Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14.
Tiga puluh menit kemudian, Ricardo kembali dengan dua piring spaghetti carbonara di tangannya.
Dengan tenang, seperti biasa, ia meletakkan piring-piring itu di atas meja makan yang berada di sudut ruangan.
Aroma lembut dari krim kental berpadu dengan wangi gurih beef bacon segera menyebar, memenuhi ruangan dan seolah-olah mengundang Adira untuk melupakan sejenak segala kecemasan yang tadi menghantuinya.
"Wuaaa... Sepertinya enak," ucap Adira menghampiri Ricardo.
Adira, yang sempat terkena serangan panik, kini tampak semangat dan riang.
Mata Adira berbinar-binar saat hidungnya menangkap aroma kelezatan hidangan itu.
"Hmmm... Wanginya.. "
Gurihnya keju parmesan yang meleleh, berpadu dengan kesegaran dari sedikit taburan peterseli, membuat perutnya yang lapar semakin keroncongan.
Ricardo, yang tetap tenang, mengambil air minum dingin dari kulkas kecil di ruangan itu, tak henti-hentinya memperhatikan setiap gerak-gerik Adira. Melihat perubahan suasana hatinya, Ricardo merasa puas.
Adira tiba-tiba menatap layar TV yang terpasang di dinding, tak jauh dari pintu kamar mandi.
Dia tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya berbalik dan menatap Ricardo.
"Bagaimana kalau kita makan di sana saja? Sambil nonton?" usulnya, dengan nada lembut dan penuh semangat.
Ricardo mengangkat alisnya sedikit, kemudian tersenyum samar.
"Tentu," jawabnya singkat.
Adira berjalan membawa piring spaghetti carbonaranya ke arah sofa yang berada di dekat TV.
Ricardo mengikuti di belakangnya, sambil membawa piringnya sendiri. Mereka kemudian duduk berdampingan, siap untuk menikmati hidangan sambil menonton, menciptakan suasana yang lebih santai dan nyaman.
Remote TV di tangan Adira sibuk menelusuri saluran demi saluran, mencoba mencari film yang pas.
"Kau suka film genre apa?" tanya Adira tanpa melepaskan pandangan dari layar TV.
Ricardo, yang duduk di sampingnya, hanya tersenyum kecil sebelum menjawab,
"Aku tak suka nonton TV."
Adira berhenti sejenak, mengangkat alis tanpa menoleh, masih terus mencari.
"Ho.. Kau suka nonton YouTube Atau Netflix gitu ya?," tanyanya dengan nada setengah bercanda, mencoba menebak kebiasaan Ricardo.
"Keduanya tidak." jawab Ricardo singkat.
Adira kini menoleh ke Ricardo, menatapnya dengan bingung.
"Ha? Lalu, apa gunanya TV LCD sebesar itu?" tanyanya sambil menunjuk ke arah TV.
"Itu bukan untukku, itu untuk tamu." jawabnya, lalu meneguk minumannya.
Adira mendengus sambil kembali fokus pada remote-nya,
"Kamu aneh deh," gumamnya, masih tidak habis pikir.
Adira akhirnya menghentikan pencariannya ketika menemukan Eclipse.
Sebuah film yang sudah sering ia tonton, namun selalu menyenangkan untuk ditonton ulang.
"Aku suka romance," kata Adira tanpa diminta, suaranya ringan.
Dia menatap layar TV sebentar sebelum menunduk, memutar garpunya di atas piring, menggulung spaghetti carbonara buatan Ricardo dengan sempurna, lalu memasukkannya ke mulut.
Rasa creamy dari saus keju yang lezat langsung memenuhi mulutnya.
Kelembutan tekstur pasta berpadu sempurna dengan daging beef bacon yang gurih dan renyah, memberikan kombinasi rasa yang kaya dan mendalam.
Setiap gigitan mengingatkan Adira pada hidangan di restoran bintang lima, tapi dengan sentuhan hangat buatan tangan.
“Hmmm.. Ini enak banget,” ucap Adira.
"Kau benar-benar bisa masak?" tanya Adira ragu.
Ricardo masih belum menyentuh makanannya, fokusnya sepenuhnya tertuju pada Adira yang tampak menikmati spaghetti miliknya.
“Kau tak percaya?” tanyanya, suaranya santai.
Adira balas tersenyum,
“Percaya… percaya…” lalu kembali terfokus pada layar.
Mereka berdua tenggelam dalam film Eclipse, yang sudah berada di tengah cerita.
Saat adegan romantis muncul, suasana hening seketika.
Adira, yang telah menghabiskan makanannya, menatap bosan ke piring kosongnya dan mulai memainkan garpu di meja.
Ekspresi wajahnya berubah saat adegan eksotis muncul. Dia tampak risih, jelas tak nyaman dengan pemandangan yang ada di layar.
Ricardo, yang menyadari perubahan itu, hanya bisa tersenyum tanpa suara. Dia merasa terkejut sekaligus lega melihat kesamaan di antara mereka—keduanya merasa tak suka adegan panas. Merasa canggung dalam situasi seperti ini.
Melihat ketidaknyamanan di wajah Adira, Ricardo tak bisa menahan perasaannya lebih lama lagi.
Dia benar-benar telah jatuh hati pada wanita polos di sampingnya ini, yang selalu bisa membuatnya terpesona dengan cara yang sederhana.
Adira menatap piring Ricardo yang masih utuh, lalu bertanya,
“Kau gak makan?”
Mata Ricardo memancarkan tawa,
“Kau masih mau?” sambil menawarkan piringnya padanya.
Adira menerima piring tersebut dengan ceria,
“Terima kasih!” suaranya penuh kegembiraan.
Ricardo menggoda dengan mengusap kepala Adira,
“Badanmu terlalu kecil untuk porsi makanmu yang banyak.”
Adira tertawa geli, menjelaskan,
“Kalau orang Indonesia itu, tak mudah kenyang sebelum makan nasi.”
Ricardo terdiam sejenak, menyadari sesuatu yang baru. Dia baru tahu bahwa Adira adalah seorang warga negara Indonesia. Selama ini, dia berpikir Adira adalah orang Pakistan atau India kulit putih.
"Kau Indonesia?" tanya Ricardo memastikan.
"Hummm" jawab Adira mengangguk.
"Kupikir kau Pakistan," ucap Ricardo.
"Hooo.. Nenek dari pihak ibu ku ada keturunan Pakistan nya, " jelas Adira.
Setelah menyelesaikan makan siang yang terlambat itu dengan penuh kehangatan, Ricardo dan Adira merasa semakin dekat.
Saat hari mulai malam, telepon Ricardo berbunyi. Dia mengangkat telpon nya dengan wajah serius,
"Ya?," ucap pada seseorang di telpon.
"Baik, aku mengerti." lalu menutup telponnya.
Ricardo lantas pamit kepada Adira sambil mengelus kepala Adira yang sedang memandangi senja di luar jendela.
"Aku pergi sebentar ya,"
“Pergi lagi?," tanya Adira mengulang perkataan Ricardo.
"Hummm.." jawab Ricardo mengangguk.
"Lama?” tanya Adira, sedikit cemas.
"Sedikit," jawab Ricardo.
Adira menunduk, ia cemas di tinggal sendirian lagi.
Ricardo menatapnya dengan lembut,
“Tak apa.. Kau aman di sini. Kali ini kau tak perlu menutup pintu dengan meja, akan ada orang yang berjaga,"
"Tapi aku tak tenang," keluh Adira.
"Kalau kau menutup pintu, pelayan tak bisa mengantarkan makanan padamu."
"Baiklah," ucap Adira pasrah.
"Aku pergi ya," ucap Ricardo meninggalkan Adira.
...
(ehemmm/Shhh//Shy/)