Kisah sebuah pertemanan yang berawal manis hingga renggang dan berakhir dengan saling berdamai. Pertemanan yang salah satu diantara keduanya menaruh bumbu rasa itu terjadi tarik ulur. Sampai memakan banyak kesalahpahaman. Lantas, bagaimanakah kisah selanjutnya tentang mereka? apakah keduanya akan berakhir hanya masing-masing atau asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Ternyata pelaku selama ini
Seusai mendapat izin dari orang tua nya Adhara, Langit segera mengajak gadis itu ke suatu toko boneka. Di suasana malam seperti ini kebahagiaan Dhara semakin bertambah.
"Pilih mau yang mana bonekanya," ucap Langit menunjuk ke beberapa boneka aesthetic yang tertata rapi.
Adhara masih menyapu pandangannya ke seluruh boneka yang ada di toko tersebut, Sampai langkahnya tiba tiba terhenti di depan lemari kaca yang ada boneka berwarna coklat. "Ini bagus banget, iya ini yang aku mau. Boneka beruang yang imut." ujar Dhara mengambil boneka itu.
Langit melihat wajah Adhara sangat bahagia ketika ia memegang boneka beruang berwarna coklat tersebut. "Kalo mau ambil aja," balas Langit.
"Nggak deh," gumam gadis itu mengembalikan boneka tadi ke dalam lemari kaca.
"Kenapa nggak diambil?" tanya Langit memperhatikan Adhara.
Raut wajahnya terlihat sedih, "Harganya mahal Lang." ucapnya.
"Ambil aja sama yang putih itu mau nggak? sekalian ambil aja, aku yang beliin buat kamu." ujar Langit.
Adhara tampak melihat ke sebuah boneka beruang warna putih dan ada kalung yang terpasang di boneka itu.
"AL" sebut Langit membuat Dhara menoleh bingung.
"AL? maksud kamu?"
Langit mengambil boneka beruang putih itu lalu memperlihatkan pada Adhara. "Yang ini kalungnya huruf 'A' dan yang kamu pegang itu huruf 'L'."
"Jadi? aku sama kamu?" tebak gadis tersebut tak mengerti.
Ponsel Adhara muncul bunyi notifikasi pesan. Ia pun segera membukanya.
Keisya
[Mbak, tadi kan aku ngobrol sama bang Vano terus dia nyeritain kalo kecelakaannya dia itu pelakunya adalah kak Langit.]
Seketika raut wajah Dhara berubah, Langit yang memperhatikan pun di buat bingung. Gadis itu menatap Langit dengan tatapan seperti benci.
"Kamu kenapa?" tanya Langit.
Dhara pergi keluar toko dan dikejar oleh Langit. Sampai sedikit jauh dari toko, Langit berhasil menghentikan langkah Adhara.
"Kamu kenapa, Ra?"
Raut wajah Adhara sangat terlihat tak suka begitu tahu bahwa yang menyerempet Vano adalah Langit. Di dalam hatinya ia benar-benar kecewa, kenapa Langit tidak pernah bilang bahwa dia adalah pelaku dari kejadian 2 bulan yang lalu.
Dhara langsung membuka botol berisi air dari dalam tasnya dan menyiramnya pada Langit. Duh ... untung hasil belanjanya udah di taruh di mobilnya Langit jadi nggak ikut basah kuyup.
Sementara Langit terkejut atas perlakuan Dhara yang ia tak tahu apa sebabnya dirinya melakukan hal itu. Sekujur tubuh Langit basah. Ia pun mendongak menatap Dhara yang masih memasang wajah benci.
"Gue kira lo orang baik, tapi ternyata lo pengecut! lo pengecut ngerti nggak!?" pekik gadis itu sambil menunjuk wajah Langit.
Langit hanya diam. "Iya, saya salah, maaf."
"Maaf lo bilang? coba lo tanya sama diri lo sendiri berapa harga nyawa? lo tanya nyawa bisa ditukar sama apa biar adil selain harus dibayar dengan nyawa juga?" Kemarahan Adhara menatap tajam pada lelaki itu.
Langit sudah pucat dan takut jika sang bintang yang ia sayangi selama 2 tahun itu akan meninggalkannya. "Aku udah bertanggung jawab, Ra." jawab lelaki tersebut.
"Mau tanggung jawab atau nggak nya gue tetep nggak terima sepupu gue satu-satunya dicelakain sama lo!" murka Dhara semakin emosi.
"Aduh, hp gue pake mati segala lagi. Mana masih di taksi gini charger lupa nggak gue bawa. Ck, pasti mbak Dhara salah paham nih. Padahal gue mau jelasin kalo kak Langit itu udah tanggung jawab." gumam Keisya khawatir.
•••••••
Kebetulan saat malam itu Vano habis nongki bersama teman temannya. Dan ia melihat Dhara dan Langit. "Itu si Ara, 'kan? ngapain mukanya marah marah kek gitu ke Langit." gumam Vano mengurangi kecepatan motornya.
"Harus gue samperin, ada yang nggak beres pasti."
Plakk!
Tamparan keras dari Adhara mendarat tepat ke pipi Langit. Rasa nyeri semakin terasa di pipi Langit setelah dirinya di siram air botol oleh Dhara. "Semua itu musibah, kita nggak tau bahkan nggak ada yang mau itu terjadi." penjelasan Langit.
Adhara semakin kesal ia hampir menampar Langit lagi, namun langsung dicegat oleh Vano.
"Ra, lo tenang dulu. Kontrol emosi lo, plis, dengerin dia jelasin semuanya." ucap Vano dengan napas tak beraturan.
"Dia yang nyelakain lo, Van!" pekiknya.
"Dengerin dulu kejadiannya gini ..." ucap Vano mulai menjelaskan.
Dalam kondisi emosi dan pikiran yang sedang tak baik, Vano mengebut motornya. Vano menyalip mobil yang di kendarai oleh Langit.
Setelah itu mobil Langit pun menyalip Vano karena saat itu Langit tengah ada urusan penting dengan penerbit buku. Kejadian yang tak terduga pun terjadi, mobil Langit menyerempet Vano yang berada di kiri jalan.
Akhirnya motor Vano oleng dan ia pun terjatuh bahkan siku nya langsung berdarah dan kakinya terjepit motornya. Dalam perkiraan Langit ketika ia menyalip tadi mobilnya tak akan menyerempet, tetapi entah kenapa ia lupa menginjak gas dan salah mengarahkan setirnya.
Langit yang melihat Vano terserempet pun segera menghentikan mobilnya dan berlari menghampiri Vano karena ia akan bertanggung jawab. Namun, pada saat Langit berlari keluar dari mobilnya, ia malah ditabrak mobil yang tengah melaju cepat.
"Argh ... gue bakal tanggung jawab atas semua ini." Langit mengerang kesakitan setelah tertabrak mobil dari arah belakang.
Di sekujur tubuh Langit berdarah segar, ia tetap bangkit meskipun sudah lemas. Langit menghampiri Vano yang lukanya tidak separah dirinya sendiri.
"Ayo ikut gue, gue bakal tanggung jawab semua biaya sampe lo sembuh." ucap Langit memapah Vano.
Vano heran meski tubuhnya masih nyeri karena lutut dan siku tangannya lecet. "Nggak papa gue, mending gue yang bantuin lo buat kerumah sakit. Luka lo parah banget asli." balas Vano menatap dahi Langit yang bercucuran darah.
Langit menggeleng, "Gue pelaku yang nyerempet lo," ujarnya.
Vano segera membangkitkan motornya. "Lo itu lebih parah dari gue. Gue cuma lecet, sedangkan lo semuanya berdarah kayak gini. Mana pelakunya kabur juga." decak kesal Vano.
"Iya gue tau, yang terpenting luka lo dulu yang harus diobatin. Ayo gue anter ke rumah sakit." ucap Langit.
"Tapi lo harus janji, begitu sampe rumah sakit lo juga harus di obatin." sambung Vano.
"Iya,"
"Sus, tolong bawa dia abis kecelakaan." ujar Langit pada suster.
Suster menatap Langit dan Vano, "Tapi mas nya juga perlu tindakan secepatnya sebelum kehabisan darah." balas si suster itu.
"Iya, Sus, lebih baik dia dulu yang diambil tindakan cepat soalnya udah parah banget." sahut Vano.
Langit sudah sangat lemas dan akhirnya ia pun mengikuti saran suster dan Vano. "Tenang aja, kalo gue kenapa-napa gue bakal kasih tau lo, karena lo masih punya tanggung jawab terhadap keselamatan gue." bisik Vano pada Langit.
Setelah kejadian itu diceritakan jelas oleh Vano, kini Adhara masih diam tak mau menatap Langit.
"Nah setelah itu ... lo tau nggak apa yang terjadi sama Langit?" tanya Vano.
"Apa?" tanggap gadis itu dingin.
"Yang lo pikirin waktu itu cuma gue. Lo nggak tau gue nggak pulang karena nungguin Langit kritis selama 2 hari. Gue nyuruh temen gue buat bawa motor gue kerumah temen gue. Dan begitu dia siuman dia masih sempet nanyain luka gue! dia nanya biaya administrasinya berapa, dia nanya rumah gue di mana itu semua bukti bahwa Langit itu bertanggung jawab." jelas Vano panjang lebar.
Seketika air mata Adhara mengalir membasahi pipinya. Ia mulai menatap wajah Langit yang hanya diam menyimak obrolan mereka berdua. "Lang ... gue minta maaf ... gue salah sama lo. Gue kira lo cowok pengecut, sekali lagi-"
"Lo nggak salah, Ra. Mungkin itu musibah buat gue yang nyetir mobilnya ngebut." jawab Langit.
Vano menatap Dhara sambil menghela napas panjang. "Huft ... sekarang lo paham 'kan kenapa waktu gue ketemu dia di rumah lo keliatan akrab karena kita udah kenal dan gue punya nomernya dia." ujar Vano.
"Lang, gue malu banget ...," rengek Adhara sesegukan tangis.
"Lo nggak perlu malu, gue juga nggak maksa lo buat jadi pacar gue. Yang di cafe itu gue cuma bercanda," balas Langit.
Langit mengusap air mata Dhara, "Emang lo beneran suka sama gue?" pertanyaan Adhara membuat Vano berkacak pinggang.
"Beneran kalo soal itu," balas lelaki itu.
"Gue malu banget ...," rengek gadis tersebut.
Langit menatap Vano sekilas, "Boleh makan es krim nggak si Dhara?" tanya lelaki itu pada Vano.
Vano mengangguk. "Boleh, asal jangan sampe makan lebih dari dua." jawabnya berkacak pinggang.
"Emang pernah makan es krim banyak?" tanya Langit.
"Pernah makan lima es krim abis ludes sama dia, abis itu perutnya sakit dan gue yang ngurusin dia kalo lagi sakit." balas Vano membongkar tentang Adhara.
Adhara memasang wajah kesal. "Lo tuh kejujuran banget kalo bongkar tentang gue, ya." celetuk gadis itu bersidekap.
Vano dan Langit tertawa heran. "Lah nyatanya kayak gitu kan? tapi ya ... gue anggep lo adek gue sih, jadi udah biasa aja bercandaan bareng." ucap Vano.
"Lo deket banget sama Dhara?" kini Langit masih ingin bertanya.
"Udah dari kecil umur 5 tahun main bareng mulu, dan asal lo tau gue itu dulunya persis kek lo yang cuek\+dingin tapi gue jadi friendly nih gara-gara si dia." cerita si Vano.
Langit terkekeh heran, "Masa sih?"
"Lah, serius gue, setiap ada cewek yang pdkt ke gue kalo gue nggak respect selalu diinjek kaki gue sama dia noh." sambungnya memicingkan matanya ke Adhara.
"Sakit nggak?" Langit semakin yakin bahwa Adhara dan Vano sulit untuk dipisahkan.
"Ya sakit lah."
"Udah-udah, daripada lo berdua bahas tentang gue dari mulutnya si Pano mending kita pulang aja. Udah jam 10 nih," ujar Dhara.
"Pake mobil gue aja sekalian bareng," kata Langit.
"Yoi, bentar gue telpon sopir pribadi dulu buat bawain motor gue." sahut Vano.
"Yain." Hela napas Dhara berjalan menuju tempat mobil Langit parkir.