DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM23
"Ibu tega menolak Bapak dirawat anak sendiri?" lirih Bapak. "Bapak mau tinggal sama Rama dan Alana. Paling tidak, sampai kondisi Bapak mendingan."
"Tapi, Pak ...."
"Tidak ada tapi-tapian. Kalau Ibu tidak mau tinggal bersama Rama, ya sudah. Kita tinggal misah."
"Tolong, Bu, mengalah dulu. Demi Bapak. Nanti Bapak dan Ibu bisa kembali ke rumah kalau Bapak sudah lebih sehat," bujuk Mbak Raya.
Ibu hanya terdiam, walau keras kepalanya masih saja menguar. Karena ibu tidak bicara lagi, kami menganggap beliau setuju meskipun terpaksa.
...****************...
Hari ini bapak pulang setelah menjalani rawat inap selama empat hari. Mbak Raya tidak bisa datang karena ada rapat guru di sekolahnya. Mas Rama juga tidak bisa izin lagi dari pabrik. Jadi aku sendirian yang menyelesaikan administrasinya, sementara ibu membereskan barang-barang bapak. Mereka berdua akan pulang ke rumah kami.
Selama pemulihan nanti, bapak menyerahkan urusan kebun kepada orang yang selama ini membantunya berkebun.
Hari sudah menjelang sore saat kami sampai di rumah. Ku lihat Bu Karto serta Bian, sedang main di teras depan.
Kubantu bapak turun dari mobil. Bu Asih tergopoh-gopoh keluar dan membantu menurunkan barang-barang.
"Ndaaaaa ...!" Bian berlari ke arahku dengan kaki kecilnya. Bu Karto segera menggendongnya.
"Sayangnya Bunda." Aku memberikan senyumku kepada malaikat lucu semata wayang ku ini.
"Ayo salim sama kakek nenek," pinta ku.
Bian dan dan Bu Karto mendekati bapak dan mencium tangannya.
"Kakek ...," sapanya.
"Pinternya cucu kakek. Makin besar aja ya, Bian." Bapak mengelus kepala Bian.
Gantian Bian dan Karto berdiri di hadapan ibu dan mencium tangannya.
"Nenek ...."
Ibu hanya tersenyum kaku, begitupun aku.
"Bapak, Ibu mari masuk. Kamarnya sudah disiapkan."
Ku antar bapak dan ibu ke kamar mereka.
"Bapak dan Ibu bisa istirahat dulu di kamar. Atau kalau bosan, bisa duduk-duduk di teras samping. Silahkan saja, bebas ...," ucap ku.
"Bapak tidur dulu sebentar ya."
"Ibu juga mau tidur dulu."
Aku mengangguk.
"Ya udah, kalau begitu Alana pamit dulu. Jika Bapak dan Ibu perlu apa-apa, bisa panggil Alana atau Bu Asih ya."
Ku tutup pintu kamar bapak. Bu Karto mengajak Bian bermain di ruang tengah.
Aku jongkok di depan Bian. "Bian main sama Nenek Karto dulu, ya. Bunda mau ganti baju."
Bian mengangguk mengerti, pintarnya anak ku.
Setelah berganti pakaian, aku lekas bermain dengan Bian. Saat kami sedang bermain, Mas Rama mendekati kami. Sudah pulang kerja rupanya. Aku tidak mendengar suara motornya. Aku dan Bian mencium takzim tangan Mas Rama. Bian langsung mengulurkan tangannya, minta gendong.
"Endong, Yah!"
Aku mencekal lembut lengan anakku, menahan agar tak ikut Mas Rama. "Ayah nya mandi dulu ya, Bian."
...****************...
Yanti datang untuk memberikan laporan hari ini serta menjemput ibunya. Kulihat bapak keluar dari kamarnya, berjalan dengan pelan. Bersamaan dengan Mas Rama keluar kamar, suamiku itu lekas menuntun Bapak ke sofa.
"Gimana kerjaan mu, Ram? Lancar?"
"Syukurlah lancar, Pak, berkat restu Bapak juga."
"Bapak senang kerjamu lancar, usaha kue Alana juga maju. Dan ... Bian juga sehat."
Bian mendekat ke arah bapak dan Mas Rama.
"Sini cucu Kakek!" panggil Bapak.
Dengan dibantu Mas Rama, Bian naik ke pangkuan kakeknya. Ketiga generasi Kusuma itu bercengkrama. Sesekali ku dengar gelak tawa keduanya. Hati ini menghangat.
"Bapak sudah keluar dari rumah sakit ya, Mbak?" tanya Yanti yang ternyata juga memperhatikan mereka.
"Iya Yan. Syukurlah. Siang tadi sudah bisa pulang."
"Syukurlah, Mbak."
"Oh ya, Yan, ada kenalan yang mau kerja jadi admin di sini? Mbak pingin ada 1 staff untuk menangani orderan dan komunikasi dengan pelanggan. Soalnya orderan online sudah sama banyaknya dengan yang offline. Syaratnya tidak aneh-aneh. Yang penting ... jujur, ramah dan teliti."
Yanti tampak memikirkan ucapan ku.
"Nanti ku kabari teman-temanku ya, Mbak. Kalau ada ku infokan segera."
Sampai aku selesai merekap pesanan besok, serta Yanti, Bu Karto dan Bu Asih pulang, tak kulihat ibu keluar kamar. Ibu baru keluar saat kupanggil untuk makan malam.
Selesai makan, kami berkumpul lagi di ruang tengah. Ibu langsung masuk ke kamarnya. Wajahnya datar sejak tadi. Ibu mertua ini memang aslinya pendiam, sekalinya memendam, susah hilangnya.
Berlawanan dengan Bulek Darmi yang cerewetnya seperti 10 ibu-ibu digabung jadi 1.
Biasanya jika malam tiba, Bian tidak mau lepas dari ayahnya. Namun, malam ini? Bian tidak mau lepas dari kakeknya.
"Bapak harap jangan pada tersinggung dengan kelakuan ibumu ya. Bukan hal yang baru buat kalian kan? Seperti ini juga waktu kalian tinggal sama kami dulu?" Bapak menghela napas, sambil tangannya dimainkan Bian.
"Bapak tidak usah terbebani. Kami baik-baik saja kok, kita main aja sama Bian."
Bapak menunduk menatap Bian. Seperti merasakan, Bian ganti menatap bapak dengan mata polosnya. Bapak langsung tersenyum, yang dibalas cengiran lucu Bian.
"Cucu kakek ... Nanti bobo sama kakek mau?"
"Mau bobokkk ...!" Bian mengangguk-angguk sambil menempelkan tangan kanannya di pipi, memberi tanda seperti orang tidur. Kami tergelak melihatnya.
Malam kian berlanjut, Bapak mulai mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan Dokter.
"Tadi saat Bapak tidur, Mbak Raya telepon Alana, Pak. Minta maaf tidak bisa menjemput Bapak, dan ngasih tahu kalau tadi rapat gurunya sampai siang. Mas Budi juga ada di luar koța sampai lusa. Seminar apa gitu katanya. Jadi kemungkinan baru bisa kemari hari minggu."
"Iya, tadi Raya juga telepon Bapak. Sempat video call dengan Doni dan Dio juga. Gak apa-apa, namanya anak sudah dewasa, apalagi sudah berumah tangga. Sudah pasti ada kesibukannya sendiri, Bapak maklum dan sangat mengerti."
Malam kian larut, Bapak dan Bian lekas masuk ke kamar.
Sempat kudengar suara bapak. "Bu, Bian tidur sama kita."
Tak kudengar jawaban ibu. Yang pasti bapak sudah masuk.
Seperti biasa, sebelum tidur, Mas Rama dan aku ngobrol dulu. Mengobrolkan keseharian kami tadi.
"Tadi di rumah sakit lancar kan, Yank?"
"Lancar, Mas. Saat ini, sepertinya Bapak perlu tongkat kaki 3 itu lho, Mas. Dokter juga menyarankan demikian supaya tidak terlalu berat menumpu di badan sendiri saat jalan. Dokter juga minta Bapak jalan-jalan santai atau berenang sebagai ganti aktivitas berat biasanya. Kalau tidak bergerak, malah bahaya kata Dokter. Cuma aku tidak beli tongkatnya tadi. Mau minta Mas Rama ngobrol dulu dengan Bapak. Takutnya Bapak tersinggung, karena dianggap cacat atau gimana."
"Iya juga sih. Biasanya kerja proyek, terus berkebun, masa sekarang jalan aja harus pakai tongkat."
"Atau kita akali dulu dengan memancing Bian berenang, Mas. Seminggu dua kali mengajak Bian berenang, terus kita ajak Bapak bergabung, sepertinya cukup. Kalau tidak berenang, kan bapak masih bergeraknya saat main sama Bian. Itu juga melelahkan kok, Mas. Bian lagi aktif-aktifnya pula sekarang."
"Mas setuju, Yank. Kamu atur-atur aja baiknya gimana. Mas minta tolong ya. Maaf kalau keluarga Mas menambah beban kamu."
"Bukan beban ini, Mas. Ini namanya bakti. Apalagi aku sudah menganggap Bapak ini sebagai Bapak sendiri. Ini semua ladang pahala kita, Mas."
Mas Rama memelukku dengan erat. Mungkin dia terbeban juga dengan sikap ibu yang masih belum mencair dengan kejadian ini.
"Mbak Raya tadi juga bilang akan bantu melunasi tagihan BPJS yang tertunggak, Mas. Untuk tagihan rumah sakit bagian kita. Mas keberatan?"
"Lah kebalik nanyanya, Mas yang mestinya nanya ... apa kamu keberatan tabungan kita kepakai untuk biaya rumah sakit Bapak?"
"Tidak keberatan sama sekali, Mas. Kan aku sudah bilang, ini bakti kita kepada orang tua. Lagian, uang bisa dicari lagi, tapi, nyawa Bapak tidak ada gantinya."
"Mas beruntung sekali kamu mau jadi istri Mas, Yank. Mas seperti kehujanan berlian punya istri seperti kamu, Alana."
"Sakit donk, Mas, kalau kehujanan berlian. a
Apalagi kalau gede-gede hahahahaha!" kami tertawa bersama.
"Oh ya, Mas, ada lagi yang disampaikan Mbak Raya. Ternyata Mas Raga itu ...."
*
*
akhirnya ya rama 😭