Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menabur Benih
Wajah Nurul langsung berubah mendengar tuduhan itu. Matanya berkedip cepat, menahan air mata yang hampir jatuh.
Namun, dia berusaha menenangkan dirinya.
Alih-alih membalas, Nurul menundukkan kepala, mencoba menekan kesedihan yang menyelimuti hatinya.
Dia tahu, di balik kemarahan Bu Sri, ada rasa putus asa yang mendalam.
"Saya hanya ingin membantu." Bisik Nurul perlahan, lebih kepada dirinya sendiri.
Suaranya hampir tidak terdengar di tengah ketegangan yang melingkupi ruangan.
Pak Jali hanya diam di samping istrinya, wajahnya juga menyiratkan frustrasi.
Mereka berdua sudah terlalu lama bergumul dengan penyakit Raka, dan harapan yang terus-menerus patah membuat mereka mudah tersulut.
Mumu yang melihat situasi semakin memanas, segera melambai tangannya untuk menetralisir suasana.
“Ibu, Bapak, jangan terburu-buru menentukan sesuatu.” Ucapnya dengan tenang namun tegas.
“Saya belum selesai bicara. Saya mengerti ini sulit, dan kondisi Raka memang tidak mudah diobati."
"Tapi bukan berarti tidak mungkin. Proses penyembuhan seperti ini memang memerlukan waktu. Tidak ada pengobatan instan.”
Buk Sri terdiam sejenak, matanya masih menyiratkan ketidakpercayaan.
“Jadi menurut Pak Dokter, ada harapan untuk anak kami?”
Mumu mengangguk. “Betul, Buk. Kami akan melakukan dengan maksimal."
Pak Jali mulai terlihat sedikit lebih tenang, meski masih ada keraguan di wajahnya.
“Apa kah Pak Dokter benar-benar bisa menyembuhkan anak kami?”
“Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak.” Jawab Mumu. Ia tidak mau terlalu banyak omong kosong. Tindakan lah yang diperlukan bukan ucapan tanpa akhir.
Bu Sri dan Pak Jali saling berpandangan. Ada secercah harapan di mata mereka.
Meski mereka tampak lebih tenang, tidak ada ucapan terima kasih kepada Nurul yang telah mengantar mereka ke tempat ini.
Mereka juga tidak berusaha untuk meminta maaf karena telah menuduh Nurul.
Nurul hanya tersenyum tipis, lega karena setidaknya mereka memberi kesempatan pada Dokter Mumu dalam perawatannya.
Namun di dalam hatinya, ada rasa sedih yang masih tersisa.
"Dok, masih banyak pasien di luar. Jika Dokter fokus mengobati pasien ini maka waktunya akan habis tanpa kita sempat mengobati pasien yang lain." Ujar salah seorang perawat.
"Oh, begitu..."
Lalu ia menoleh ke arah Bu Sri dan Pak Jali, yang masih duduk tegang menanti giliran Raka diperiksa.
"Buk Sri, Pak Jali..." Kata Mumu dengan nada sopan,
"karena saya masih ada beberapa pasien lain yang menunggu, bagaimana kalau Raka saya obati terakhir saja? Dengan begitu, saya bisa memberikan perhatian penuh dan mengobatinya tidak setengah-setengah. Saya kasihan kalau pasien lain terlalu lama menunggu."
Buk Sri tampak sedikit bingung, sementara Pak Jali mengerutkan kening, seolah merenungkan usulan itu.
Bu Sri membuka mulut hendak bicara, tapi ragu-ragu, sehingga Pak Jali yang akhirnya angkat bicara.
“Kalau begitu, kami ikut apa kata Dokter saja. Yang penting anak kami bisa mendapatkan perawatan yang baik.”
Mumu mengangguk penuh pengertian.
“Terima kasih, Pak Jali, Buk Sri. Saya jamin, dengan cara ini, saya bisa lebih fokus pada kondisi Raka."
"Saya tidak mau tergesa-gesa dalam pengobatan, terutama untuk kasus yang rumit seperti ini. Sabar sedikit lagi, ya.”
Bu Sri menarik napas panjang, lalu mengangguk setuju.
"Baik, Dokter. Kami akan menunggu."
Raka yang duduk diam sepanjang percakapan itu, hanya melirik sekilas ke arah Nurul, yang berdiri di sudut ruangan.
“Kami akan tunggu di luar, Pak Dokter.” Tambah Pak Jali dengan nada lebih tenang.
"Silakan, Pak."
Setelah itu, Mumu mempersilakan mereka keluar dari ruang periksa untuk memberi ruang bagi pasien berikutnya. Nurul mengikuti di belakang.
"Nurul, jika kamu ada keperluan lain, pulang saja dulu." Ujar Raka.
"Tidak apa-apa, Raka. Aku di sini saja."
Buk Sri hanya mendengus.
...****************...
Waktu terus berlalu, tak terasa sebulan sudah sejak Purnama mulai semakin dekat dengan Erna.
Pada awalnya, hubungan mereka tampak biasa saja, hanya sekadar teman berbincang di kantor.
Erna sering meminta bantuan kepada Purnama terkait pekerjaan yang biasa dilakukan oleh CS.
Namun Purnama punya niat tersembunyi, dan seiring berjalannya waktu, dia semakin lihai menanamkan pengaruhnya di hati Erna.
Erna yang dulunya waspada kini semakin percaya kepada Purnama.
Dengan kemampuannya berbicara manis dan selalu memberikan perhatian lebih, Purnama perlahan-lahan meruntuhkan dinding kepercayaan diri Erna.
Purnama sangat hati-hati dalam pendekatannya, tidak ingin terlihat terlalu mencolok.
Dia menanamkan rasa percaya pada Erna dengan perlahan.
Suatu siang yang tenang, Purnama baru saja meletakkan segelas susu untuk ibu hamil di hadapan Erna.
Purnama memulai pembicaraan dengan senyum yang biasa dia berikan, sebuah senyum yang Erna anggap tulus.
“Buk Erna, saya perhatikan, Ibuk akhir-akhir ini terlihat lebih ceria. Apa semuanya baik-baik saja di rumah?” Tanya Purnama dengan nada penuh perhatian.
Erna tersenyum kecil, sedikit bingung dengan pertanyaan itu.
“Iya, alhamdulillah semuanya baik. Kenapa tiba-tiba kamu bertanya begitu, Dara?”
Purnama tertawa pelan, seolah menutupi sesuatu.
“Oh, tidak ada apa-apa, Buk. Saya hanya merasa… Ibuk terlihat lebih lega sekarang. Dulu Ibuk sering curhat tentang Pak Mumu, kan? Tentang bagaimana dia sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit?”
Wajah Erna sedikit berubah. Dia terdiam sejenak sebelum menjawab.
“Iya, dia memang masih sibuk. Tapi akhir-akhir ini saya mencoba untuk lebih mengerti.”
Purnama menatap Erna, menyelidik dengan lembut.
“Begitu ya... Tapi bukannya sulit, ya, Buk? Ibuk selalu harus menunggu dia pulang terlambat. Ibuk berhak mendapatkan lebih dari sekadar menunggu, Buk. Mengobati pasien memang penting tapi istri jauh lebih penting.”
"Seorang dokter bukan pahlawan. Jika kita tidak bisa, masih ada dokter yang lain. Saya rasa ada banyak dokter di rumah sakit kan, Buk."
Kata-kata itu menusuk hati Erna dengan halus. Dia tidak pernah berpikir untuk mengeluh lagi setelah berusaha mengerti situasi Mumu.
Tapi entah kenapa, setiap kali Purnama berbicara seperti itu, ada perasaan tidak nyaman yang muncul.
Seolah-olah apa yang dia terima saat ini kurang dari yang seharusnya.
Erna tersenyum tipis, berusaha mengabaikan perasaan itu.
“Yah, itulah tantangan dalam rumah tangga. Setiap orang punya tanggung jawabnya masing-masing, dan saya hanya mencoba mendukung suami saya sebisa mungkin.”
Purnama mengangguk, tapi tak menyerah begitu saja.
“Ibuk memang istri yang baik, Buk. Tapi saya merasa, Ibuk terlalu baik, kadang Ibuk terlalu banyak berkorban. Ibuk juga butuh perhatian. Jangan biarkan diri Ibuk merasa diabaikan.”
Kalimat itu kembali menancap dalam pikiran Erna.
Meskipun dia berusaha menepisnya, benih keraguan mulai tumbuh.
Dia tidak bisa memungkiri bahwa ada saat-saat di mana dia merasa sendiri, meski Mumu selalu berusaha mengimbanginya.
Namun, dalam kebersamaan yang semakin sering dengan Purnama, Erna mulai membandingkan perlakuan mereka.
Purnama selalu ada, selalu mendengarkan, sementara Mumu sering kali terjebak dalam rutinitas pekerjaannya.
Purnama melihat perubahan halus di wajah Erna. Inilah momen yang dia tunggu-tunggu. Dengan cermat, dia melanjutkan rencananya.
“Buk Erna, kadang dalam hidup, kita perlu memikirkan kembali apa yang kita inginkan. Ibuk pasti ingin bahagia, kan?"
"Kalau Ibuk merasa sesuatu tidak berjalan seperti seharusnya, tidak ada salahnya untuk berbicara dengan Pak Mumu. Tapi Ibuk juga harus jujur dengan diri Ibuk sendiri.”
Erna terdiam, memikirkan kata-kata itu. Dia memang ingin bahagia, semua orang pasti ingin bahagia.
Tapi apakah itu berarti harus meminta lebih dari Mumu? Haruskah dia benar-benar mempertanyakan posisinya dalam pernikahan mereka?
Purnama melanjutkan, seolah memberikan nasihat dari hati.
“Saya cuma ingin Ibuk bahagia, Buk. Karena Ibuk pantas mendapatkannya. Jangan biarkan dirimu merasa terjebak. Coba pikirkan, apa yang membuat Ibuk benar-benar merasa dicintai?”
Erna mulai merasakan keraguan yang semakin kuat. Meskipun dia belum sepenuhnya mempertanyakan pernikahannya, Purnama telah menanamkan bibit-bibit ketidakpuasan di hatinya.
Purnama tidak terburu-buru, dia tahu bahwa untuk membuat rumah tangga Erna dan Mumu berantakan, dia harus sabar.
Setiap kata yang dia ucapkan penuh dengan perhitungan, membawa Erna lebih jauh dari Mumu tanpa Erna sadari.
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...