Welcome Yang Baru Datang☺
Jangan lupa tinggalkan jejak, Like, Vote, Komen dan lainnya Gais🌹
=====================================
Irene Jocelyn harus kehilangan masa depannya ketika ia terpaksa dijual oleh ibu tiri untuk melunasi hutang mendiang sang ayah. Dijual kepada laki-laki gendut yang merupakan suruhan seorang pria kaya raya, dan Irene harus bertemu dengan Lewis Maddison yang sedang dalam pengaruh obat kuat.
Malam panjang yang terjadi membuat hidup Irene berubah total, ia mengandung benih dari Lewis namun tidak ada yang mengetahui hal itu sama sekali.
hingga lima tahun berlalu, Lewis bertemu kembali dengan Irene dan memaksa gadis itu untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi lima tahun lalu.
Perempuan murahan yang sudah berani masuk ke dalam kamarnya.
"Aku akan menyiksamu, gadis murahan!" pekik Lewis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bucin fi sabilillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayah Kalah!
Di halaman belakang dekat kolam berenang. Lewis memandangi dua miniatur kecilnya yang sudah berkacak pinggang dengan perasaan kesal.
"Om mengganggu kesenangan kami!" ketus Diego.
"Apa om tidak pernah kecil? Anak kecil harus dimanja setiap waktu. Apalagi ibu kami hanya memiliki waktu terbatas setelah bekerja seharian!" ucap Devon berhasil menyinggung luka lama Lewis.
Wajah yang tadinya penuh semangat, kini terlihat sayu dan muram. Jangankan untuk bermanja, bertemu saja mereka hanya hitungan menit.
"Kalian laki-laki! Gak boleh terlalu manja!" ketus Lewis.
"Huh! Om saja juga manja sama ibu!" tukas Diego tidak terima.
"Itu jelas beda! Ibu kalian itu istriku, bukan ibuku!" ketus Lewis.
Mereka berkacak pinggang seolah tidak ingin mengalah satu sama lain.
Kilatan ide jahat muncul dalam benak Lewis untuk mengerjai anak-anak nakal ini.
"Sebentar lagi, ibu kalian akan hamil dan memiliki anak baru! Dia nanti gak sayang sama kalian lagi!" bisik Lewis membuat mereka berdua terdiam.
Diego dan Devon saling menatap satu sama lain. Ayah badjingannya ini sangat bo*doh ternyata.
"Tidak! Lebih tepatnya, jika Ibu memberikan kami adik, artinya waktu ibu akan lebih banyak buat kami dari pada Om!" ucap Devon tegas.
Lewis hanya meringis mendengar jawaban Devon yang seolah lebih paham dibandingkan dirinya.
"Oh ya! Kalau begitu sore ini kalau kalian berhasil mengalahkanku, malam ini Irene boleh tidur dengan kalian. Tapi kalau kalian kalah, Kalian harus memanggilku Ayah!" ucap Lewis tersenyum jahat.
Diego dan Devon yang memasang wajah sombong perlahan menjadi kaku dan tidak percaya.
Mereka saling menatap seolah mengerti isi hati dan pikiran masing-masing. Hanya anggukan sebagai jawaban dari diskusi batin mereka.
"Ibu bilang harus adil! Kalau tidak, malaikat akan mencabut gigi om saat malam hari!" ucap Diego tegas.
Lewis hampir saja tertawa mendengar ancaman mereka. Namun sebagai kompetitor, ia harus memperlihatkan sisi tegas dan galaknya sebagai laki-laki dewasa.
"Oke! Siapa takut!" ucap Lewis.
"Biar adil, om mengajukan satu permainan dan kami juga akan mengajukan satu permainan. Bagaimana?" tanya Devon.
Lewis mengangguk. Memang permainan apa yang bisa mereka berikan. Anak kecil yang manja dan tidak tau apa-apa ini. Ia akan mendidik mereka dengan keras agar bisa berguna ketika dewasa nanti.
"Silahkan om mulai duluan!" pinta Diego menantang.
"Kalian bisa berenang?" tanya Lewis.
Mereka mengangguk dengan pasti. "Kalau begitu, kita akan berenang bolak balik, yang sampai dulu dia yang menang!" sambungnya.
Diego dan Devon tersenyum pasti. "Oke! Siapa takut!" "ucap Mereka.
Lewis dan Devon bersiap untuk melompat, sementara Diego berdiri di ujung kolam dan juga bersiap untuk melompat.
"Apa kalian berdua?" tanya Lewis mengernyit.
"Apa om takut kalah?" tanya Devon tersenyum bangga.
Mereka sudah latihan berenang selama dua tahun, tiga kali dalam seminggu, bahkan pernah menang dalam lomba tingkat anak-anak.
"Tunggu, aku harus panggil ibu untuk jadi wasit!" ucap Devon memanggil Irene.
Wanita cantik itu mengernyit heran namun mengikuti langkah kaki putranya.
"Ibu harus lihat siapa yang sampai duluan biar gak ada yang curang!" titah Devon.
Irene meringis dan mengangguk pasti. Ia yakin kalau anak-anaknya akan kalah dari Lewis. "Semangat sayang!" ucapnya.
Tiga pria itu mengangguk pasti, kata 'Sayang' yang diucapkan Irene terdengar ambigu dan memihak.
"Satu, dua, tiga, GO!" ucap Irene bersemangat.
Devon melompat dengan cukup jauh, sementara Lewis menatapnya dengan tidak percaya. Ketika Devon berenang dengan cepat, barulah ia melompat ke dalam kolam dan menyusul.
Namun riak air terlihat ketika Diego sudah ikut melompat, itu artinya ia akan tertinggal jauh dengan anak-anak ini.
Tepat ketika tangannya menyentuh pinggir Kolam, Diego sudah lebih dulu menyentuhnya dan berteriak senang.
"Kak, kita berhasil! Ibu akan tidur malam ini sama kita," serunya dengan bahagia.
Lewis menatap Irene tidak percaya. Pasti ada kecurangan di sini.
"Diego memang sampai lebih dulu! Makanya jangan meremehkan lawan anda!" ucap Irene dengan tidak percaya.
Lewis juga tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Irene tersenyum melihat kebingungan Lewis. Mengapa pria tampan ini meragukan bibitnya sendiri.
"Mereka sudah menjadi atlit dari usia tiga tahun!" jelas Irene membuat Lewis terdiam.
Dia sudah meremehkan anak-anak ini.
"Sekarang dari kami, om sudah kalah satu kali. Jika om kalah lagi, Ibu malam ini tidur sama kami!" tegas Devon.
Lewis hanya mengangguk. Mereka membersihkan badan dan mengganti pakaian terlebih dahulu.
Irene menatap Lewis yang masih mengeringkan badannya. "Ada yang menelpon anda tadi," ucap Irene membuat Lewis menatapnya dengan lekat.
"Siapa? Kenapa kau lancang melihat ponsel orang lain?" tanya Lewis tidak suka.
Irene terdiam. "Maaf jika orang lain ini begitu lancang. Mungkin orang yang menelpon anda lebih penting dari pada orang lain ini," ucapnya tersenyum pahit.
Lewis tergagap ketika menyadari ucapannya. "Saya, saya tidak bermaksud seperti itu," kilahnya.
"Shirley yang menelpon. Dia menunggu anda di apartemen," ucap Irene berlalu meninggalkan Lewis di sana sendiri.
Pria tampan itu merasa sedikit menciut ketika melihat sorot mata Irene yang terlihat kesal. Ia mengekori langkah kaki Irene dan berusaha untuk menjelaskan.
Namun sepanjang langkah, ia hanya terdiam dan tidak tau harus menjelaskan bagaimana kepada wanita cantik itu.
Diego dan Devon sudah kembali dengan bersemangat. Mereka sudah membawa dua papan tulis kecil yang ada di kamar beserta spidol.
"Ibu, tolong berikan kami angka yang panjang untuk dihitung," ucap Devon tersenyum manis.
"Tidak! Nanti kalian akan curang!" tolak Lewis.
Ia memanggil Pak Man untuk menyediakan beberapa angka yang akan mereka hitung sore ini.
"Hanya menghitung, kalian pasti akan kalah!" ejek Lewis.
Ia sangat pandai berhitung dalam kepala. Melawan anak kecil seperti ini tidak akan sulit.
"Yakin? Kalau Om kalah, tidak ada pertandingan ke tiga, dan kami akan menang telak!" ucap Diego dengan pasti.
"Jangan berbangga diri!" ketus Lewis.
Ia seperti tengah bercermin. Melihat kesombongan mereka ia hanya tersenyum tipis. Memang bibit unggul.
Pak Man mengucapkan beberapa angka, mereka menghitungnya dengan sungguh-sungguh.
"Ditambah 845, sama dengan?" ucap Pak Man
"2076!" ucap Devon lebih dulu.
"Yeeee kita menang!" teriak Diego. Ia menunjuk ke arah Lewis.
"Ayah kalah!" ucapnya dengan bangga.
Semua orang terdiam mendengar panggilan yang dilontarkan oleh Diego.
Lewis terdiam, hatinya menghangat. Walaupun ia kalah, tapi panggilan Diego membuatnya merasa ingin menangis saat ini.
"Kalian memang hebat!" ucap Lewis dan memilih untuk pergi dari sana.
Baik Diego, Devon dan Irene hanya terdiam menyaksikan kepergian Lewis.
"Ibu, Apa aku salah?" tanya Diego lirih.
"Tidak, Sayang! Ayo kita ke kamar dulu," titah Irene mengajak mereka kembali ke kamar.
"Ibu, apa ayah tidak suka kita panggil seperti itu?" tanya Diego dengan air mata yang mengalir.
"Bukan begitu sayang! Ayah mungkin hanya terkejut saja," ucap Irene menghibur.
Devon makasih terdiam. Reaksi Lewis di luar perkiraan mereka.
"Mungkin ayah tidak akan menerima kita, Bu!" ucapnya pelan.
Singkat namun membuat hati Irene merasa tersayat. Jika ia yang terabaikan, mungkin tidak jadi masalah. Tapi ini anak-anak yang begitu menginginkan sosok ayah di sisi mereka.
Lewis terlalu kekanak-kanakan!. batin Irene tidak terima melihat anak-anaknya sedih seperti ini
Ia harus bicara dengan Lewis, Laki-laki itu tidak boleh bertindak semena-mena seperti ini!.
"Ibu, biarkan saja. Boleh peluk kami, bu?" tanya Diego yang masih terisak.
Irene hanya mengangguk dan mengelus kedua anaknya dengan lembut.
Sementara di kamar utama, punggung Lewis terlihat bergetar dengan suara isak yang tertahan.
Ia menangis!
di tunggu bab selanjutnya ya🥲🥲