Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gara-Gara Kucing Tetangga.
Di sebuah kompleks perumahan yang tenang, hiduplah seorang perempuan bernama Lila. Ia tinggal di rumah kecilnya yang nyaman, dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang rata-rata ramah, kecuali satu orang: Pak Toni. Ia dikenal sebagai pria paruh baya yang pendiam, menyendiri, dan tak terlalu akrab dengan warga lainnya. Rumahnya hanya berjarak beberapa langkah dari rumah Lila, dan meski mereka sudah bertetangga selama lima tahun, mereka nyaris tak pernah berbicara.
Tapi ada satu hal yang membuat hubungan mereka terjalin—meski secara tak langsung: kucing Pak Toni. Seekor kucing berbulu abu-abu bernama Si Boy, yang selalu berkeliaran di sekitar rumah Lila. Entah kenapa, kucing itu lebih sering berada di halaman rumah Lila dibandingkan di rumahnya sendiri. Setiap kali Lila membuka jendela, ia hampir selalu mendapati Si Boy meringkuk di terasnya.
Pada suatu malam, kejadian aneh mulai terjadi. Lila terbangun dari tidurnya karena suara keras dari arah dapur. Ia mengira ada yang jatuh. Dengan setengah sadar, ia berjalan menuju dapur dan menyalakan lampu. Ketika melihat, tidak ada yang aneh, kecuali pintu belakang yang terbuka sedikit. Pikirannya langsung mengarah pada Si Boy.
"Kucing sialan!" gumam Lila. Ia menutup pintu dan kembali ke kamar, berharap bisa melanjutkan tidurnya.
Tapi kejadian itu bukan yang terakhir. Setiap malam, Lila selalu mendengar suara-suara aneh. Kadang seperti ada yang menggaruk-garuk pintu belakang, kadang suara langkah kaki yang ringan di dalam rumah. Anehnya, Si Boy selalu muncul di sekitar rumahnya keesokan harinya, seolah-olah kucing itu sedang bermain-main dengan keberadaannya.
Suatu hari, Lila merasa lelah dengan keanehan yang terjadi di rumahnya. Ia memutuskan untuk mendatangi Pak Toni.
"Pak Toni, maaf mengganggu," kata Lila ketika pria itu membuka pintu rumahnya.
Pak Toni menatapnya dengan tatapan kosong. "Ada apa?"
"Kucing Bapak, Si Boy, selalu berkeliaran di rumah saya. Setiap malam saya mendengar suara-suara aneh. Mungkin kucing Bapak masuk ke rumah saya tanpa saya sadari."
Pak Toni terdiam sejenak. "Si Boy tidak mungkin mengganggu. Dia kucing yang tenang."
"Tenang atau tidak, saya jadi tidak bisa tidur gara-gara dia. Bisa Bapak pastikan Si Boy tidak masuk ke rumah saya lagi?" tuntut Lila.
Pak Toni mendesah. "Akan saya coba. Tapi Si Boy memang suka berkeliaran. Kucing itu bebas, tidak ada yang bisa menahannya."
Lila merasa pembicaraan itu tak banyak membantu, tapi setidaknya ia telah mengungkapkan kegelisahannya. Malam itu, Lila mengunci semua pintu dan jendela rapat-rapat. Ia berharap bisa tidur nyenyak.
Namun, ketenangan itu hanya sementara. Pada pukul dua dini hari, suara-suara itu muncul lagi, kali ini lebih keras, seperti ada sesuatu yang bergerak di lorong rumahnya. Lila terbangun dengan detak jantung yang cepat. Ia menyalakan lampu kecil di sebelah tempat tidur, dan telinganya menangkap suara lirih dari dapur.
Dengan napas tertahan, Lila mengambil tongkat besi yang ia simpan di sudut kamarnya. Hatinya berdebar keras saat ia mendekati dapur, menelusuri setiap langkah dengan waspada. Ketika ia membuka pintu dapur, Lila tidak menemukan apa pun, kecuali Si Boy yang duduk di ambang pintu belakang, menatapnya dengan mata besar yang berkilat.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Lila berbicara pada kucing itu, meski tahu tidak akan ada jawaban.
Kucing itu hanya menatapnya, kemudian berlari keluar melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Lila menutup pintu dengan keras, merasa lega sekaligus terganggu. Setiap kali Si Boy muncul, selalu ada sesuatu yang tidak beres.
Hari-hari berikutnya, situasi semakin aneh. Suara-suara yang sebelumnya samar kini mulai terdengar jelas: langkah kaki di lantai kayu, pintu yang berderit, dan benda-benda yang tampaknya bergeser tanpa alasan. Lila mulai merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kucing tetangga yang berkeliaran. Perasaannya mengatakan ada yang mengintainya, mengamati setiap gerak-geriknya.
Puncaknya terjadi pada malam itu. Lila sedang duduk di ruang tamu, mencoba mengalihkan pikirannya dari semua kejadian aneh. Ia menonton televisi ketika tiba-tiba listrik padam. Rumahnya tenggelam dalam kegelapan. Lila meraba-raba mencari senter, tetapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang mencekam.
Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari lantai atas.
Lila merasa tenggorokannya tercekat. Tidak ada siapa-siapa di rumahnya, seharusnya.
Ia menahan napas, mendengarkan dengan saksama. Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Lila berdiri, berusaha menenangkan diri, tapi kakinya gemetar. Dengan perlahan, ia berjalan menuju tangga, mencoba mengintip siapa atau apa yang ada di sana.
Dan di puncak tangga, ia melihatnya. Sesosok bayangan hitam, berdiri diam. Sosok itu terlihat seperti seseorang, tetapi tubuhnya memudar di antara bayangan. Mata Lila terbelalak, tubuhnya terpaku. Sosok itu bergerak perlahan, menuruni tangga, langkahnya hampir tanpa suara. Lila ingin berlari, tetapi kakinya tak bisa bergerak.
Sosok itu mendekat.
Tiba-tiba, terdengar suara keras dari jendela dapur. Lila terkesiap, kepalanya menoleh ke arah suara itu. Saat ia berbalik lagi ke tangga, sosok itu sudah menghilang. Napasnya tersengal, keringat dingin membasahi punggungnya.
Lila berlari ke dapur, membuka tirai jendela, dan melihat Si Boy duduk di luar, menatapnya dengan mata besar yang aneh. Kucing itu tampak... berbeda, seolah ada sesuatu yang janggal pada caranya menatap.
Dengan tangan gemetar, Lila menutup jendela dan mengunci pintu sekali lagi. Ia kembali ke ruang tamu, tapi pikirannya masih bergulat dengan sosok yang tadi dilihatnya. Apakah itu nyata? Atau hanya imajinasinya yang semakin terganggu oleh semua kejadian aneh ini?
Keesokan harinya, Lila memutuskan untuk mencari jawaban. Ia mendatangi tetangganya yang lain, Bu Rini, yang dikenal sering mengobrol dengan warga lain dan tahu banyak tentang perumahan itu.
"Bu Rini, saya mau tanya soal Pak Toni," kata Lila saat bertemu dengannya di depan rumah.
Bu Rini tampak terkejut. "Ada apa memangnya?"
"Saya merasa ada yang aneh di rumah saya. Si Boy, kucingnya Pak Toni, sering berkeliaran di rumah saya, dan sejak itu saya merasa ada sesuatu yang tidak beres."
Bu Rini menarik napas panjang. "Kamu mungkin tidak tahu, tapi ada cerita tentang Pak Toni yang tak banyak orang bicarakan."
"Apa itu?"
"Pak Toni dulu punya anak laki-laki, tapi anaknya meninggal beberapa tahun lalu. Katanya anak itu sangat dekat dengan Si Boy. Setelah kepergian anaknya, Pak Toni jadi sangat tertutup dan aneh. Kucing itu seperti satu-satunya peninggalan yang tersisa dari anaknya."
Cerita itu membuat Lila merinding. Ia mulai mengerti bahwa Si Boy mungkin bukan hanya kucing biasa.
Malam harinya, ketika Lila kembali ke rumah, ia merasa ada yang mengamatinya dari dalam kegelapan. Tapi kali ini ia siap. Ia tidak lagi merasa takut. Ia memutuskan untuk menghadapi apapun itu.
Saat suara-suara aneh muncul kembali, Lila menatap bayangan di ujung lorong dengan tegas. "Apa yang kamu mau?" ia berteriak.
Dan untuk pertama kalinya, suara lirih terdengar. "Si Boy... temani aku."
Detak jantung Lila berhenti sesaat. Itu suara anak kecil—mungkin suara anak Pak Toni.
Sejak saat itu, setiap kali Si Boy datang ke rumahnya, Lila tak lagi merasa terganggu. Kucing itu memang bukan sekadar kucing biasa, tapi menjadi penghubung bagi sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, dan lebih misterius.
Dan Lila akhirnya menerima kehadiran mereka, karena ia tahu, terkadang yang kita anggap sebagai gangguan bisa jadi hanya sebuah cara untuk meminta ditemani dalam kesunyian.