Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta Selamatan Penyambutan Asrul
Zeus menjelaskan. "Lucifer adalah saudara seperguruan Malik, pengawal ratu Pulau Es Utara. Malik pernah diselamatkan oleh Bion ketika penggrebekan kerajaan Iblis yang dilakukan oleh kerajaan Pulau Es Utara. Pada saat itu yang memimpin penggrebekan adalah Bion sendiri. Oleh karena itu Malik telah berjanji kepada Bion untuk mengabdi kepada kerajaan Pulau Es Utara dan hingga saat ini Malik menjabat sebagai pengawal ratu Pulau Es Utara."
Jenderal Usman menanggapi. "Sungguh rumit keadaan pejabat kerajaan Pulau Es Utara. Banyak pejabatnya memiliki peluang yang besar untuk memberontak."
Asrul menambahkan. "Maka dari itu tadi saya katakan agar kalian kudu ekstra hati-hati jika sedang berurusan dengan Bion."
Jenderal Usman menanggapi. "Berarti kejadian di perbatasan yang hampir merenggut nyawaku, itu semua dalangnya adalah Bion?"
Asrul menjawab. "Aku telah tertidur puluhan tahun di jurang neraka. Selama itu, banyak wajah baru yang berperan di segala negeri. Bagaimana bisa aku mencurigakan seseorang?"
Setelah suasana hening beberapa saat, kemudian datang seorang prajurit melaporkan berita bahwa Jenderal Umar telah menyebarkan undangan. Beliau meminta kepada Khalifah Taimiyah untuk mengadakan acara selamatan penyambutan Asrul.
"Lapor Panglima. Saya diperintahkan oleh Jenderal Umar untuk menyampaikan pesan kepada Panglima bahwa besok di istana akan dilaksanakan pesta Selamatan Penyambutan Panglima."
Asrul menjawab. "Terimakasih atas laporannya. Engkau boleh kembali."
Berita ini membuat Jenderal Ali merasa khawatir. Kemungkinan besar akan terjadi peristiwa yang mengakibatkan kekacauan. Bagaimana tidak, acara tersebut tentunya akan dihadiri oleh seluruh pemuka padepokan. Baik padepokan aliran putih, padepokan aliran netral maupun padepokan aliran hitam. Biasanya kekacauan terjadi karena perdebatan politik yang saling menjatuhkan.
"Siasat apa yang akan dilakukan oleh Jenderal Umar? Aku yakin bahwa dia selalu berusaha untuk menjatuhkan Panglima."
Asrul menanggapi. "Apa yang bisa Jenderal Umar lakukan?"
"Ya. Memang benar. Jika kita bertarung dengannya, tentu saja kita tidak takut. Yang aku khawatirkan adalah jika Jenderal Umar melakukan perbuatan licik atau memfitnah Panglima."
Asrul menjawab. "Yang akan terjadi, terjadilah."
"Panglima, kita tidak harus mengikuti kemauan mereka. Katakan saja kepada mereka bahwa engkau belum pulih dan masih membutuhkan pengobatan."
Asrul tersenyum. "Yang akan terjadi lambat laun pasti akan terjadi. Kita lihat saja apa yang akan terjadi."
Keesokan harinya, acara selamatan tersebut dimulai. Beberapa tamu undangan mulai berdatangan, bahkan Winston dari Padepokan Surga Terbakar juga hadir.
Dua orang tamu undangan mulai membicarakan tentang Asrul. "Sungguh, ilmu berkholwat Panglima sangat tinggi. Sekarang kita bisa kembali melihat Panglima Jenderal Asrul setelah dua puluh tahun tidak ada kabarnya."
Jenderal Umar datang bersama para pengikutnya. Jenderal Umar melihat ibunya Abu Jahal, Sa'diyah bersama Jenderal Kan'an telah berada di aula utama. "Salam ibunda keluarga Jahal. Sudah lama kita tidak berjumpa."
Sa'diyah hanya mengangguk dan tersenyum.
Tidak lama kemudian Asrul bersama Jenderal Ali memasuki aula. Mereka tidak bersama Siti Adawiyah, karena Siti Adawiyah masih sibuk di kamarnya mencari liontin.
Asrul memberi hormat kepada Sa'diyah. "Salam ibunda."
Sa'diyah hanya mengangguk.
Siti Adawiyah masih sibuk di kamarnya mencari liontin. Hari ini adalah hari yang ke sepuluh dia berada di istana negeri akhirat. Berarti hari ini Siti Adawiyah harus menyerahkan liontin itu kepada Asrul atau jika tidak maka Siti Adawiyah terpaksa harus diserahkan kepada Jenderal Umar.
Surti menegur Siti Adawiyah. "Siti! Ngapain kamu masih mencari liontin itu? Sungguh tidak berguna! Sekarang engkau bawa obat ini, berikan kepada Panglima."
Siti Adawiyah terdiam. Memberikan obat kepada Asrul adalah tugasnya. Mengapa Surti mengingatkan untuk memberikan obat kepada Asrul? Memangnya Asrul sedang berada dimana?.
"Memangnya Panglima sekarang berada dimana?"
Surti terlihat kesal. "Tentu saja Panglima sekarang sedang di aula utama. Apakah engkau lupa bahwa hari ini adalah hari acara selamatan penyambutan Panglima?"
Siti Adawiyah buru-buru mempersiapkan diri untuk menyusul Asrul. Setibanya di aula utama, ternyata Khalifah Taimiyah baru datang. Terpaksa Siti Adawiyah duduk bersama rombongan tamu.
Siti Adawiyah duduk disebelah seorang wanita yang ternyata wanita itu adalah adik seperguruan Zeus. Nama wanita itu adalah Mirna.
"Nona, lihatlah Panglima Jenderal Asrul. Beliau terlihat sangat gagah, walaupun telah tertidur selama dua puluh tahun di jurang neraka. Panglima Jenderal Asrul adalah idolaku sejak dulu."
Siti Adawiyah terlihat gelisah karena sulit untuk memberikan obat kepada Asrul. Mirna yang melihat Siti Adawiyah gelisah, menegurnya.
"Nona, aku tidak heran melihatmu begitu histeris memandang Panglima. Awalnya aku juga sepertimu. Tapi setelah aku mengetahui bahwa Panglima orangnya tidak menyukai percintaan, aku berusaha menahan rasa penasaranku..."
Ketika Mirna terus berceloteh, dilihatnya Siti Adawiyah berdiri dan berjalan menuju Asrul. Mirna hanya bisa bengong.
Siti Adawiyah mendekati Asrul dan memberikan obat.
"Panglima, makan dulu obat ini."
Asrul terkejut melihat kedatangan Siti Adawiyah. "Kenapa engkau kemari? Ayo cepat kembali ke tempat duduk kamu!"
Siti Adawiyah bersikeras untuk tetap bersama Asrul. "Tidak bisa! Aku harus memastikan kesehatan Panglima."
Untuk menghindari perhatian dari para tamu yang hadir, Asrul membiarkan Siti Adawiyah duduk disebelahnya.
Jenderal Umar sebagai pelaksana acara selamatan penyambutan, berdiri dan berjalan menghadap Khalifah Taimiyah.
"Salam hormat Khalifah. Negeri Akhirat sangat beruntung telah diberkati dengan kembalinya Panglima Jenderal Asrul. Ada satu lagi yang ingin saya sampaikan. Negeri Akhirat kembali memperoleh keberuntungan dengan mendapatkan kembali pusaka yang telah lama hilang saat tragedi peperangan antara negeri akhirat dengan pasukan bangsa Iblis. Pusaka ini saya peroleh dari penasehat kerajaan Pulau Es Utara. Jenderal Usman, bawa kemari pusaka itu."
Jenderal Usman memberikan sebuah kotak kayu kepada Jenderal Umar dan langsung Jenderal Umar serahkan kepada Khalifah Taimiyah.
Khalifah Taimiyah memperhatikan dengan seksama barang yang berada didalam kotak kayu tersebut.
"Apakah ini Jarum Penusuk Jantung?"
Jenderal Umar menjawab. "Iya Khalifah. Pusaka ini adalah milik seorang Jenderal di negeri akhirat. Panglima Asrul, apakah engkau mengenal pusaka ini?"
Jenderal Umar menunjukkan Jarum Penusuk Jantung itu kepada Asrul.
Asrul memperhatikan sekilas. "Tentu saja aku mengenalnya. Ini adalah pusaka milik Jenderal Abu Jahal."
Lalu Jarum Penusuk Jantung itu diberikan oleh Jenderal Umar kepada Sa'diyah. "Ibunda, apakah ini pusaka milik Abu Jahal?"
Sa'diyah tidak berkata apa-apa, tetapi Jenderal Kan'an yang berada disebelah Sa'diyah segera menjawab. "Ini adalah Jarum Penusuk Jantung milik kakakku."
Setelah mendengar anaknya mengatakan bahwa Jarum Penusuk Jantung itu milik Abu Jahal, Sa'diyah merasa gembira dan menyentuh Jarum Penusuk Jantung itu.
Tanpa diduga oleh siapapun, ternyata setelah Sa'diyah menyentuh Jarum Penusuk Jantung itu, tiba-tiba Jarum Penusuk Jantung itu bergerak perlahan dan kemudian gerakannya semakin cepat, terbang keatas dan melesat menuju Khalifah Taimiyah