Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Gugup
...----------------...
"Kamu kenal sama suaminya Lilis?" tanya Lilis penasaran. Mungkin saja lelaki itu adalah temannya Liam—suaminya. Ryan menggelengkan kepala membuat Lilis bertambah heran saja.
"Nggak terlalu kenal, tapi sebenarnya kita ini bertetangga. Aku mengontrak di rumahnya Pak RT."
"Eh, yang bener?" Lilis terkejut dengan pengakuan Ryan. Selama ini dia tidak sadar akan kehadiran lelaki itu di wilayahnya.
"Aku ngontrak belum lama dan jarang bertemu dengan kalian walaupun kita bertetangga. Tapi aku tahu kamu dari Rara."
Tentu saja itu adalah hal bohong yang dijadikan alasan oleh Ryan. Selama ini Rara tidak pernah membahas tentang keluarga Lilis kepada lelaki tersebut.
"Oh, iya. Rara anaknya Pak RT, ya," ungkap Rara dan Ryan menganggukkan kepalanya.
"Heh, kalian!"
Suara Dania membuat perhatian keduanya tersita. Lilis sangat terkejut, tetapi tidak begitu dengan Ryan. Lelaki itu sudah tahu jika Dania akan datang.
"Udah, Mbak. Nggak usah ngomel lagi! Aku juga mau pergi, kok," ucap Ryan tak mau diceramahi panjang. Dania pun mengernyit heran.
"Eh ... tunggu dulu! Main pergi-pergi aja kamu!" Dania menarik bagian atas baju bagian belakang Ryan. Lelaki itu pun tertahan.
"Apa, sih? Memangnya aku anak kecil ditarik kayak gini." Ryan protes sambil melepaskan tangan Dania.
"Mbak baru ketemu kamu lagi semenjak kamu pindah. Kenapa kamu belum ngasih alamat rumah kontrakan kamu yang baru? Mbak kan mau tahu," desak Dania. Semenjak pindah, Ryan seperti sengaja menghindari pertemuannya dengan Dania. Bukannya apa-apa, Ryan hanya tidak suka jika Dania terus mengungkit papanya.
"Tanya aja sama Lilis! Bentar lagi aku take." Ryan langsung pergi karena sudah waktunya dia bermain akting lagi. Seorang kru sudah memberikannya kode agar lelaki itu segera menghampiri lokasi syuting lagi.
"Ryan!"
Walaupun dipanggil beberapa kali, Ryan tetap berjalan pergi. Dania pun hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.
"Eh, dia teh misterius pisan!" seru Lilis yang masih bingung dengan sikap Ryan.
"Kamu kenal Ryan?" tanya Dania membuat Lilis sedikit kelabakan.
*****
Sang mentari terus merangkak dan kini agak menjorok ke arah Barat. Ryan sudah bersiap dan begitu bersemangat hendak mengajak Rara makan. Dengan memakai kaos polo berwarna putih dipadukan dengan celana chino berwarna cream, Ryan terlihat menawan dengan tampilan santainya. Apalagi ditambah dengan lapisan outfit berupa jacket trucker yang tak lekang sepanjang masa, membuat lelaki itu terlihat semakin gagah saja.
Dia sudah berdiri di depan rumah Rara dan segera mengetuk pintunya beberapa kali. Tak lama pintu itu pun dibuka oleh Rendy.
"Kak Rara ada?" Ryan bertanya karena Rendy tak langsung bicara sesaat setelah membuka pintu. Anak kecil itu hanya terdiam sambil memperhatikan Ryan dari bawah hingga atas.
"Ada," jawab Rendy singkat.
"Boleh minta tolong dipanggilkan? Bilangin Bang Ryan udah nungu di luar!"
Rendy hanya mengangguk sebagai tanggapan. Anak lelaki itu pun lantas pergi menemui Rara. Kebetulan orang tua Rara tengah pergi kondangan. Jadi, di rumah itu hanya ada Rara dan adiknya saja.
Rendy yang disuruh Ryan memanggil Rara melakukan tugasnya dengan baik. Anak lelaki itu mengetuk pintu kamar kakaknya lantas dibuka setelah tiga kali bersuara.
"Ada apa?" tanya Rara sambil mengucek mata. Sepertinya gadis itu baru terbangun dari tidurnya.
"Bang Ryan udah nunggu di luar," kata Rendy sesuai yang amanatkan kepadanya.
Rara pun mengernyitkan kening. Dia bingung mau apa lelaki itu menunggunya. Pasalnya, Rara belum menyadari akan kesalahannya salah kirim pesan. Ponselnya mati karena lupa dicharger ketika dia ketiduran.
"Mau ngapain?" tanya Rara lagi.
"Mana ku tahu." Rendy mengedikkan kedua bahunya, lalu pergi begitu saja. Tugasnya sudah selesai untuk menyampaikan pesan Ryan. Dia kembali duduk di depan televisi untuk melanjutkan kegiatannya tadi.
Rara berdecak sebal. Napasnya pun terlontar kasar. Ia masuk kembali ke kamar untuk mencuci wajah, setelah itu baru keluar rumah.
"Mau ngapain, sih?"
Ryan yang sudah menunggu beberapa saat menoleh ke arah Rara. Kedua matanya langsung menyipit dengan kening mengernyit heran. Kenapa penampilan gadis itu terlihat biasa saja? Bajunya pun hanya memakai piyama.
"Kamu belum siap?" tanya Ryan sambil menyapu penampilan Rara dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Siap apa?"
"Loh, kamu lupa kalau ada janji makan di luar sama aku sore ini?"
"Janji? Kapan? Jangan ngarang, ya! Memangnya aku hilang ingatan sampe mau makan di luar sama kamu," sanggah Rara yang merasa tidak pernah menjanjikan apa-apa kepada Ryan.
"Dih, masih muda udah pikun." Ryan merogoh ponselnya di saku celana, lalu menggulirkan layar untuk mencari pesan yang dikirim oleh Rara sebelumnya. "Terus yang ngirim pesan ini siapa kalau bukan kamu?" tambah Ryan sambil menunjukkan layar ponselnya. Di sana terlihat percakapan mereka lewat pesan Whatsapp.
Kedua mata Rara membelalak sempurna bahkan langsung meraih ponsel Ryan sedikit memaksa. Dipelototinya pesan itu dengan seksama dan memang benar yang mengirim pesan itu adalah dirinya. Rara yakin jika penglihatannya masih baik-baik saja.
"Tunggu sebentar!"
Rara berlari ke dalam kamar mengambil ponselnya yang masih diisi daya. Butuh beberapa saat untuk menyalakan kembali dan mengecek pesan yang dia kirim sebelumnya kepada Ryan. Benar saja, beberapa saat setelah ponselnya menyala, beberapa pesan masuk dari Hery dan isinya bertanya tentang pertanyaan yang tidak kunjung dibalas oleh Rara. Padahal, Rara yakin sudah membalasnya.
"Ah, sial! Kenapa harus salah kirim, sih?" decak Rara sambil mengacak rambutnya kasar. "Gimana aku bisa nolak dia?" imbuhnya.
"Janji itu harus ditepati. Kasian Bang Ryan udah nunggu dari tadi." Tiba-tiba Rendy menyeletuk seperti itu. Ternyata Rendy masih mengamati perilaku kakaknya. Entah sejak kapan anak kecil itu sudah berdiri di ambang pintu. Rendy yang masih kecil saja tahu bagaimana menghargai orang yang sudah menunggu.
"Tapi kakak nggak sengaja ngirim ke dia."
"Yang salah Kakak, jadi harus tanggung akibatnya. Kakak jangan nambahin kesalahan Kakak itu dengan membuat orang lain kecewa. Hanya makan di luar nggak bikin Kakak rugi, kan?"
Begitulah Rendy. Walaupun usianya masih bocah, tetapi bijaksananya melebihi pria dewasa. Dia yang selalu irit berbicara, sekalinya melontarkan kata-kata membuat orang lain susah membantahnya.
Rara mendengkus, lalu menarik napas panjang sebelum mengeluarkannya perlahan. Perkataan adiknya berhasil meruntuhkan dinding keegoisan gadis itu. Akhirnya, Rara bersedia untuk makan di luar dengan Ryan.
Beberapa saat kemudian, Rara keluar lagi dengan gaya yang berbeda. Gadis itu sudah berdandan dan terlihat cantik dengan balutan midi dress berwarna mocca. Sungguh serasi dengan model rambutnya yang dicepol di tengah sehingga leher jenjangnya bisa terlihat begitu indah.
Ryan sampai lupa berkedip melihat kecantikan gadis itu. Rara pun kesal karena lelaki yang diajak bicaranya itu hanya diam saja.
"Woy, jadi nggak makan di luar?"
Barulah Ryan tersadar karena suara Rara terdengar begitu kencang.
"Oh, iya. Jadi, dong," sahut Ryan sedikit gugup. Lelaki itu salah tingkah dan mencoba tenang dengan mengusap dada. Aliran napasnya tiba-tiba sesak karena ulah jantungnya berdetak lebih cepat.
...----------------...
...To be continued...