Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30 - Proses Penghapusan
“Hei, bukankah malam ini benar-benar menyenangkan?” tanya kura-kura dengan mata yang setengah terpejam, nampak sedang berusaha menahan kantuk.
Burung kakak tua yang hinggap di atas cangkang kura-kura tersebut lantas angguk-angguk, ekspresi menahan kantuknya sama persis. “Betul, buah ini pun terasa lebih lezat.”
Apel yang baru dimakan setengah gigitan itu tergelinding ke tanah, lepas dari kepalan tangannya.
Sedangkan para binatang lain—kuda bersayap, kelinci maupun penghuni hutan yang juga sedang menyantap hidangan, sudah mulai teler. Mereka seperti berada dalam pengaruh obat.
“Hoaamm!” Kuda menguap dengan mata yang seutuhnya telah terpejam, tubuhnya membungkuk lantas perlahan meringkuk di tanah. “Aku mengantuk sekali, sepertinya tidur sebentar tak apa.”
“Aku juga merasa begitu.” Kelinci menjatuhkan diri ke samping tubuh kuda tersebut, meletakan kepala di sana, menganggapnya sebagai bantal.
Satu per satu, para binatang di sana mulai tumbang. Tubuhnya tersungkur ke tanah, lantas mendengkur bersamaan. Mereka secara kompak tak sadarkan diri.
Kejadian itu benar-benar janggal, tentu akan menimbulkan pertanyaan. Sedang Naina yang beberapa saat lalu dijemput oleh burung berekor panjang, tak tahu mengenai kejadian tersebut.
Tidak lain dan tidak bukan mereka bisa begitu dikarenakan mengonsumsi makanan yang menjadi jamuan dalam perayaan ini. Petunjuk tersebut merujuk pada suatu hal, yang mana belum diketahui pasti siapa dalang dibalik semua ini.
“Apa tidak terlalu cepat aku datang ke sana?” tanya Naina di sela perjalanan.
Melewati hutan yang cukup rimbun dan penerangan hanya dari sinar rembulan yang sesekali meredup sebab tertutup awan, Naina mengandalkan burung di depannya sebagai penunjuk jalan.
“Sebelum matahari terbit, kau sudah harus ada di sana,” jawab burung tersebut sambil terus membuka jalan di depan.
Naina tidak tahu apa alasan dirinya dipanggil ke sana untuk menemui Tetua. Tapi entah mengapa, perasaannya jadi tidak enak.
Di pertengahan jalan, kabut mulai nampak. Selain harus menyingkirkan tanaman merambat dan ranting yang menutup jalan, kabut yang memenuhi pun semakin membuatnya kesulitan bergerak.
“Sebentar lagi kita sampai,” ujar burung tersebut memberitahu.
Naina hanya mengangguk pasrah. Tangan maupun kakinya terasa perih, mungkin goresan yang ia terima dari ranting pepohonan yang tajam meninggalkan luka di sana.
Saat secercah cahaya samar-samar terlihat dari balik kabut yang tebal, burung itu berkicau berulang kali. Kepakannya lebih kuat, sementara Naina terus mengekori dari belakang.
Sesampainya di sana, Naina langsung disuguhi pemandangan yang sedikit membuatnya tercengang. Tidak menyangka di hutan suci yang segalanya nampak subur dan dominan berwarna hijau, tempat ini justru bertolak belakang.
Ada aliran sungai kecil yang suaranya terdengar gemericik. Sinar dari rembulan hanya sedikit menembus tempat ini, sehingga penerangannya hanya melalui obor yang diletakkan di beberapa sudut tempat.
“Masuklah ke sana! Tetua sudah menunggumu,” perintah burung tersebut, paruhnya menunjuk ke suatu tempat.
Lirikan mata Naina mengikuti kemana arah tuju yang disebutkan. Pada sebuah pohon besar tua kering kerontang, hanya ranting dan dahan yang menjulang ke udara. Terlihat gersang sekali.
“Ke dalam sana?” tanya Naina memastikan, merasa tak yakin jika benar ini tempat yang dihuni oleh Tetua.
Burung itu mendesah pelan, balik bertanya, “Memangnya ke mana lagi? Adakah tempat lain selain itu yang kumaksud?” Ekspresinya seperti menahan jengkel.
Naina mencoba memahami bahwa binatang ini tidak seperti yang lain. Agak ketus dan sedikit kasar.
“Baiklah. Terima kasih sudah mengantarku sampai ke sini.” Naina mengangkat gaun lusuhnya, tanah basah yang dipijakinya terasa basah dan sedikit licin.
“Ya! Selanjutnya ikuti saja interupsi dari Tetua.”
Kepakan dari burung tersebut menandakan bahwa dirinya telah terbang tinggi. Menjauh, meninggalkan Naina sendirian di sana.
“Halo! Permisi?” Naina menyibak akar pepohonan yang menggantung—menghalangi pintu masuk.
Ketika tubuhnya sudah setengah masuk, kepalanya celingukan. Matanya mengedar, menatap ke sekeliling, tidak bisa dilihat terlalu jelas sebab ruangan pengap yang dimasukinya tampak remang-remang.
“Kau sudah datang ternyata.”
Suara barusan membuat Naina sedikit terperanjat. Kepalanya secara otomatis menoleh ke sumber suara, pada bagian paling gelap dalam tempat ini. Yang terdeteksi dalam pandangan hanyalah sepasang mata merah, amat menyala.
“Te-tetua?” Naina menyipitkan mata, mencoba mengenali dengan jelas sosok di sana.
“Ya, aku adalah Tetua. Kemarilah,” titahnya.
Dari suara, Naina memang yakin itu adalah rusa raksasa yang menjadi leluhur atau Tetua di hutan ini. Tapi kenapa yang hanya terlihat di sana hanya sepasang mata merah? Dalam kegelapan yang menyelimuti, Naina tak bisa melihat dengan jelas bagaimana rupanya.
Bergerak sesuai perintah, Naina pun perlahan berjalan mendekat padanya. Sesekali ia menelan ludah, merasa firasatnya semakin buruk, atmosfir di sini pun berubah drastis.
Tubuh gadis itu berdiri tepat di bawah celah pohon yang berlubang, sehingga ada sedikit cahaya yang menerangi. Membuatnya lebih terlihat menonjol di antara kegelapan yang menyergap.
Suara langkah kaki terdengar, sepasang mata merah itu bergerak kian mendekat. Semakin pendek jarak antar keduanya, Naina menanggahkan kepala, sosok itu begitu tinggi.
Dan saat tersisa beberapa langkah lagi sebelum sampai pada cahaya, dia berhenti.
Naina memberanikan diri untuk bertanya, “Maaf, Tetua. Sebenarnya kedatanganku ke sini untuk apa? Lalu—”
“Ssstt!”
Mulut Naina dibungkam oleh sebelah tangan manusia berkulit hitam kegosongan yang memiliki jari jemari panjang. Kuku-kuku yang tak kalah panjang itu terasa menusuk-nusuk kala meraup bibir Naina untuk dikunci.
Perih sekali. Rasanya seperti sedang ditusuk oleh paku, menembus hingga ke dalam pipi. Bahkan lidah yang kaku terapit kuat oleh kedua susunan gigi graham di dalam sana.
“Kau tidak punya hak untuk bertanya!” Perlahan ke lima jari itu terlepas dari bibir Naina, lalu jari telunjuknya diangkat naik, mendarat perlahan pada dahi gadis itu.
Naina tidak bisa bicara dalam posisi ini, seluruh bagian pipi dan mulutnya masih terasa sakit. Sementara sekujur tubuhnya laksana patung yang tak bisa bergerak walau sedikit.
Dimulai dari melihat tangan itu menunjukkan diri ke dalam cahaya remang yang menyorot, jelas sosok itu bukanlah Tetua. Dan sepasang mata merah itu juga bukan miliknya, Naina ingat betul tatapan teduh rusa itu tidak berwarna merah.
Lantas, siapa sosok dihadapannya saat ini? Dari suaranya, itu memang Tetua. Tapi tidak ada yang pernah bisa menerka, siapa dia sebenarnya.
“Tubuh kotormu perlu dibersihkan. Luka-luka di tubuhmu harus dihilangkan. Dan ingatanmu tentang si buruk rupa itu tidak boleh bersarang di kepalamu lagi. Jadi...”
Ujung kuku yang berada tepat di tengah dahi Naina, perlahan-lahan ditekan. Menusuk ke dalam, menembus kulit itu hingga aliran darah segar mengalir dari sana.
Sedang Naina yang merasa kesakitan tidak bisa berteriak atau membuat banyak reaksi. Tapi melalui tatapan itu, Naina menjelaskan semuanya.
Lambat laun, sosok mengerikan yang belum diketahui itu mulai unjuk diri. Kepalanya muncul dari gelap, berusaha mendekat pada Naina.
“... Biarkan aku menghapus semua itu pada dirimu.” Gigi dengan taring lancip itu berderet jelas, menunjukkan seringaian penuh arti.
Sedang Naina yang berada di ambang batas kesadaran, tak bisa mendeskripsikan jelas bagaimana rupa dari sosok dihadapannya saat ini.
Sebagian pandangannya menjadi buram, tertutup darah yang masih terus mengalir melewati mata—menetes-netes dari ujung dagu. Sementara napasnya mulai terasa sesak, seperti sudah berada di ujung.
Tapi satu hal yang bisa Naina pastikan, bahwa dia adalah seorang manusia. Bukanlah rusa raksasa yang selama ini dirinya ketahui.
***