Seorang wanita mandiri yang baru saja di selingkuhi oleh kekasihnya yang selama ini dia cintai dan satu-satunya orang yang dia andalkan sejak neneknya meninggal, namanya Jade.
Dia memutuskan untuk mencari pria kaya raya yang akan sudah siap untuk menikah, dia ingin mengakhiri hidupnya dengan tenang. Dan seorang teman nya di bar menjodohkan dia dengan seorang pria yang berusia delapan tahun lebih tua darinya. Tapi dia tidak menolak, dia akan mencoba.
Siapa sangka jika pria itu adalah kakak dari temannya, duda kaya raya tanpa anak. Namun ternyata pria itu bermasalah, dia impoten. Dan Jade harus bisa menyembuhkan nya jika dia ingin menjadi istri pria itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyaliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Suara musik di lantai bawah terdengar seperti bisikan lembut di telinga, bar itu seakan membeku dalam kesunyian. Semua suara memudar, kecuali satu: Rhine. Telingaku hanya mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Mataku terpaku pada sosok dirinya, pria itu mengenakan kemeja putih polos dengan lengan baju yang tergulung, memperlihatkan otot-ototnya yang kuat. Aku bisa melihat dengan jelas saat ia menaruh gelas kosong di nampan seorang pelayan yang lewat.
"Syukurlah gaunnya pas denganmu, cantik," Rhine melirik tubuhku dengan penuh perhatian, seolah dia sedang mengukir setiap lekuknya dalam ingatannya.
Aku tersipu, aneh rasanya menerima pujian dari pria seperti Rhine, namun aku tetap harus berterima kasih. "Terima kasih," jawabku ragu-ragu.
Rhine melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapanku. Aroma tubuhnya memenuhi udara di antara kami, mengingatkan ku pada malam dimana aku berjarak sangat dekat dengannya sebelum ini. Pikiranku kacau lagi, tidak, bukan sekarang. Aku takut wajahku memerah oleh bayangan itu.
Dingin. Jempol Rhine menyentuh bibirku, menyapunya perlahan. Pupil mataku melebar, Rhine menunduk hingga wajahnya menjadi begitu dekat. Dia tersenyum dan berkata, "Tetaplah dengan Ryan di sini, aku tak ingin pria lain melirik mu." Kata-katanya membuatku terdiam, tak sanggup berkata-kata.
"Hoho, aku bisa merasakan sesuatu di sini.." Tomy tiba-tiba muncul, dia berdiri di samping Rhine namun kepalanya seakan masuk di antara kami.
"Kau diam lah, bukan urusanmu." Rhine berdiri tegak, menciptakan jarak di antara kami.
"Cih, dingin sekali." Tomy cemberut seperti anak kecil yang baru dimarahi. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
"Sepertinya ada hal yang lucu, boleh aku bergabung?" tanya seorang wanita bergaun merah seksi, berdiri di samping Rhine. Jika tidak ada jas yang menggantung di bahunya, punggungnya akan terlihat. Gaunnya begitu seksi, kupikir itu akan mengundang pertanyaan apakah dia tidak kedinginan.
Tapi jas yang menggantung di bahu wanita itu mirip milik Rhine, pikirku. Aku pernah melihatnya di meja makan waktu itu.
Eh? Ehhh? Apa itu? Dia merangkul tangan Rhine begitu saja? Apa yang... terjadi antara mereka...
Jika dilihat lebih dekat, sepertinya umur mereka tak terpaut jauh. Keriput di bawah mata wanita itu menyiratkan umurnya sudah di atas tiga puluh tahun, tetapi mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku.
Make up bisa membuat seseorang tampak lebih tua, eyeliner tebal di matanya membuatku berpikir begitu. Dan yang membuatku tak bisa berkata-kata adalah Rhine tak menepisnya, dia membiarkan wanita itu menyentuhnya.
"Hei Zarra, lama tidak bertemu." Tomy menyapanya. Wanita itu pasti sudah mengenal mereka sebelum aku. Mereka berbincang-bincang banyak dan aku hanya bisa menunduk, terdiam. Aku tak bisa masuk dalam pembicaraan yang aku tak paham, tapi aku bisa menyimpulkan sedikit informasi bahwa wanita itu adalah seorang penyanyi.
Di tengah pembicaraan, Rhine tiba-tiba pamit. Dia melangkah maju dan berbisik padaku, "Aku akan kembali, tidak akan lama." Aku mengangguk dan tak sengaja melirik wanita di samping Rhine yang menatap tajam padaku. Saat Rhine pergi, dia juga ikut bersamanya. Melihat Rhine berjalan dengan wanita lain membuat dadaku terasa sesak.
Satu jam berlalu, namun Rhine tak kunjung kembali. Aku duduk di meja bulat bersama Ryan, menyapa ramah setiap orang yang menghampiri pria itu dan bertanya tentangku. Ryan tampak populer di sini, sedangkan aku hanya seperti benalu yang menempel padanya.
Aku ingin pulang, tak ingin berada di sani lagi. Rasanya pengap. Aku melirik Ryan yang sudah sendiri, hanya kami berdua di meja itu.
"Ryan, apa aku boleh pulang sekarang? Sepertinya aku tidak enak badan," ucapku memelas.
"Kenapa? Kau minum wine-nya?" tanya Ryan cemas, melirik segelas wine di hadapanku.
"Sedikit," aku berbohong. Aku bahkan tak menyentuh gelasnya.
"Aish, kenapa kau meminumnya. Aku akan mengantarmu nanti, sekarang kau istirahatlah di ruangan Rhine. Aku akan mengantarmu ke sana."
"Tidak, Ryan aku pulang saja. Kau tak perlu mengantarku, aku bisa pergi dengan taksi."
Ryan melihat jam tangannya sebelum kembali fokus padaku, "Tidak, ini sudah malam. Aku tidak bisa membiarkanmu pulang dengan taksi. Aku akan mengantarmu."
"Tapi pestanya belum selesai," kataku merasa bersalah mengganggu kesenangan Ryan.
"Tidak masalah, kau lebih penting."
Aku? Aku sedikit terkejut dengan ucapannya. Ternyata teman sepertiku penting baginya. Tapi mungkin jika aku jadi dia, aku akan melakukan hal yang sama. Aku tidak bisa larut dalam pikiranku terlalu lama, dia sudah berdiri dari kursi, aku juga harus berdiri. Kami pulang. Ryan kembali menggandeng tanganku saat kami melewati kerumunan orang di lantai bawah.
**
Aku berterima kasih dan melambaikan tangan saat turun dari mobil. Ryan tersenyum sebagai balasan, kemudian berlalu pergi. Katanya dia ada keperluan di dekat sana jadi tidak bisa tinggal lama. Tapi itu tidak masalah, yang penting aku sudah sampai di villa dan terbebas dari kesepian di tengah keramaian. Orang-orang biasanya menyebutnya seperti itu.
Langit malam bersinar terang karena cahaya bulan, aku mendongak ke atas untuk menikmatinya. Pemandangan laut di seberang menyejukkan jiwa dan ragaku. Angin malam menyapu rambutku, membuatnya terbang menyentuh wajahku. Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Begitu menenangkan.
Sepi seperti biasa, aku masuk ke villa. Meskipun sepi, setidaknya itu karena aku sendirian di sana, bukan sepi karena terabaikan. Aku membuka resleting belakang gaun yang ku kenakan dengan mudah, tanganku cukup lentur untuk meraihnya.
Aku bercermin sebelum melepasnya, gaun itu memang pas dan membuatku merasa cantik. Tapi mengingat Rhine bersama wanita lain, mood ku langsung berubah. Aku melepas gaun itu dan meletakkannya di sandaran kursi. Aku ingin mandi.
"Hah..," aku menghembuskan nafas kasar ke udara saat bercermin di kamar mandi, di dekat wastafel setelah mencuci wajah. Pucat. Mataku teralihkan pada jepit rambut yang masih menjepit rambutku.
Aku mengambilnya, cantik dan berkilau. Permatanya membuat benda kecil itu terlihat mewah di bawah cahaya lampu. Aku keluar dari kamar mandi, meletakkan jepit rambut pemberian Ryan di dalam laci meja dekat lemari.
Cahaya rembulan memaksa masuk menembus kaca yang mengkilap. Aku berdiri di depan jendela dengan piyama merah muda selutut yang kupakai sehabis mandi. Aku menikmati langit malam ini hingga suara decitan mobil membuyarkan semuanya. Mobil Rhine masuk dan berhenti di halaman depan, lampu sorotnya sempat menyilaukan mataku.
...----------------...
gk rela sebenarnya klo hrus pisah sm mereka.. 😢😢
kira2 Ryan&Hana udh ada anak jg blm ya🙈😅
klo emg Rhine bkn jodoh nya,,, kasih Kade jodoh yg lebih baik lagi thoorrr