Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33 : babak akhir pertarungan
Malam semakin mencekam di puncak pohon besar yang menjadi tempat persembunyian Pak Riko, Ramon, Salma, Bayu, dan Bagus. Suara desiran ombak terdengar di kejauhan, namun keheningan hutan malam itu terasa begitu tegang. Bayu tiba-tiba menangkap kilatan cahaya di pantai selatan pulau. Beberapa titik cahaya tampak mendekat, seperti berasal dari perahu-perahu boat yang melaju cepat.
Bayu memicingkan mata, ia lalu mengambil teropong dari tangan Salma dan mulai mengamati lebih dekat. “Edan… mereka sudah gila,” bisiknya, matanya tak lepas dari pantai.
Pak Riko yang berada di sebelahnya langsung bertanya dengan nada cemas. “Siapa yang kau maksud, Bayu?”
Bayu menelan ludah sebelum menjawab, “Pak Arif, Pak. Dia datang bersama tim Regu Komodo yang dipimpin Tama. Mereka semua sedang bergerak mendekati pulau ini.”
Pak Riko langsung mengambil teropong dari tangan Bayu, mengamati dengan hati-hati. Benar saja, ia melihat Pak Arif bersama regu yang dipimpin Tama dalam formasi lengkap mendekati pantai. Wajahnya memerah, antara marah dan khawatir. “Dasar gila! Apa yang mereka pikirkan datang kemari? Ini malah bisa membuat situasi semakin kacau.”
Ramon, yang mendengar gerutuan Pak Riko, hanya diam seraya memikirkan langkah selanjutnya. Di sisi lain, Salma yang melihat Tama mendekat melalui teropong merasa semangatnya bangkit. Ia merasa ada harapan baru di tengah situasi yang semakin kritis ini.
“Pak, saya turun sekarang,” kata Salma tiba-tiba sambil bersiap turun.
Pak Riko, dengan nada bingung dan cemas, memanggilnya, “Salma, tunggu! Kamu mau ke mana?”
Salma tersenyum tipis dan menatap Pak Riko dengan keyakinan. “Pak, selama ada Tama, Bapak nggak perlu khawatir. Saya janji, saya akan selamatkan Ilham dan bawa dia kembali bersama kita.”
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Salma meluncur turun dari atas pohon dengan gesit. Ramon, yang memahami betul tekad Salma, hanya tersenyum kecil sambil memposisikan dirinya lebih baik, bersiap membantu dari atas. Begitu juga dengan Bayu dan Bagus yang langsung bersiap mengikuti.
Setibanya di pantai, Tama segera memberi komando, suaranya tegas dan penuh otoritas. “Komodo, menuju pantai! Siaga!” Ucapannya memenuhi seluruh anggota tim yang baru saja tiba.
Di frekuensi radio, terdengar suara Pak Riko. “Masuk, Tama.”
Tama menjawab dengan percaya diri, “Izin ambil alih, Pak. Kami akan selesaikan secepat dan seefektif mungkin.”
Pak Riko, meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan, mempercayakan sepenuhnya pada Tama dan timnya. “Baiklah, lakukan sesuka hati kalian. Selesaikan ini.”
Mendengar restu dari Pak Riko, tim Regu Komodo dan Pak Arif semakin bersemangat. Mereka segera bergerak dengan cepat dan efisien, mendekati ring kedua. Pak Arif bersama Mita, Bunga, Mayang, dan Rangga berhasil melumpuhkan beberapa anak buah Pak Mike, dengan bantuan Ramon yang mengawasi dari atas pohon besar dan memberi arahan yang tepat.
Tak lama kemudian, Bayu dan Bagus berhasil menyusul dan bergabung dengan regu Tama. Sekarang, mereka bergerak bersama-sama menuju ring dua, disaat yang bersamaan, terlihat pergerakan penuh perhitungan dari Regu Senyap Bersayap yang selama ini masih menjadi misteri, identitas mereka dirahasiakan dan pak riko sama sekali mereka berpihak pada siapa. Mereka melaju seperti bayangan, menyelinap dengan taktik yang matang, menghindari setiap kemungkinan pertempuran terbuka.
Salma yang sudah berada di posisi mulai mengambil inisiatif dengan menembakkan peluru pertama ke arah penjaga yang berada di sisi utara ring dua. Tembakannya tepat mengenai sasaran, membuat para penjaga yang lainnya langsung kebingungan. Bayu dan Bagus kemudian memulai aksinya, menyerang dengan presisi yang mengejutkan.
Di tengah situasi genting itu, Tama memberikan semangat kepada seluruh tim, suaranya keras dan tegas, “Ingat, jangan sampai kalian mati di sini! Saya nggak mau membawa mayat kalian keluar dari pulau ini!”
Ucapan Tama tersebut seketika membangkitkan semangat seluruh tim. Mereka sadar betul, ini bukan sekadar pertempuran biasa. Ini adalah pertempuran hidup dan mati, dan setiap langkah mereka harus dihitung dengan cermat. Dengan komando dari Tama, mereka akhirnya berhasil menembus ring kedua. Ketegangan memuncak saat mereka bersiap masuk ke ring satu.
Namun, di ring satu, mereka menghadapi perlawanan yang jauh lebih sengit dari yang dibayangkan. Pak Mike sudah menyiapkan delapan pengawal setia yang dilengkapi dengan perlengkapan taktis lengkap dan latihan tempur yang tak main-main. Masing-masing dari mereka tampak seperti tembok hidup yang sulit ditembus, menghadang setiap langkah yang diambil oleh Regu Komodo dan Regu Pak Arif.
Pertarungan berubah menjadi pertempuran sengit, di mana setiap tembakan dan serangan balasan berlangsung cepat. Tama dengan teriakan berani memandu seluruh tim untuk terus maju, meski tekanan dari lawan semakin berat.
“Jangan mundur! Kita sudah sejauh ini!” seru Tama di tengah suara tembakan dan serangan balik. Ia dengan cepat merangkul Frisillia yang hampir jatuh tersungkur akibat terkena serangan lawan.
Namun, satu per satu anggota tim mulai kelelahan. Meskipun mereka bertempur sekuat tenaga, mereka mulai kewalahan di hadapan delapan pengawal Pak Mike yang tampak tak terkalahkan. Setiap gerakan mereka terukur dan mematikan, membuat regu Tama dan Pak Arif semakin terdesak.
Pak Arif melihat situasi yang semakin memburuk, ia terengah-engah, mengusap keringat yang menetes di wajahnya sambil menatap Tama dengan tegas. “Kita tak bisa terus seperti ini, Tama. Kita harus cari celah atau kita akan habis di sini.”
Tama yang juga tampak lelah akhirnya mengangguk, menyadari situasi ini lebih berbahaya daripada yang mereka perkirakan. Namun, meskipun nyawa mereka di ujung tanduk, mereka tahu, Ilham dan keselamatan tim adalah prioritas utama. Dengan sisa tenaga yang ada, mereka terus bertahan, berharap ada kesempatan atau keajaiban yang dapat mengubah situasi di ring satu itu.
Di tengah malam yang penuh ketegangan dan hampir putus asa, regu Pak Arif dan Pasukan Komodo tampak semakin kewalahan. Nafas mereka satu-satu tersengal, sementara lawan mereka, delapan anak buah Pak Mike yang terkenal kuat, terus menerjang tanpa ampun. Di setiap sudut, ada suara desingan peluru dan denting logam yang menghantam. Tama, di garis depan, mulai merasa harapan semakin tipis.
“Jangan menyerah! Kita sudah terlalu jauh untuk mundur!” Tama berteriak, namun di balik suara tegasnya, ia pun tak dapat menutupi rasa gentar.
Pak Arif, yang melihat kondisi tim, mencoba mengatur strategi mundur dengan wajah khawatir. Namun sebelum ia bisa melangkah, terdengar suara tembakan mendesing tajam. Delapan peluru sniper tiba-tiba melesat dari kejauhan, menembus bagian belakang kepala setiap anak buah Pak Mike dengan tepat, satu per satu. Dalam sekejap, delapan pria bertubuh kekar itu ambruk ke tanah, mati tanpa sempat mengeluarkan suara.
Pak Arif dan Tama saling pandang, tercengang dengan apa yang baru saja mereka saksikan.
“Siapa yang...?” bisik Tama, melihat sekeliling dengan waspada.
Sementara itu, Pak Mike yang menyaksikan semua anak buahnya tergeletak tak berdaya di hadapannya langsung meledak dalam amarah yang tak terbendung. Ia menggeram keras dan menggenggam gagang pedang panjang di pinggangnya dengan tangan gemetar. Rasa dendam di hatinya mendidih, menutupi segala akal sehat yang tersisa.
“Aku tidak akan kalah begitu saja!” teriak Pak Mike dengan suara menggema. Ia menatap Ilham yang masih menjadi sandera di depannya. Dengan kemarahan yang meluap, ia mengangkat pedangnya tinggi, bersiap mengayunkannya ke arah Ilham.
Detik itu juga, waktu seakan melambat bagi Ramon yang mengawasi dari atas pohon. Setelah menunggu momen yang tepat, ia mengarahkan snipernya, memastikan bahwa tak ada kesalahan yang bisa terjadi. Nafasnya tertahan, jarinya dengan mantap menarik pelatuk, dan…
DORRR! Tembakan Ramon melesat sempurna, menembus kepala bagian kiri Pak Mike. Sosok yang sebelumnya penuh amarah itu terhuyung, matanya membelalak, dan pedangnya terjatuh dari tangannya yang mulai lemas. Tubuh Pak Mike akhirnya roboh ke tanah, tak lagi bernyawa.
Namun, keadaan belum aman sepenuhnya. Selly, wanita setia Pak Mike yang menyaksikan kematian bosnya, meraung penuh dendam. Tatapan matanya memancarkan tekad membara, dan tanpa ragu ia mengangkat pistol, membidik tubuh Ilham yang terikat dan tak berdaya.
“Kalau aku tidak bisa membawa Pak Mike pulang, maka kau juga tak akan keluar hidup-hidup dari sini, Ilham!” Suaranya serak penuh kemarahan, Selly menarik pelatuknya.
Namun, sebelum peluru sempat keluar, DORRR! Satu peluru lagi melesat, kali ini menembus punggung Selly. Ia terdorong ke depan, tubuhnya gemetar dan jatuh berlutut. Di belakangnya, terlihat Salma yang baru saja menarik pelatuk senapannya.
“Maafkan aku, Selly. Ini demi kebaikanmu juga,” bisik Salma dengan lirih, air mata mengalir di pipinya, merasakan pahitnya harus menjatuhkan seseorang yang dulu pernah ia kenal sebagai sahabat.
Dalam keheningan malam,, regu Pak Arif dan Pasukan Komodo terdiam sejenak, saat itu suasana malam itu diliputi perasaan haru dan lega. Namun ketika mereka berbalik, berharap untuk menyampaikan rasa terima kasih pada pasukan misterius yang membantu mereka, tidak ada siapa pun di sana. Pasukan Senyap Bersayap yang membantu mereka tadi telah lenyap begitu saja, seperti bayangan.
Setelah memastikan Ilham aman dan kondisi medan bersih dari ancaman, mereka bersiap untuk kembali. Pak Riko yang kini berada di tepi pantai mengawasi semua anggota yang satu per satu kembali ke perahu.
“Kalian berhasil,” kata Pak Riko dengan suara lega. “Kita bisa pulang sekarang. Mari kita kembali ke Jakarta.”
Tama, yang masih penasaran dengan kehadiran tim misterius tadi, menghampiri Pak Riko dengan wajah penuh kebingungan. “Pak, sebenarnya siapa yang menembak anak buah Pak Mike? Sejujurnya kami semua tidak melakukan itu. Mereka seperti datang dari mana saja dan menghilang begitu saja.”
Pak Riko hanya bisa terdiam, seakan memahami keraguan Tama. “Bapak juga tidak tahu siapa mereka, Tama. Yang jelas, mereka dikenal sebagai Pasukan Senyap Bersayap. Hanya itu yang bapak tahu. Mereka selalu muncul tanpa peringatan dan pergi tanpa jejak dan mereka bukan bagian dari rencana bapak.”
Para anggota regu saling bertukar pandang, kagum sekaligus merasa misterius dengan kehadiran Pasukan Senyap Bersayap. Tak ada yang tahu pasti siapa mereka atau dari mana mereka berasal, namun bantuan mereka tadi malam tak akan pernah mereka lupakan.
Pak riko menyiapkan perahu khusus untuk jasad Pak Mike yang tak bernyawa, dan delapan anak buah terbaiknya yang ikut terbujur kaku, beserta selly yang ikut jadi korban karena telah berkhianat , semuanya di naikan ke atas perahu dan menumpuknya jadi satu . pak riko bersama rekan-rekannya meninggalkan pulau Dengan membawa tubuh Ilham yang kini aman,
dan membiarkan jasad Pak Mike dan para pengawalnya terombang-ambing di tengah laut, sebagai tanda bahwa kejahatan mereka akhirnya berakhir.
Di dalam perahu, mereka semua duduk diam, teringat setiap momen yang mereka lalui tadi malam, setiap perjuangan, dan setiap rasa takut yang sudah mereka taklukkan. Meski lelah, hati mereka terasa penuh dengan rasa syukur dan kepuasan bahwa mereka telah melewati sebuah pertempuran yang tak akan terlupakan seumur hidup mereka.
Saat Pak Riko dan timnya berhasil mendarat di pantai Pangeo, mereka menghela napas lega. Sinar matahari menyambut mereka, menyinari wajah-wajah lelah namun puas. Tidak jauh dari pantai, sebuah pesawat khusus telah siap, menunggu untuk membawa mereka kembali ke Jakarta.
Pak Riko merasakan getaran dari ponselnya, dan saat membukanya, sebuah pesan singkat masuk: "Selamat, misi selesai dengan sempurna." Bibir Pak Riko melengkungkan senyuman tipis penuh arti. Tugas yang berat itu akhirnya berhasil mereka tuntaskan, dan mereka telah berhasil mengakhiri kekuasaan Pak Mike serta menghentikan jaringan narkotika dan bisnis ilegalnya yang begitu meresahkan.
Pak Riko menyimpan ponselnya kembali, lalu menghadap timnya yang menatapnya dengan campuran emosi antara lega, bangga, dan lelah.
“Baiklah, anak-anak, kalian sudah bekerja keras. Sekarang masuklah ke dalam pesawat. Kita pulang ke Jakarta,” ucap Pak Riko dengan nada lembut namun tegas.
Setiap anggota tim memandang Pak Riko dengan mata berbinar, penuh rasa hormat dan syukur. Mereka tahu, di balik ekspresi tenangnya, ada hati yang bangga pada mereka semua.
Di tempat lain, di ruang tamu sederhana, Tiara, Putri, dan Raka duduk di depan televisi dengan perasaan yang tidak menentu. Kegelisahan mereka memuncak saat pembawa berita di layar kaca menyampaikan informasi penting.
“Berita terbaru! Sebuah kapal ditemukan terapung di ujung perairan maluku utara , kapal tersebut berisi sembilan pria dan satu wanita yang diduga tewas akibat luka tembak. Diketahui bahwa para korban ini merupakan buronan yang telah lama diburu pihak kepolisian, termasuk di antaranya buronan terkenal, Bernama Marcus Ien Kai Er alias Mike.”
Putri dan Tiara saling pandang, lalu menatap layar dengan mata yang melebar, penuh keterkejutan.
“Tiara… apa… itu benar Pak Mike?” suara Putri gemetar, sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
Raka, yang duduk di samping mereka, menghela napas panjang dan menundukkan kepala. “Aku tidak percaya, itu benar-benar mereka,” ujarnya pelan.
Saat gambar korban-korban di kapal mulai muncul di layar, wajah-wajah familiar itu terpampang jelas. Salah satunya adalah Selly, sahabat Putri. Mata Putri membelalak, lalu ia menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan isak tangis yang mulai menyeruak.
“Selly… Selly juga di kapal itu?” ucap Putri dengan suara bergetar, air mata mulai mengalir di pipinya. “Kenapa Selly harus ikut terlibat sejauh ini…”
Tiara memeluk Putri dengan erat, menepuk bahunya sambil ikut menangis. “Kita tahu, ini bukan yang kita harapkan. Tapi akhirnya, Put, kita bebas dari ancaman dan kekejaman Pak Mike…” kata Tiara, suaranya bergetar di antara isak tangis. “Semua ketakutan kita… berakhir di sini.”
Tangis mereka pecah, memenuhi seisi ruang tamu yang sederhana itu. Mereka menangis bukan hanya karena Selly, tapi juga karena rasa lega yang telah lama tak mereka rasakan.
Tak lama, Bu Ami, datang mendekat. Melihat Putri dan Tiara menangis, ia ikut merasa haru. Perlahan, ia berlutut dan memeluk putri dan tiara dengan penuh kasih sayang.
“Allah mengabulkan doa kalian, Nak… Akhirnya, kalian bisa melanjutkan hidup tanpa ketakutan,” bisik Bu Ami dengan lembut, air matanya turut jatuh, meresapi setiap kata yang ia ucapkan.
Putri dan Tiara mempererat pelukan pada bu ami. Mereka merasa seperti mendapatkan perlindungan. Raka ikut memeluk mereka, menguatkan kebersamaan yang lama mereka rindukan.
Malam itu, rumah bu ami dipenuhi tangis haru dan kelegaan. Di dalam hati, Tiara dan Putri merasakan semangat baru. Mereka bertekad untuk melanjutkan hidup mereka, mengejar cita-cita yang dulu hampir hilang karena bayang-bayang ketakutan dari Pak Mike. Mereka akan terus berjalan, dan mimpi untuk menjadi penyanyi terkenal akan mereka raih, kali ini tanpa ada ketakutan yang menghalangi.
Malam itu adalah malam penuh kebahagiaan bagi keluarga mereka. Mereka tahu, perjalanan belum selesai, tapi mereka kini memiliki awal yang baru, awal yang penuh harapan dan kebebasan.