Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29 : berita yang membuat tiara kaget
Di dalam rumah Bu Ami yang sederhana, suasana begitu hangat saat Tiara, Putri, dan Raka berkumpul bersama di ruang tamu. Mereka menikmati momen langka bersama keluarga, menonton acara FTV yang mengundang tawa ringan. Sejenak, ketiganya terhanyut dalam kisah layar kaca yang sederhana namun menghibur. Di sela keheningan iklan, tiba-tiba wajah serius seorang presenter berita memenuhi layar televisi, membuat suasana berubah drastis.
“Berita terbaru, terjadi kebakaran hebat di gudang tua yang berlokasi di tengah hutan milik Budi Adrajaya Suherman, seorang pemilik perkebunan teh sekaligus juragan sapi terkemuka di daerah ini…”
Mata Tiara dan Putri melebar, mereka saling bertukar pandang dengan cemas. Gudang yang disebutkan itu adalah tempat mereka pernah disekap oleh Pak Mike, seorang pria yang hingga kini masih membuat hati mereka berdebar takut saat mengingatnya.
Presenter berita melanjutkan, “Menurut informasi sementara, kebakaran ini disebabkan korsleting listrik. Namun, polisi juga menemukan ratusan dus minuman beralkohol ilegal dan narkotika jenis sabu yang tertimbun di reruntuhan sisa kebakaran. Kerugian diperkirakan mencapai miliaran rupiah.”
Putri memandang Tiara, suara pelannya penuh kecemasan. “Ra… itu kan tempat kita waktu itu, ya?” suaranya serak, matanya berkaca-kaca.
“Iya, Put. Tapi… siapa yang bakar?” jawab Tiara sambil menatap layar dengan penuh tanya.
Putri menggigit bibir, jelas ketakutan. “Aku takut, Ra… kalau Pak Mike mikir kita yang bakar gudangnya…”
Raka, yang dari tadi diam dan mendengarkan, tiba-tiba menyuarakan pikirannya, “Aku yakin ini pasti kerjaannya Pak Arif.”
Kata-kata Raka membuat Tiara dan Putri memandangnya tak percaya.
“Raka, jangan asal ngomong. Pak Arif kan pulang bareng kita waktu itu,” sanggah Tiara, mencoba menepis rasa khawatir yang muncul di benaknya.
Namun, Raka tak bergeming. Tatapannya tetap serius. “Dengerin aku, Kak. Pak Arif bilang waktu itu dia mau ke minimarket. Tapi aneh kan kalau cuma ke minimarket, kok sampai nggak balik-balik?”
Putri mengangguk pelan, pertanyaan yang sama muncul di benaknya. “Bener juga, tapi… kalau gitu, apa benar Pak Arif sengaja buat gudang itu terbakar?”
Raka mengangkat bahu, matanya menerawang seolah berusaha mengingat sesuatu. “Mungkin bukan dia yang lakuin sendiri, tapi ada yang bantuin dia.”
Tiara menatap Raka, kebingungan. “Siapa yang kamu maksud ?”
Dengan suara pelan, hampir berbisik, Raka menjawab, “Kak Mayang dan Kak Selly.”
Putri langsung menoleh pada Tiara, matanya membesar. “Ra, kamu pernah curiga nggak? Kak Mayang sama Kak Selly kan sering jaga jarak dari kita? Mereka kayaknya selalu punya urusan sendiri.”
Tiara tertegun, mencoba mengingat tingkah laku kedua temannya itu selama ini. Memang ada beberapa hal yang aneh, terutama cara Kak Mayang membawa diri. Dia terlihat lebih tangguh, tak seperti pekerja angkringan biasa. “Tapi, Raka, kalau benar mereka agen atau semacamnya, kenapa nggak langsung nangkap Pak Mike?”
Raka menggeleng pelan, lalu menatap Tiara dan Putri bergantian, “Mungkin mereka butuh waktu untuk meruntuhkan semua jaringannya. Kak Mayang pernah cerita kalau bisnis Pak Mike ini besar dan luas, nggak cuma di sini. Bisa aja mereka nunggu momen yang tepat, makanya sampai sekarang mereka masih di situ.”
Mata Putri berkaca-kaca. Tiba-tiba, rasa takut merayap dalam dirinya. “Kalau benar mereka agen rahasia… berarti kita bisa dalam bahaya kalau ketahuan. Apa yang harus kita lakuin, Ra?”
Tiara terdiam, merenungi kata-kata Raka. Dia mencoba untuk tenang, namun ada rasa panik yang perlahan merayap dalam dirinya. “Kalau Pak Arif nggak muncul besok, kita cari cara buat nemuin Kak Mayang atau Kak Selly. Kita tanya langsung ke mereka.”
Raka mengangguk, setuju. “Iya, kita nggak bisa sembarangan sekarang. Kita harus hati-hati, apalagi kalau benar ini soal yang lebih besar dari yang kita kira.”
Mereka pun terdiam, masing-masing larut dalam ketakutan dan kegelisahan yang mengungkung hati mereka. Akhirnya, malam itu mereka beranjak dari ruang tamu, menuju kamar yang sederhana namun memberikan rasa aman untuk sementara. Di dalam kamar kecil itu, mereka merebahkan diri, menghadap langit-langit yang gelap dan sunyi.
Di tengah malam, Tiara mengenggam bantal, berusaha menahan isak tangis yang semakin sulit dibendung. Semua yang dialaminya terasa begitu berat, begitu kelam, hingga di dalam hatinya ada keinginan kuat untuk lepas dari mimpi buruk ini. Tapi di saat yang sama, dia sadar bahwa saat ini yang bisa dia andalkan hanyalah keluarga kecil yang kini berkumpul dalam satu ruangan.
Saling bersandar di dalam keheningan, mereka saling menguatkan. Mereka memutuskan untuk menghadapi segala tantangan yang mungkin datang. Karena di balik ketakutan yang besar, mereka tahu ada kekuatan yang lebih besar lagi—kekuatan yang lahir dari kasih sayang dan rasa saling percaya.
Pagi nya, Putri terbangun karena getaran halus dari ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Matanya yang masih setengah terpejam melirik layar ponsel, terlihat nama *Selly* terpampang di sana. Tanpa pikir panjang, Putri menggeser tombol hijau dan menjawab panggilan.
“Halo, Put... Gimana kondisi kalian? Kalian sekarang di mana?” Suara Selly terdengar sedikit ragu di ujung sana, seolah menimbang-nimbang kata-katanya.
“Selly! Anj— Lo ya! Gue tadi malam liat berita soal kebakaran! Itu kerjaan lo, kan?” Nada Putri terdengar marah dan tak percaya.
“Heheee... Bukan, kok. Sebenarnya itu ulah anak buahnya Pak Riko, temannya Pak Arif. Panjang deh ceritanya, Put,” jawab Selly dengan tawa kecil yang terdengar hambar. “Gue cuma mau ngasih tahu aja, gue dan yang lain sekarang lagi menuju Uwakeka. Pak Riko nungguin kita di sana, Pak Arif juga ikut. Maafin gue, ya... Selama ini gue bohong sama lo dan yang lain. Gue tahu gue salah.”
Putri terdiam, napasnya terdengar berat di ujung telepon. “maksudnya bohongin kita gimana?”
Selama beberapa detik, Selly tak menjawab. Akhirnya ia berkata dengan suara berat, “Gue dan yang lain sebenernya nyamar jadi pegawainya Pak Mike sebelum akhirnya kalian ajak gue kerja di angkringan lo, Put. Gue gak pernah cerita yang sebenarnya.”
Putri menutup matanya sejenak, mencoba mengolah informasi itu. “Jadi, gue, Tiara, dan Raka mesti gimana sekarang? Ini Jakarta, Selly. Semua anak buah Pak Mike pasti ada di sini.”
Tiba-tiba, suara berat Pak Arif terdengar menggantikan Selly. “Halo, Putri. Ini Pak Arif. Jangan khawatir, bertahanlah, ya, Nak. Bapak mohon, hanya seminggu lagi. Nanti kami jemput kalian.”
Putri terisak, suara ketakutan menyelimuti ucapannya. “Pak Arif, Putri takut, Pak... Tolong, Putri, Pak, please.”
Pak Arif menghela napas pelan, suara lembutnya menenangkan. “Iya, Nak. Minggu depan kami kembali dan jemput kalian. Sampai saat itu tiba, jangan keluar rumah, ya. Bertahanlah untuk sementara ini.”
Putri mengangguk walau tahu Pak Arif tak bisa melihat. “Baik, Pak. Putri akan coba bertahan…”
Tiara, yang baru bangun dari tidurnya, menguap kecil sambil menatap Putri dengan kantuk. “Siapa yang telepon, Put?”
“Oh, adikku, Ra... Dia nanyain kapan mau pulang.” Putri tersenyum kecil, menyembunyikan kegelisahannya. Ia tahu Tiara sudah cukup cemas dengan kondisi mereka sekarang.
Tiara hanya mengangguk pelan, lalu berkata sambil menghela napas, “Semoga kita bisa segera lepas dari masalah ini, ya…”
Putri menatap Tiara, perasaan bersalah menggelayut di hatinya. “Iya, Ra… Semoga aja.”
Setelah Tiara keluar dari kamar, Putri kembali duduk di pinggir tempat tidur, menyandarkan punggungnya ke pinggiran tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna kusam. Perasaan gelisah dan takut tak kunjung mereda.
Dalam diam, ia berbisik, “Ya Allah, kapan semua ini berakhir? Aku ingin hidup tenang, normal, seperti orang lain…”
Sebuah sentuhan lembut di bahunya membuat Putri tersentak. Raka duduk di belakangnya, meletakkan kepalanya di pundak putri. “Kak, yang sabar, ya. Semua ini pasti akan berlalu. Seminggu lagi, gak apa-apa, kan?”
Putri menoleh, melihat raka yang memandangnya dengan senyum menenangkan. “Maksud kamu... Kamu dengar obrolan aku tadi?”
Raka mengangguk kecil sambil mengecup pipi Putri dengan lembut. “Iya, Kak. Raka dengar semuanya. Kakak gak usah khawatir, ya. Raka akan jagain kalian semua. Urusan di luar biar Raka yang atur. Gak ada yang kenal Raka di sini.”
Mendengar janji tulus itu, Putri terharu. Ia memeluk Raka dengan erat, air matanya mengalir tanpa henti. “Makasih ya... Kakak bingung harus gimana kalau gak ada kamu...”
Raka tersenyum, mengusap lembut air mata Putri. “Kak, jangan nangis, ya. Kakak kan kuat…”
Mereka berdua saling menatap, dan di dalam tatapan itu, Putri melihat keteguhan yang tak pernah ia sangka ada di diri adiknya Tiara. Dengan lembut, Raka mengecup kening Putri, kecupan hangat dari raka membuat putri kembali bersemangat, mereka saling menatap satu sama lain hingga akhirnya ciuman hangat mendarat di bibir tipisnya putri, putri menyambutnya dengan penuh gairah cinta. Perlahan, mereka merasakan kembali getar-getar cinta yang selama ini tertunda dan akhirnya bisa kembali bangkit dengan ketabahan baru.
Terdengar suara ketukan dari luar. “Naaak, bangun yah... Mari sarapan dulu,” suara Bu Ami memanggil mereka dengan lembut dari balik pintu.
Putri segera menjawab, “Iya, Bu!” Mereka berdua saling menatap, tersenyum sejenak, lalu keluar dari kamar.
Saat mereka keluar kamar, mereka melihat Tiara dan Bu Ami sibuk di dapur. Tiara dengan cekatan membawa piring-piring berisi masakan hangat yang aromanya menggoda. Tak lama kemudian, Bu Ami bergabung dengan senyum lembutnya, mengajak mereka duduk bersama.
“Yuk, Nak, sarapan dulu. Mumpung masih panas,” kata Bu Ami, meletakkan masakan terakhir di tikar. Mereka pun duduk, rasa syukur memenuhi hati masing-masing.
Saat mereka mulai makan, Bu Ami menatap mereka satu per satu dengan penuh kasih sayang. “Bapak sudah cerita semua ke Ibu soal kalian. Ibu gak keberatan kok kalau kalian tinggal di sini. Malah, Ibu senang. Ibu jadi gak sendirian kalau Bapak pergi ambil sayuran.”
Tiara menundukkan kepala dengan penuh haru. “Maafin kami, ya, Bu. Kami malah jadi merepotkan Ibu sama Bapak... Kami gak tega terus-terusan ngerepotin Ibu…”
Bu Ami tersenyum sambil mengusap lembut kepala Tiara. “Jangan bilang begitu, Nak. Ibu sama Bapak sama sekali gak merasa terbebani. Malah Ibu senang kalian ada di sini.”
Sarapan pagi itu penuh dengan perasaan yang campur aduk, dan akhirnya Tiara membuka cerita tentang kejadian-kejadian yang mereka alami. Bu Ami mendengarkan dengan raut wajah prihatin, sesekali menahan air mata, terutama ketika Tiara bercerita tentang saat-saat yang paling berat.
Setelah sarapan selesai, Tiara dan Putri dengan sigap membantu membereskan piring-piring bekas makan, sementara Raka membantu menggulung tikar. Mereka saling bekerja sama, menghilangkan rasa khawatir sejenak dengan aktivitas rumah sederhana yang penuh kehangatan.