Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Di kamar rumah sakit yang sunyi, hanya terdengar suara mesin medis yang terus memantau kondisi Johan yang masih terbaring koma. Inneke duduk di samping tempat tidur suaminya, memegang tangan Johan yang dingin dengan wajah penuh kesedihan. Sesekali, air matanya menetes perlahan, tak mampu menahan beban emosional yang menghimpitnya.
Di sebelah Inneke, Teddy duduk di kursi rodanya, berusaha memberikan dukungan dengan senyum lemah meskipun ia sendiri tampak sedih. Dia tahu ibunya sangat terpukul, dan meskipun keadaannya sendiri tidak ideal, Teddy berusaha menenangkan ibunya yang saat ini sedang kalut.
Sementara itu di sisi lain ruangan Ronny, berdiri tak jauh dari tempat tidur Johan. Tatapan matanya yang gelisah dan gerak-geriknya yang sedikit canggung menunjukkan bahwa dia terlihat tidak nyaman berada disana. Tapi Ronny berusaha keras menjaga sikapnya.
Inneke, yang sedari tadi hanya diam, tiba-tiba berkata pelan, “Ini semua karena Dina... Kalau saja Papa tidak bersikeras menemui dia, kecelakaan ini pasti tidak terjadi. Dina benar-benar tidak tahu diri...”
Mendengar itu, Ronny melihat kesempatan untuk memperkeruh suasana. Dengan nada setuju, dia ikut menimpali, "Memang benar, Ma. Dina selalu begitu. Dia wanita yang tidak tahu malu, tidak tahu diri. Sudah seharusnya kita semua tahu kalau dia pembawa masalah. Kalau dia tidak muncul lagi dalam hidup kita, Papa tidak akan seperti ini."
Teddy, yang sedari tadi diam dan mengamati, memandang Ronny dengan tatapan curiga. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatnya ragu akan ketulusan saudaranya. Teddy tahu bahwa Ronny punya rahasia, sesuatu yang tidak beres, terutama mengenai hubungan mereka dengan Dina. Dia merasa ada yang disembunyikan oleh Ronny, tapi belum yakin apa.
***
Teddy mendorong kursi rodanya keluar dari kamar rumah sakit dengan perasaan kacau memenuhi pikirannya. Ia tahu ada sesuatu yang harus dilakukan, tetapi tidak bisa melakukannya sendiri. Saat sudah berada di koridor yang agak sepi, Teddy meraih telepon genggamnya dan dengan cepat menekan nomor yang sudah sangat dihafalnya—nomor Mitha, adik bungsunya yang tinggal di Amerika setelah perceraian yang menghancurkan hidupnya.
Telepon tersambung setelah beberapa nada dering.
"Halo, Kak Teddy?" Suara Mitha terdengar kaget, mungkin karena tidak biasanya Teddy meneleponnya pagi-pagi.
Teddy menarik napas dalam-dalam, lalu berbicara pelan namun serius. "Mitha... ini soal Papa. Papa kecelakaan, sekarang koma di rumah sakit."
Ada jeda panjang di ujung telepon, lalu suara Mitha terdengar lebih serius. "Apa? Kecelakaan? Bagaimana bisa?"
Teddy menceritakan situasi seputar kecelakaan itu, tanpa menceritakan semua detail mengenai Dina yang terlibat di dalamnya. Namun, Teddy juga menyinggung bahwa suasana keluarga sedang sangat kacau, terutama antara Ronny dan Dina, serta bagaimana ketegangan antara anggota keluarga lainnya semakin memuncak.
Mitha menghela napas berat. "Kak Teddy, kau tahu aku tidak punya hubungan baik dengan Ronny. Aku sudah cukup lama meninggalkan Indonesia, aku tidak mau lagi terlibat dengan semua drama di keluarga kita."
Teddy menggigit bibirnya, sudah menduga reaksi itu. "Aku tahu, Mitha. Tapi kali ini berbeda. Papa butuh kita... dan aku butuh kamu. Ini bukan hanya soal Ronny. Ada sesuatu yang salah di sini, tapi aku sendiri tidak tahu apa, dan darimana aku harus memulai"
Mitha terdiam lagi, dan Teddy bisa merasakan kebimbangan adiknya di ujung telepon. Mitha selalu sulit berhadapan dengan Ronny, dan sekarang setelah bercerai serta tinggal jauh di Amerika, ia sudah lama memutuskan jarak dari keluarganya.
"Aku akan memikirkannya," akhirnya Mitha berkata, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Aku butuh waktu untuk mempertimbangkan ini, Kak Teddy. Tapi aku akan mengabari secepatnya."
Teddy mengangguk meski tahu Mitha tidak bisa melihatnya. "Oke, Mitha. Terima kasih. Aku menunggu kabarmu."
Setelah telepon ditutup, Teddy menarik napas panjang dan menatap langit-langit rumah sakit. Ia tahu Mitha butuh waktu, tetapi setiap detik yang berlalu terasa seperti menunggu bom waktu meledak. Teddy hanya bisa berharap Mitha akan mengambil keputusan yang tepat.
***
Hubungan antara Ronny dan Mitha memang tak pernah harmonis, dan salah satu akar dari ketegangan itu adalah fakta bahwa Mitha bukanlah anak kandung keluarga mereka. Mitha, yang diadopsi oleh Johan saat masih bayi dari panti asuhan, telah menjalani hidupnya dalam bayang-bayang statusnya sebagai anak angkat meskipun Johan dan Inneke membesarkan dirinya dengan penuh kasih sayang dan tidak pernah membedakan statusnya antara anak angkat maupun anak kandung.
Johan dan Inneke mengadopsi Mitha karena mereka selalu menginginkan anak perempuan setelah memiliki dua putra, Teddy dan Ronny. Saat menemukan Mitha di panti asuhan, hati Johan tersentuh dan memutuskan untuk membawanya pulang. Namun, bagi Ronny yang saat itu sudah remaja, kehadiran Mitha seolah mengancam posisinya di keluarga, terutama setelah melihat bagaimana Johan begitu menyayangi adik perempuannya itu.
Seiring berjalannya waktu, rasa tidak suka Ronny tumbuh menjadi kebencian yang semakin dalam. Meskipun Mitha selalu berusaha bersikap baik dan menghormati kakaknya, Ronny tak pernah benar-benar bisa menerima kenyataan bahwa Mitha adalah bagian dari keluarga mereka. Bagi Ronny, Mitha hanyalah "orang luar" yang tak pernah sepantasnya mendapat tempat di hati ayahnya, apalagi di rumah besar mereka.
Bagi Mitha sendiri, meski dia tahu dirinya diadopsi, kasih sayang yang dia terima dari Johan dan Inneke membuatnya merasa diterima sebagai anggota keluarga. Namun, hubungannya dengan Ronny selalu dingin dan penuh ketegangan. Mitha kerap merasa tidak nyaman di rumah, terutama ketika Ronny mulai melontarkan sindiran-sindiran menyakitkan tentang asal-usulnya.
Momen yang paling menyakitkan adalah saat Ronny, dalam salah satu pertengkaran, secara langsung mengatakan bahwa Mitha tidak akan pernah benar-benar menjadi bagian dari keluarga mereka. Kata-kata itu menghancurkan Mitha, membuatnya merasa terasing, meskipun Johan dan Teddy selalu mencoba melindunginya.
Inilah salah satu alasan Mitha memilih untuk pergi jauh ke Amerika dan menjaga jarak dari keluarganya. Kini, meski Teddy memintanya kembali ke Indonesia, Mitha masih dibayang-bayangi oleh kenangan pahit masa lalu, terutama tentang hubungannya dengan Ronny. Itulah yang membuatnya ragu untuk pulang, meskipun rasa cinta kepada Johan yang telah membesarkannya membuatnya mempertimbangkan keputusan ini.
***
Mitha berdiri di depan jendela apartemennya, memandang langit kota New York yang luas dan penuh gemerlap. Di bawah sana, kehidupan terus berjalan dengan cepat, sibuk, dan penuh dinamika—semuanya terasa begitu jauh dari apa yang sedang dia hadapi saat ini. Setiap sorot cahaya kota yang berkilauan mengingatkannya pada langkah-langkah yang telah dia pilih di masa lalu.
Dia menghela nafas panjang, matanya merenung jauh ke kejauhan. Pikiran tentang keluarga yang telah lama dia tinggalkan terus berputar dalam kepalanya, bergulir tanpa henti. Permintaan Teddy untuk memintanya pulang ke Indonesia mengguncang semua kenyamanan yang telah dia bangun di sini. Meskipun dia sendiri juga ingin kembali ke Indonesia untuk melihat secara langsung kondisi Johan.
Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya ragu untuk kembali: Ronny. Kakaknya yang penuh kebencian itu. Mitha tahu betul bagaimana Ronny memandang dirinya. Bukan sebagai saudara, tapi sebagai orang luar yang tak layak disebut bagian dari keluarga. Bahkan, setelah semua ini, rasanya mustahil bagi Mitha untuk melupakan perasaan itu. Meski Johan tidak pernah membedakan dirinya dengan anak kandungnya sendiri dan selalu melimpahi hidupnya dengan kasih sayang sebagai orang tua, kenyataan bahwa Ronny selalu memperlakukan dirinya seperti orang asing terasa begitu menyesakkan baginya.
Kehidupan di New York memberinya kebebasan. Tidak ada tatapan penuh kebencian dari Ronny, tidak ada cemoohan atau rasa tidak diterima. Di sini, dia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa perlu merasa terasing.
“Haruskah aku kembali?” pikir Mitha dalam hati, menatap refleksi dirinya yang tampak samar di kaca jendela.
Dia meraih ponselnya, melirik pesan dari Teddy yang baru saja dikirim. "Mitha, tolong pikirkan ini. Aku tidak bisa melakukannya sendirian, Papa membutuhkanmu, begitu juga mama dan aku."
Mitha menunduk sejenak, matanya berkaca-kaca. “Apakah ini keputusan yang tepat?” Mitha bertanya pada dirinya sendiri, menunggu jawaban dari dalam hatinya.
Kenapa Ny Inneke tak segera memberitahu jika dia hanya keponakan pak Johan/ anak sambung? Yang bisa mewarisi harta Pak Johan suatu saat nanti. Aku yakin Pak Johan sudah punya filing dan telah membuat surat wasiat. Untuk ketiga anaknya termasuk Ronny
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina