Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Santi di rumah memandangi uang yang tadi berikan oleh ibunya. Air matanya tidak berhenti menetes, ia menangis tanpa suara. Ia terus berfikir untuk berhenti sekolah, tetapi ia tahu ibunya pasti akan melarangnya untuk berhenti sekolah. Tetapi Santi tahu, baik ibu maupun ayahnya bukanlah orang yang mampu untuk menyekolahkan mereka.
Ia menghela napas panjang, ia kembali berangan angan, seandainya ia berhenti sekolah dan bekerja sehingga punya penghasilan sendiri, pastilah hidupnya akan jauh lebih tenang dari haro ini. Ia mulai membayangkan jika ia memberikan gaji pertamanya kepada ibunya, pastilah ibunya akan menangis terharu untuk pertama kalinya dalam hidupnya.
Santi jadi tersenyum sendiri. Ia berangan angan lai, jika ia punya uang ia akan membeli jus buah naga, dan mengajak adik adik dan ibunya meminum jus buah naga sepuas puasnya.
Bila perlu ia akan membeli blender jus, sehingga ibu dan adik adiknya bisa membuat jus sendiri sesuka hati. Ia juga membayangkan, jika ia punya uang ia akan merenov rumah milik orang tuanya yang sudah reot ini
“Akhh senangnya,” ucap Santi lirih tanpa sadar ia tersenyum sendiri.
Tiba-tiba suara adiknya Lili yang sedang menangis terdengar oleh Santi, yang membuyarkan lamunan Santi. Dengan cepat ia membuka pintu, dan benar saja di depan pintu kedua adiknya yang masih kecil tengah berdiri. Dengan posisi Sisil memegang tangan Lili yang tengah menangis.
“Ada apa ini Sisil. Kenapa Lili menangis?” Santi langsung berjongkok di hadapan Lili untuk mengecek apakah Lili ada lecet atau tidak.
Jika ada mampuslah ia dibikin ibunya. Ibunya pasti marah kalau adik-adiknya sampai kenapa-napa, sedangkan dirinya ada di rumah.
“Adik nangis mbak, karena Celia enggak ngasih Lili pinjam boneka Barbienya. Mbak, Sisil dan adik mau boneka Barbie, nanti mbak belikan ya,” pinta Sisil.
Apalah yang ditahu oleh anak seperti Sisil dan lili. Menurut mereka anak dewasa pasti sudah ada uang. Dan menurut mereka mbak nya Santi pasti punya uang untuk membeli Barbie.
Santi langsung memeluk lili dan Sisil, kemudian mengajak mereka masuk ke dalam rumah.
“Untuk sementara kalian main apa yang ada dulu aja ya, nanti mbak janji akan belikan Sisil dan lili boneka Barbie. Sekarang main ini dulu ya” ujar Santi seraya membuat boneka anak bayi dari sarung yang ia buat seperti bedongan anak bayi. Dan memberikannya kepada Sisil dan lili.
“Beneran ya mbak, nanti mbak belikan Sisil dan adek Barbie” sorak Sisil bahagia.
“Ia bener, nanti mbak belikan, tapi untuk sekarang main ini dulu ya” ujar Santi.
“Yeee, nanti mbak bakalan beliin kita Barbie seperti punya Celia dek” ujar Sisil kepada lili.
Lili yang tadinya menangis ikut tertawa senang, sambil tangan kanannya menyeka ingusnya yang tengah keluar.
Santi meninggalkan kedua adiknya itu di ruang tengah. Ia berjalan menuju pintu rumah. Ia buka pintu itu, pandangannya lurus ke depan. Pemandangan gubuk gubuk para tetangganya. Ia merasa dunia begitu tidak adil baginya, bagaimana tidak baru beberapa jam berlalu, tetapi ia sudah menghadapi banyak kejadian yang mengiris hati.
Pertama di dapur saat adiknya ridho meminta ibunya meminjam uang lebih untuk bayar tunggakannya dan beli sepatu, dan kedua saat dia melihat ibunya bersimpuh di kaki pak Bani demi mendapatkan pinjaman sejumlah uang, ketiga saat ibunya cerita pengalaman pertamanya meminum jus buah naga di rumah pak Bani, dan kini keempat ia harus menyaksikan adiknya menangis hanya karena boneka plastik yang bernama Barbie itu.
“Ya tuhan, apakah tak ada cerita bahagia yang engkau siapkan untuk keluargaku hari ini?” tanya Santi sambil menatap langit cerah.
“Mbak, bonekanya rusak?” Sisil datang menghampiri Santi, ternyata boneka sarung yang tadi dibuat oleh Santi sudah terurai.
“Tidak apa apa, sini mbak buat lagi,” ujar Santi meraih kain sarung dari tangan kecil Sisil. Kemudian mengubahnya menjadi seperti bedongan bayi, mereka menyebutnya itu adalah boneka anak bayi.
“Mbak nangis?” tanya Sisil.
“Enggak, mbak enggak nangis, mbak cuman kelilipan.” Sahut Santi berbohong, “nih bonekanya sudah jadi, sana main sama adek” sambung Santi.
Sisil pun menurut, dan mengambil sarung yang sudah Sisil ubah jadi bentuk bedongan bayi itu, kemudian kembali bermain dengan lili.
Tidak lama kemudian adiknya Ujang dan Ridho yang masih SD pulang. Kedua adiknya pulang dengan wajah murung.
“Ini adik-adik mbak kenapa berwajah muruh begini, ada masalah di sekolah?” tanya Santi mencegat kedua adik laki-lakinya itu di depan pintu.
Ujang memasang wajah dongkol, begitu pula dengan Ridho
“Di tanyak kok diam saja, jawab donk pertanyaan mbak, ada masalah di sekolah?” tanya Santi sekali lagi.
“Mbak enggak lihat kami berdua pulang enggak pakai sepatu?” tanya Ridho kesal.
Pandangan Santi pun beralih ke kaki kedua adiknya itu. Ujang dan Ridho pulang dengan kaki telanjang tanpa memakai sepatu.
“Loh sepatu kalian berdua ke mana? Hilang atau bagaimana?” tanya Santi khawatir.
“Sepatunya sudah Ridho dan Ujang buang ke jembatan,” sahut Ridho sewot, sedangkan Ujang hanya mengangguk membenarkan ucapan abangnya, Ridho.
“Loh kenapa dibuang, jadi besok ke sekolah mau pakai apa?” tanya Santi, ia tidak habis pikir dengan kelakuan dua adiknya itu.
“Iya di buang, soalnya sepatu Ridho sama Ujang udah rusak parah sol dan sepatunya udah pisah. Bener-bener udah gak bisa dilem atau dijahit.”
“Iya mbak, sepatu Ujang juga pas di jalan langsung misah taplak sama kainnya, Ujang malu diketawain temen-temen, jadinya langsung Ujang buang saja ke jembatan, karena sepatunya rusaknya pas dijembatan,” ujar Ujang mendukung ucapan Ridho.
Ya, sepatu mereka berdua bukan hanya rusak tetapi benar-benar tidak layak untuk di pakai. Sol dan kain sepatunya sudah pisah, tempat talinya sudah robek, benar-benar itu bukan seperti sepatu tetapi seperti tumpukan sampah yang mereka pakai di kaki mereka.
Santi terdiam, kemarin memang ia sempat melihat keadaan sepatu adiknya itu, wajar saja mereka membuangnya, toh di perbaiki juga sudah tidak bisa. Sekalipun sepatu itu dibawa ke tukang jahit sepatu, tukang jahit itu pasti menyarankan untuk membeli sepatu baru saja daripada menjahitnya.
“Ya sudah kalian berdua, masuk lah, ganti baju lalu makan, kalian berdua pasti laparkan pulang dari sekolah,” perintah Santi dengan nada suara rendah.
“Memangmya ada lauk apa mbak?” tanya Ujang.
“Enggak usah di tanyak dek, palingan ubi rebus sama daun ubi rebus, Abang dah hapal betul dah lauk langganan di rumah ini,” sahut Ridho langsung masuk lebih dahulu ke dalam rumah. Kemudian di susul oleh Ujang.
Sedangkan Santi hanya terpaku duduk di depan pintu, ia tidak bisa lagi menopang bobot tubuhnya sendiri. Rasanya bebannya berat sekali.
“Tuh kan bener, ubi rebus lagi ubi rebus lagi, mau muntah liatnya,” Ridho berucap begitu membuka periuk di dapur. Dan suara Ridho kedengaran sampai ruang tengah.
Santi hanya diam saja. Ia merasa egois jika uang senilai dua juta rupiah yang saat ini ia pegang ia gunakan untuk melunasi tunggakan di sekolahnya. Sedangkan adik-adiknya dan orang tuanya selalu menikmati ubi dan daun ubi rebus.
“Ridho… Ujang… kemari…” panggil Santi.