Hamil tanpa seorang suami karena diperk0sa, itu AKU!
Tidak tahu siapa Ayah dari anakku, itu AKU!
Seorang anak kecil selalu dipanggil ANAK HARAM itu PUTRAKU!
Apa aku akan diam saja saat anakku dihina?! Oh tidak! Jangan panggil aku seorang IBU jika membiarkan anakku dihina!
Jangan panggil Putraku ANAK HARAM!
Lantas, akankah suatu hari wanita itu bisa bertemu dengan Ayah kandung dari putranya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Kalau Aku Mati, Siapa Yang Akan Melindungi Kalian?
Malam itu di Mansion menjadi malam menegangkan bagi semua orang bahkan bagi para maid, bagaimana tidak? Belinda, sang Nyonya besar yang dulu selalu berkuasa kini sudah kembali.
Semuanya merasa was-was mereka akan sering dibentak atau dimarahi tanpa alasan jelas. Meski terdengar jika tubuh Belinda lemah terlihat dari duduk wanita itu di kursi roda sepanjang acara pesta.
"Nyonya, mau istirahat sekarang?" tanya kepala pelayan wanita.
"Kau sudah pikun, Marta! Kenapa kau harus bertanya!"
"Maaf, Nyonya. Saya matikan lampu utama dan hanya menyisakan lampu tidur. Selamat malam, Nyonya."
Kepala pelayan menekan remote lampu untuk mematikan lampu utama, kemudian keluar dari kamar.
Belinda merotasi sekeliling kamar, ia tahu ada cctv dipasang secara sembunyi oleh Brian. Ia harus berhati-hati jika ingin menghubungi saudaranya, demi membicarakan rencana-rencana lainnya.
Belinda mengirim pesan pada saudara laki-lakinya, orang yang telah membunuh Ibu kandung Arya atas perintah Belinda. Setelah mengirim pesan, Belinda kemudian tidur dengan pikiran-pikiran jahatnya.
.
.
Di kamar lain Tuan besar Adiguna tidur dengan Ammar, sudah beberapa malam anak itu tidur dengan kakeknya.
Tuan besar Adiguna memeriksa Cctv tersembunyi di kamar Belinda dari iPad, tidak ada hal aneh yang dilakukan Belinda sejak masuk ke dalam kamar selain melakukan berbagai aktivitas malam sebelum tidur. Tuan besar hanya melihat Belinda memainkan ponsel, lalu wanita itu membaringkan tubuh.
"Aku harap kau nggak membuatku murka hingga ingin membunuh mu dengan tangan ku sendiri, Belinda. Aku hanya tidak ingin membunuh Ibu dari putraku, aku tak ingin Keindra membenci ayahnya sendiri!"
Tuan besar Adiguna mengusap pipi Ammar yang mulai gembul. Ia tersenyum bangga akhirnya mempunyai cucu.
"Saat kakek melihat mu untuk pertama kali, kamu begitu kurus. Meski saat kamu naik ke punggung kakek, tenyata kamu berat juga. Sekarang tubuhmu semakin berisi, kakek sepertinya tak sanggup mengendong mu lagi... kheee..." Tuan besar mengelus kepala cucu yang ia harapkan selama bertahun-tahun Keindra menikah dengan Gina.
.
.
Di Apartemen, dua orang baru saja datang bersamaan. Keindra yang baru datang dari Mansion, sementara Felicia baru saja pulang dari rumah orang tuanya setelah pesta berakhir.
Selama berhari-hari tinggal bertetangga, Felicia beberapa kali berpapasan dengan Keindra. Namun ia tak berniat menyapa Pria itu lebih dahulu, sebab wajah Keindra terlihat tak ramah dan terkesan dingin pada orang lain.
Namun kali ini Felicia ingin mengorek informasi tentang keseharian ataupun tentang pribadi Brian, wanita berani itu berencana mendekati Keindra.
Mereka berdua masuk ke dalam lift, karena unit apartemen mereka berada di lantai sama Keindra membiarkan Felicia yang memijit nomer lantai atas.
Keindra hanya melirik sekilas pada Felicia, ia mengenal begitu saja jika Felicia adalah tetangga yang tinggal di samping unitnya.
"Hai, aku Felicia. Aku baru saja pulang dari pesta penyambutan anakmu, Ammar. Dia menggemaskan sekali, wajahnya bahkan sangat mirip dengan mu... hanya berbeda di bentuk mata. Mata mu sipit, putramu tampak besar." Felicia akhirnya benar-benar memberanikan diri mengajak bicara Keindra.
Keindra tadinya berwajah malas-malasan gaya cool dengan sebelah tangan dimasukan ke dalam saku celana, saat mendengar ada yang memuji anaknya sontak ia memandang Felicia dengan tatapan tertarik.
"Kami benar-benar mirip?"
"Mungkin sekitar 75 persen mirip dengan mu, sisanya... anakmu mirip Ibunya. Mata besar dan bentuk serta warna rambut anakmu mirip seperti ibunya, Nona Alsya."
Keindra tersenyum, "Kau benar, anak itu mirip kami berdua. Meskipun banyak mirip dengan ku, tapi jika tidak terlalu diteliti... kemiripan ku dan Ammar nggak akan terlalu terlihat."
Felicia mengangguk setuju.
"Setelah satu minggu kita bertetangga, baru kali ini kita berbincang ya Tuan Kei."
"Maaf, tapi aku tipe orang yang sulit sekali akrab dengan orang asing. Nama mu?"
"Felicia, Tuan Kei. Sebenarnya kita sama, aku sulit dekat dengan orang asing... tapi karena tadi saya berada di pesta mu, aku merasa harus menyapa kamu."
"Senang berkenalan dengan mu, Felicia. Ngomong-ngomong, kamu kenalan Papa atau salah satu keluarga ku. Kamu bisa datang ke pesta, pasti ada yang mengundang mu. Yang pasti, bukan aku."
"Hm, aku dibawa seseorang yang mengenal keluarga kamu. Aku hanya menemaninya datang." Jawab Felicia.
"Apakah kekasihmu atau suamimu?"
"Aku belum menikah, dan ya... aku menemani cinta pertama ku. Dia, Ayahku." Felicia terkekeh.
Ting!
Pintu lift terbuka di lantai unit apartemen mereka, keduanya keluar dari dalam bilik lift.
Keindra berjalan bersisian dengan Felicia, mereka kembali melanjutkan perbincangan dengan asyik dan tenyata sangat nyambung.
"Makasih sudah merespon sapaan ku, Tuan Kei. Aku masuk dulu..."
"Panggil aku Kei, kita bertetangga dan sepertinya kita bisa berteman baik. Kau orang yang asik diajak mengobrol, Fel..."
"Okay, Kei. Aku masuk duluan." Felicia membuka kode pintu unit nya, kemudian masuk setelah menoleh sebentar pada Keindra.
Keindra masih tersenyum karena menemukan orang yang enak diajak bicara setelah pulang dari pesta. Seketika pikirannya yang dibuat mumet oleh ucapan sang Ayah hilang begitu saja.
.
.
Di salah satu Paviliun, Brian sedang mengintrogasi anak buah yang ia perintah memantau rumah sakit jiwa tempat Belinda selama ini dirawat.
"Kenapa Nyonya Belinda bisa sembuh dan kamu nggak pernah melaporkan nya padaku?!" bentak Brian seraya m3narik rambut anak buahnya dengan k4sar sampai kepala orang itu mendongak.
"T-Tuan Brian... maafkan saya... saya diberi uang oleh Nyonya Voni. Setelah itu, saya disuruh pergi dari depan ruangan Nyonya Belinda berada. Saya tidak tahu apa-apa selain disuruh pergi dan tak mengawasi di tempat."
"Jangan bohong!!!"
Bugh!
Brian menendang orang itu hingga tersungkur di atas lantai, wajah anak buahnya itu sudah terluka parah.
"Saya bersumpah Tuan, s-saya tidak bohong."
"S1ksa lagi dia sampai mengaku...! Meksipun dia berkata jujur, jangan lepaskan dia karena dia tetap bersalah tidak mematuhi perintah Tuan besar Adiguna!!!"
Brian pun membiarkan anak buahnya yang lain menghukum si anak buah pengkhianat.
.
.
Kepala Arya berada di pangkuan Alsya di kamar lelaki itu, meski begitu mereka tidak melakukan hal lain hanya saling memberikan ketenangan pada pasangan nya.
Alsya tahu Arya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja setelah kedatangan Belinda, siapa anak yang akan baik-baik saja saat pembunuh ibunya kembali hadir?
"Mas, kamu nggak merencanakan sesuatu yang membahayakan keselamatan mu kan?" tanya Alsya, ia mengelus kepala Arya seperti seorang Ibu mengelus kepala anaknya. Persis seperti saat ia mengelus kepala Ammar saat anaknya sedang bersedih.
Arya mengangguk pelan, "Aku nggak bisa berbuat sembarangan sekarang, dulu aku berniat akan membunuhnya lalu aku membunuh diriku sendiri menyusul Ibu. Tapi sekarang... ada kamu dan Ammar yang harus aku pikirkan juga. Kalau aku mati, siapa yang akan melindungi kalian berdua. Aku nggak percaya pada siapapun, aku sendiri yang akan menjaga kalian berdua sayang. Aku akan hidup lama demi kalian berdua..."
Alsya benar-benar terharu, wanita itu pun memberanikan diri menundukkan wajahnya menyatukan bibirnya dengan bibir calon suaminya. Arya sempat terkejut namun pria itu membiarkan Alsya menguasai bibirnya.