pulang dari kafe.
“Gue senang lo bisa jujur, Keish. Itu langkah penting. Sekarang kita bisa fokus lagi buat persiapan tes,” balas Raka, bersemangat.
Tapi di tengah kebahagiaan mereka, Keisha tidak bisa menahan perasaan dalam hatinya. Dia tahu perjalanan mereka belum sepenuhnya mulus. Masih ada tantangan yang menunggu, dan dia harus siap menghadapi semuanya.
Seiring berjalannya waktu, Keisha dan Raka semakin sering menghabiskan waktu bersama, berlatih untuk ujian dan merencanakan masa depan mereka. Raka berusaha mendukung Keisha di setiap langkah, tetapi di balik kebahagiaan mereka, Keisha merasakan tekanan dari ibunya yang tidak sepenuhnya yakin akan pilihan mereka.
Suatu sore, saat mereka sedang belajar di taman, Keisha memutuskan untuk berbagi perasaannya.
“Rak, kadang gue masih merasa nggak enak sama Ibu. Dia sepertinya belum sepenuhnya mendukung keputusan kita,” kata Keisha, menatap rumput di bawahnya.
“Gue tahu. Tapi lo udah melakukan yang terbaik, Keish. Dia perlu waktu untuk memahami apa yang lo mau. Jangan sampai lo merasa bersalah,” Raka menjawab, berusaha memberikan semangat.
“Gue hanya berharap bisa membuat dia bangga. Tapi kadang, impian kita terasa berat,” Keisha berkata, suaranya lirih. “Apa lo pernah ngerasain hal yang sama?”
Raka mengangguk. “Tentu. Kadang, lo merasa terjebak antara harapan orang tua dan keinginan diri sendiri. Tapi, itu hal yang wajar. Yang penting adalah lo tetap percaya pada diri lo sendiri.”
Keisha menatap Raka, merasakan ketulusan dalam kata-katanya. “Thanks, Rak. Lo selalu bisa bikin gue merasa lebih baik.”
Raka tersenyum. “Kita satu tim. Lo dan gue bisa melalui ini bareng-bareng.”
Malam itu, saat Keisha kembali ke rumah, suasana terasa lebih ringan. Namun, saat ia melihat ibunya duduk di sofa dengan wajah serius, rasa cemasnya kembali muncul.
“Keisha, kita perlu bicarakan tentang rencana kuliahmu,” kata ibunya saat Keisha mendekat.
“Iya, Bu. Tentang itu… Gue dan Raka sudah merencanakan beberapa hal,” jawab Keisha, berusaha bersikap tenang.
“Gue menghargai usaha kalian, tapi ibu masih ragu. Apa kalian sudah memikirkan kemungkinan kalau rencana ini tidak berjalan sesuai harapan?” tanya ibunya, tampak khawatir.
“Bu, kami sudah mempersiapkan diri. Kami berencana untuk bekerja sambil kuliah, dan kami sudah membuat rencana cadangan,” Keisha menjelaskan, berusaha meyakinkan ibunya.
“Gue tahu lo mau yang terbaik, Bu. Tapi ini adalah kesempatan yang penting buat kami. Gue ingin menjadi mandiri dan mengejar impian gue,” lanjut Keisha dengan penuh keyakinan.
Ibunya terdiam sejenak, kemudian menghela napas. “Keisha, ibu hanya ingin memastikan bahwa kamu tidak akan terbebani. Kadang, impian itu mahal.”
Keisha merasa ada harapan di balik kekhawatiran ibunya. “Bu, gue janji akan berusaha sekuat tenaga. Dan lo nggak perlu khawatir, Raka selalu ada untuk mendukung gue.”
Tiba-tiba, suara bel rumah berbunyi. Raka muncul di pintu, terlihat sedikit gugup. “Eh, selamat malam, Bu. Maaf tiba-tiba datang. Gue cuma mau memastikan kalau Keisha baik-baik saja.”
Ibu Keisha menatap Raka, dan Keisha bisa merasakan ketegangan di udara. “Kau datang di saat yang tepat, Raka. Kita baru saja membicarakan rencana kuliah Keisha.”
“Raka, ini sangat penting. Apakah kau dan Keisha sudah benar-benar memikirkan semua kemungkinan?” tanya ibunya dengan nada serius.
Raka mengangguk. “Iya, Bu. Kami sudah membahasnya secara mendalam. Kami ingin membuktikan bahwa kami bisa sukses dengan cara kami sendiri.”
Ibunya mengamati Raka, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Gue ingin kalian berdua memahami betapa beratnya tanggung jawab ini. Ibu tidak ingin melihat Keisha menderita.”
Keisha merasa jantungnya berdebar. “Ibu, gue tahu ini berat, tapi kita bisa melakukannya. Raka dan gue saling mendukung. Dan kami ingin membuat ibu bangga.”
Raka mengangguk setuju. “Kami akan berusaha sekuat tenaga. Kami ingin membuktikan bahwa kami bisa sukses, Bu.”
Setelah suasana hening beberapa saat, ibunya menghela napas dan berkata, “Baiklah, jika kalian yakin bisa melalui ini, maka Ibu akan mendukung keputusan kalian. Tapi jangan lupakan tanggung jawab yang harus kalian hadapi.”
Keisha merasakan beban berat terangkat dari bahunya. Dia berterima kasih kepada ibunya, merasa lebih tenang.
“Terima kasih, Bu! Kita pasti bisa melakukannya!” seru Keisha, senyumnya lebar.
Setelah itu, Raka dan Keisha pergi keluar untuk merayakan momen tersebut. Mereka berjalan di bawah cahaya bulan, berbincang tentang rencana kuliah dan impian masa depan.
“Rak, lo tahu nggak, gue merasa semuanya akan baik-baik saja,” kata Keisha, senyum sumringah di wajahnya.
“Gue percaya sama lo, Keish. Kita bisa melalui semua ini,” jawab Raka, menatap Keisha dengan tulus.
Saat mereka melangkah maju, Keisha menyadari bahwa perjalanan mereka masih panjang. Masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi, tetapi dengan Raka di sampingnya, dia merasa siap menghadapi apapun.
---
Namun, tantangan itu datang lebih cepat dari yang mereka bayangkan. Beberapa minggu kemudian, saat mereka sedang belajar di kafe favorit mereka, Keisha menerima pesan dari temannya, Nadia.
Nadia: “Keisha! Lo tahu berita tentang universitas itu? Ada kemungkinan biaya kuliah naik!”
Keisha langsung gelisah. “Apa? Serius, Nad?”
Nadia: “Iya, banyak yang bilang begitu. Lo harus cek!”
Keisha segera memberitahu Raka tentang berita itu. “Rak, lo sudah dengar? Biaya kuliah mungkin naik! Ini bisa jadi masalah besar buat kita.”
Raka terlihat khawatir. “Kita harus cari tahu lebih lanjut. Mungkin kita bisa mencari bantuan beasiswa atau mencari pekerjaan paruh waktu lebih awal.”
Keisha mengangguk. “Tapi itu berarti kita harus bekerja lebih keras. Gimana kalau kita tidak bisa mengatur semuanya?”
“Lo tahu apa yang mereka bilang, Keish. Kalau kita mau sukses, kita harus berjuang. Kita akan atur waktunya. Kita bisa melakukannya bareng-bareng,” Raka menjawab, berusaha menghibur Keisha.
Namun, Keisha merasa beban baru menghimpitnya. “Tapi, Rak, kadang gue ngerasa kayak kita nggak siap. Ibu juga pasti khawatir kalau biaya naik.”
“Jangan khawatir. Kita akan bicarakan semuanya dengan Ibumu. Kita harus terbuka,” Raka menegaskan.
Hari berikutnya, mereka mengatur pertemuan dengan ibu Keisha untuk mendiskusikan rencana mereka. Keisha merasa campur aduk, antara harapan dan ketakutan.
---
Saat mereka duduk bersama di ruang tamu, Keisha mencoba memulai pembicaraan. “Bu, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Tadi gue dapet info kalau biaya kuliah mungkin naik.”
Ibu Keisha tampak serius, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Itu masalah besar. Apa kalian sudah memikirkan solusi?”
Keisha menatap Raka, yang memberikan anggukan penyemangat. “Kita mau mencari tahu tentang beasiswa dan pekerjaan paruh waktu, Bu. Kita ingin tetap melanjutkan kuliah tanpa membebani ibu.”
“Ibu menghargai usaha kalian. Tapi, jangan sampai kalian mengambil keputusan terburu-buru. Pendidikan itu penting,” ibunya menjawab, terlihat cemas.
“Gue tahu, Bu. Itu sebabnya kita ingin mencari solusi sebelum semua terlambat,” kata Keisha.
Ibu Keisha mengangguk, tetapi Keisha bisa melihat kekhawatiran di matanya. “Baiklah, kita akan cari jalan keluarnya bersama-sama. Yang penting, kamu jangan sampai merasa tertekan.”
“Terima kasih, Bu. Kita akan berusaha sekuat tenaga!” Keisha merasa sedikit lega setelah percakapan itu.
Setelah diskusi, Keisha dan Raka keluar dari rumah, dan Keisha merasakan kekuatan baru. “Rak, kita harus bisa melewati ini. Kita tidak sendirian.”
Raka tersenyum. “Betul. Kita sudah berkomitmen untuk ini, dan kita akan melakukannya. Kita pasti bisa!”
Dengan semangat baru, mereka bertekad untuk mencari informasi lebih lanjut tentang beasiswa dan peluang kerja. Keisha merasa percaya diri, tetapi di sisi lain, ketakutan akan masa depan masih membayangi. Dia tahu bahwa pertempuran mereka baru saja dimulai, dan mereka harus siap menghadapi segala rintangan yang akan datang.