Kisah sebuah pertemanan yang berawal manis hingga renggang dan berakhir dengan saling berdamai. Pertemanan yang salah satu diantara keduanya menaruh bumbu rasa itu terjadi tarik ulur. Sampai memakan banyak kesalahpahaman. Lantas, bagaimanakah kisah selanjutnya tentang mereka? apakah keduanya akan berakhir hanya masing-masing atau asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Menenangkan
Pada pukul 19.00 perjalanan Adhara menuju Bandung di temani oleh Langit. Dirinya kini tengah dalam perjalanan yang belum jauh dari rumahnya atau bisa di bilang baru keluar menuju jalan raya.
Adhara duduk di jok depan, sampingnya Langit. Mereka hanya berdua pergi ke Bandung untuk menyusul Vano. "Duh, pengen ngemil lagi. Gue bawa jajan cuma tiga doang mana cukup sampe besok." gumam Dhara menggigit bibir bawahnya.
Seketika Langit menoleh sambil fokus menyetir mobilnya, "Makan aja jajannya, nanti kalo abis tinggal ambil aja di belakang tuh masih ada banyak." jawab Langit membuat Dhara menengok ke jok belakang dan sontak terkejut melihat satu kantong plastik yang lumayan besar.
"Hah? itu jajan? semuanya?" gadis itu melongo tak percaya.
Langit menoleh ke Dhara sekilas.
"Iya."
Tak seperti biasanya Langit menjadi dingin, nadanya benar-benar beda, terdengar datar.
"Oh ... Btw makasih kalo beneran itu jajan buat gue." ujar Adhara sambil membuka satu bungkus cemilan kesukaannya.
Langit hanya menanggapi dengan senyum tipis. "Bentar deh, lo kenapa nggak pake baju lengan panjang sih? malah pake kaos pendek kayak gitu, nggak dingin?" heran gadis tersebut menatap Langit seraya mengunyah cemilannya.
"Enggak." lagi-lagi jawaban Langit datar. Bukan hanya dari ucapannya, namun dari tampang wajahnya pun terlihat dingin.
Gadis itu segera menoleh ke jendela mobil milik Langit. "Oh iya, lupa. Lo kan cowok kulkas, ya? lupa gue, ngapain nanya sama kulkas? nanya ke lo aja kayak gitu apalagi ke kulkas." kesalnya.
"Kamu kenapa, Ra?" tanya Langit dengan nada lembut.
"Nggak."
"Kamu marah sama aku?" tanya Langit kali ini ia menoleh ke Adhara yang masih menatap ke luar jendela mobil.
Dhara tak menjawab apa-apa.
Langit masih fokus menyetir mobilnya, sesekali ia menoleh ke Adhara. "Maaf, Ra, aku nggak biasa ngomong panjang." permintaan maaf Langit dengan nada dinginnya.
"Maaf kenapa?" jawab gadis itu menatap Langit.
"Karena aku udah biasa cuek." ucap Langit membuat Adhara terkekeh.
Adhara menyuruh Langit untuk berhenti dulu di tepi jalan. "Berhenti dulu dong,"
"Mau ngapain, Ra?"
"Udah ayo turun duluu." ujarnya menarik tangan Langit agar keluar dari mobil.
•••••••••
"Ini apa, Ra?" tanya Langit masih memampangkan wajah datarnya.
"Abis lo dari tadi nggak pake hoodie," oceh gadis tersebut sebal.
Langit mulai memperhatikan Adhara yang selalu sabar berbicara dengan dirinya yang dingin dan datar.
"Ini udah jam 9, Ra. Kamu bawa selimut nggak?" tanya lelaki itu.
Dhara terlihat sedang mengingat ingat apakah ia membawa selimut. "Em ... enggak deh kayaknya. Emangnya buat apa?" tanyanya balik.
"Buat selimutan aja, suhunya dingin. Takutnya kamu kedinginan." ujar lelaki tersebut peduli.
"Terus gimana dong?" gadis itu memasang wajah cemberutnya.
Langit menoleh ke mobilnya, kemudian ia mengajak Dhara untuk segera masuk ke mobil.
"Kebetulan aku bawa selimut nih, warnanya coklat. Aku harap kamu mau pakai biar nggak kedinginan." lelaki itu menyodorkan selimut miliknya.
Adhara sempat bingung mendapati perlakuan lembut dari seorang Langit. "Kenapa kamu baik banget sih? kalo kayak gini terus aku jadi takut, Lang." ujar gadis itu khawatir.
Langit pun menoleh sambil menjalankan mobilnya, "Takut kenapa?"
"Aku cuma nggak mau endingnya kayak ... di masa lalu aku." lirih Dhara kemudian ia menatap ke luar jendela mobil.
"Nggak, Ra. Kamu nggak perlu takut. Aku suka sama kamu, dan itu nggak akan bersifat sementara." Ucapan Langit sungguh membuat gadis itu senyum senyum kesenangan.
Adhara hanya diam menatap ke depan, melihat jalanan yang ramai saat malam hari. Setelah itu, ia juga melihat pengendara motor yang berboncengan. Dan, jelas pengendara itu bersama pasangannya.
"Huft, tenang Adharaaa ... udah jangan kemakan bayangan masa lalu dong! udah tenang-tenang ... fokus cari Vano!" ketus Dhara meraup wajahnya kasar berkali kali.
Sementara Langit hanya diam memampangkan wajah datarnya tanpa melirik Adhara yang kesal sendiri sampai membiarkan gadis itu tertidur.
••••••••
"Ra, bangun, kita udah sampe di Bandung." lirih Langit menepuk bahu Dhara dengan pelan.
Mata gadis itu pun terbuka, "Vano mana?" tanyanya seraya menutupi mulutnya yang sedang menguap.
"Belum gue cek, tapi kayaknya Vano ada di rumah itu." tunjuk Langit mengarah ke sebuah rumah yang lumayan besar.
Adhara mencoba berdiri namun tiba tiba kepalanya terasa pusing, karena ia baru pertama kali tidur di dalam mobil. "awss... " erangnya kesakitan.
Sontak Langit langsung khawatir dengan keadaan Dhara yang hampir pingsan. "Kamu kenapa, Ra."
Adhara yang merasa di jaga oleh Langit pun menjawabnya dengan jujur. "Aku emang suka gini setiap bangun tidur atau kelamaan tidurnya." ungkapnya.
"Aku gendong, mau?" tawar lelaki itu menatap Adhara.
"Nggak usah," tolak gadis itu halus.
"Vano ...," suara Adhara mengetuk pintu rumah Vano.
"Iya?" jawab cowok memakai hoodie hitam polos.
Adhara langsung memeluk cowok berhoodie hitam tersebut yang ternyata memang Vano.
"Gue kangen sama lo ...," lirih gadis itu menangis di pelukan Vano.
Vano mengusap punggung Dhara agar ia tenang. "Iya-iya, gue juga kangen sama lo. Kenapa lo ke sini?" tanya cowok itu melepas pelukan.
"Ya gue kangen sama lo, khawatir sama keadaan lo!" ketus Dhara merengut.
Vano terkekeh melihat tingkah sepupunya yang menggemaskan. "Iya dah, buat si paling kangen sama gue." Saking gemasnya Vano sampai mencubit pipi Adhara.
Gadis itu merasa kesakitan dan tak mau pipinya merah, ia menepis tangan Vano lalu menjambak rambut Vano. "Dih, sakit, Ra!" ketus cowok tersebut kesal.
Langit hanya menanggapi tingkah dua manusia itu dengan kekehan. "Gue cabut bentar, mau beli makanan." ujar Langit ingin pergi namun segera di cegat oleh Dhara.
"Mau ke mana sih, Lang?" tanya Adhara heran.
"Beli makanan sebentar," jawab Langit datar.
Vano menatap ponselnya yang menandakan pukul 22.00. "Jam segini masih banyak warteg yang buka, tapi gue saranin mending beli di cafe aja." pendapat Vano.
"Tapi gue nggak mau Langit pergi ke cafe sendiri," cicit Dhara bersidekap.
"Dih, sejak kapan lo manja sama Langit?" tanya Vano dengan nada datarnya.
Adhara langsung menunjukkan ekspresi cemberutnya. "Yaudah, kamu mau ikut ke cafe?" tanya lelaki itu halus.
Dhara mengangguk pelan, "Tapi Vano ikut juga ya?" ucap gadis tersebut menatap Langit dan Vano secara bergantian.
"Ng—ya." jawab Vano meyakinkan.
"Yes!" seru Adhara lompat satu kali.
Langit hanya geleng geleng kepala melihat tingkah Dhara yang tiba tiba menjadi menggemaskan seperti itu. "Jangan terlalu dipikirin, sepupu gue kalo udah sayang sama orang ya gitu. Bakal keluar sifat aslinya yang gemessin, tapi dia bukan cewek yang lemah. Dia cewek yang mandiri dan pemberani." jelas Vano menatap Dhara.
"Udah ... ayo ke cafe! yuhuuu ..." hebohnya menarik dua tangan cowok tersebut.