NovelToon NovelToon
PEMBUKTIAN ALANA (MENANTU HINA)

PEMBUKTIAN ALANA (MENANTU HINA)

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Konflik etika / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa / Menjadi Pengusaha
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: V E X A N A

DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!

Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.

Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.

Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.

Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.

Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PAM22

"Ibu juga pulang dulu saja diantar Rama. Tidur dan istirahat di rumah, biar Raya yang jaga bapak. Nanti sore, Ibu bisa balik ke sini. Ya, Bu Ya?" bujuk Mbak Raya.

"Gak mau! Ibu mau diantar Budi saja!"

Astaga ... masih aja ibu ini setia dengan kebenciannya. Mas Rama hanya bisa menghela napas, lalu menunduk. Mbak Raya menatapku sekilas, lalu melihat suaminya.

"Ibu ini lho, masih aja menyimpan kebencian. Apa tidak ingat semalam yang pontang panting siapa? Apa mau menyalahkan Rama lagi karena Bapak sakit begini? Apa Ibu tidak ingat, kenapa sampai kita begini?" cecar Bapak sambil terengah-engah.

Loh, apa maksud bapak ya? Ada kejadian apa sebenarnya sampai bapak kepikiran sampai kena serangan jantung seperti ini?

"Sudah, Pak. Gak masalah Ibu diantar siapa, sama aja kok. Bapak tenang dulu, ingat kata Dokter tadi. Bapak tidak boleh mikir aneh-aneh, tidak boleh stress. Budi antar Ibu pulang dulu. Nanti sore Budi jemput lagi ya." Mas Budi menengahi.

Aku lagi-lagi hanya bisa mengelus punggung suamiku.

"Ayo Bu, Budi anta," ajak mas Budi. "Budi permisi dulu ya, Pak, nanti langsung balik ke sini lagi."

Bapak hanya mengangguk lemas. Mbak Raya menghela napas panjang sambil menatap pungung ibu dan suaminya.

"Ada kejadian apa memangnya, Pak, sampai Bapak begini?" tanya Mbak Raya. Aku dan Mas Rama juga menunggu jawaban bapak.

"Nanti sore saja ya, Bapak cerita. Biar sekarang Rama pulang istirahat dulu."

"Ya udah, nanti sore balik sini ya, Ram. Sama Alana sekalian. Kiita bicarakan perawatan bapak juga, setelah keluar dari rumah sakit nanti. Sekarang Bapak juga istirahat aja, Raya jaga di sini."

"Iya, Mbak, nanti Rama balik sini. Sekarang Rama permisi pulang ya, Pak, Mbak."

"Alana juga permisi, Pak, Mbak."

Kami menuju parkiran masing-masing.

"Mas, biar Alana yang nyetir mobilnya. Kita pulang sama-sama. Nanti biar minta tolong Alif ambil motor di sini, bahaya soalnya. Alana lihat mata Mas merah banget gitu."

"Iya, Yank. Badan ini rasanya kayak melayang. Ini kuncinya, Yank." Mas Rama menyerahkan kunci mobil kepadaku.

...****************...

Aku jadi kepikiran perkataan Mbak Raya tadi tentang perawatan bapak setelah keluar dari rumah sakit. Semestinya sih, ada yang merawat beliau, bukan hanya mengandalkan ibu saja. Tapi, apa bapak dan ibu mau kalau dibantu ART? Atau baiknya bapak dan ibu tinggal dulu di sini? Toh, banyak kamar kosong. Karena tidak mungkin bapak mau tinggal di rumah Bu Atmaja yang adalah besannya. Sebaiknya nanti kusiapkan saja kamarnya, terserah nanti jadi atau tidak.

Setelah memeriksa pesanan yang masuk, aku mengajak Bian bermain sampai makan siang tiba. Sepertinya, aku membutuhkan admin untuk menerima pesanan dan berkomunikasi dengan customer karena pesanan makin banyak, dan aku juga ingin memberikan waktu yang cukup untuk Bian.

Bian sudah lancar jalannya, bicaranya saja yang masih pakai bahasa planet bayi. Aku senang bisa menyaksikan langsung pertumbuhannya.

Sore itu, saat kami bersiap ke rumah sakit lagi, Mas Rama mengembalikan kartu ATM nya, tapi kutolak.

"Mas bawa dulu aja. Siapa tahu, Dokter minta beli obat tambahan apa gitu. Dari pada panik tidak bawa uang lagi."

Mas Rama mengangguk lalu menyimpan kembali kartu ATM tersebut.

"Yank, kalau misal nanti Bapak keluar dari rumah sakit ... terus kita yang rawat, menurut kamu gimana?"

"Ya gak gimana-gimana, Mas. Aku tidak keberatan sama sekali, malah tadi aku juga kepikir hal yang sama. Mending Bapak tinggal sama kita, sampai lebih sehat. Atau ... mau seterusnya juga boleh-boleh saja. Cuma, kan Mas tahu sendiri soal Ibu. Ya, kalau Ibu mau tinggal di sini juga, kalau tidak mau? Masa iya tinggalnya misah?"

"Itu juga yang Mas pikirin dari tadi. Belum tentu Ibu mau ngalah dan tinggal di sini, nanti kita bicarakan dengan Mbak Raya ya. Yang penting, Mas lega kamu tidak keberatan Bapak tinggal di sini jika memang diperlukan."

...****************...

Saat kami tiba di rumah sakit, terlihat ibu sudah ada di sana. Wajahnya langsung berubah masam saat melihat kami menghampiri ranjang bapak. Setelah menyalami semuanya, ku letakkan bekal yang ku bawa tadi di meja samping ranjang bapak.

"Nah, mumpung sudah lengkap. Kita bicarakan sekarang saja, sebelum Bapak nanti minum obat dan istirahat. Jadi ... apa yang menyebabkan Bapak sampai seperti ini? Ada masalah apa, Pak, Bu? Mari kita bicarakan bersama, jangan jadi beban pikiran Bapak sendirian seperti ini." Mbak Raya memulai pembicaraan ini sambil melihat bergantian ke arah ibu dan bapak.

Bapak mengambil napas dalam, sebelum berbicara sambil melihat ke arah ibu.

"Ibumu mau nekad menggadaikan sertifikat kebun, tapi, tidak bilang untuk apa. Bapak merasa tersinggung sebagai kepala keluarga tidak dihargai."

Kami semua kaget mendengar pengakuan bapak.

"Uangnya buat apa, Bu? Ibu kepingin apa yang harus dituruti sampai harus menggadaikan sertifikat? Apa kurang aku, Mas Raga dan Rama ngasih bulanan ke ibu sampai ibu mesti ngutang?"

"Ya kalau tidak butuh, mana mungkin gadai sertifikat," jawab ibu.

"Tapi, buat apa, Bu? Raya lihat, Ibu Bapak makan juga biasa aja. Tidak beli elektronik baru sampai mesti bikin tagihan listrik melonjak. Jadi Ibu punya kebutuhan besar apa? Gadai setifikat berarti bukan perkara kecil, Bu."

"Bukan urusanmu mau dibuat apa. Yang penting nanti dilunasi lagi." Ibu masih keras kepala tidak mau mengaku buat apa gadai sertifikat.

"Ya seperti itu dari kemarin," sergah Bapak dengan lemas.

"Pak, sertifikat itu buat nolong anakmu, masa Bapak keberatan nolong anak sendiri?" jawab Ibu dengan emosi.

"Anak? Kalau bukan Raya dan Rama, berarti Raga? Raga butuh uang sebesar itu untuk apa, Bu?" tanya Bapak lagi.

"Ada apa dengan Mas Raga, Bu?" tanya Mbak Raya.

"Raga sedang kesusahan, gajinya dipotong sejak habis kecelakaan itu. Sementara Nanda dan Nindi butuh uang sekolah barengan. Nanda masuk SD, Nindi masuk TK. Mbakmu kan gak kerja di sana."

"Apa ini yang membuat BPJS Bapak dan Ibu nunggak beberapa bulan?" tanya Mas Rama

"Ya iya lah. Uang mana lagi yang mau dipake bayar BPJS. Gak semua orang bisa jualan kue kayak istrimu," jawab ibu dengan ketus.

"Astaga Ibu ini. Kok rasanya tidak senang kalau istrinya Rama sukses jualan kue. Harusnya kan malah Ibu doakan makin sukses, jadi Rama dan Alana tidak kesulitan."

Lagi-lagi ibu melengos. "Gak ada pengaruhnya dia sukses atau tidak."

Harus ngelus dada terus, kalau bicara dengan ibu.

"Terus sekarang Bapak kepinginnya bagaimana?" tanya Mbak Raya.

"Bapak pinginnya Ibu mengganggap Bapak. Ada apa-apa, bicara dulu sama Bapak. Apalagi untuk urusan besar seperti itu, bukan bertindak diam-diam. Bapak ini kepala keluarga, serifikat itu juga atas nama Bapak. Bapak sedang menggarapnya pula, kok mau dialihkan diam-diam. Bapak ini dianggap apa? Raga anak Bapak juga, bukan hanya anak Ibu. Dan anak Bapak bukan cuma Raga, tapi ada Raya dan Rama. Mestinya, semuanya diajak bicara untuk masalah seserius ini!" papar Bapak panjang lebar sampai ngos-ngosan.

Ku ulurkan segelas air pada bapak, beliau meminumnya sampai habis setengah.

"Ibu pernah memikirkan kalau misal jadi sertifikat digadaikan, apa Raga bisa menebusnya? Kalau tidak bisa, gimana nasib kita, Bu?" lanjut bapak.

"Seperti Bapak bilang tadi, ada anak-anak Bapak lainnya yang bisa bantu nebus, Pak!" Ibu masih kukuh dengan pendiriannya yang salah.

Dengan lirih bapak berkata, "terserah Ibu lah. Gadaikan aja semuanya, jual kalau perlu. Sekalian bunuh Bapak aja , Bapak sudah terlanjur malu."

Ibu diam saja tidak menjawab. Namun, masih terlihat keras kepalanya.

"Bapak, jangan begitu. Nanti kami akan membicarakan ini dengan Mas Raga juga. Yang penting Bapak sembuh dulu, akan Raya pastikan tidak ada kebun atau rumah yang digadaikan. Ingat kata Dokter, Bapak tidak boleh stress." Mbak Raya berusaha menenangkan Bapak.

Beliau hanya mengangguk saja, Mbak Raya pun tersenyum.

"Bagaimana kalau sekarang kita makan kue yang dibawa Alana? Enak-enak lho kuenya ini, Pak." Lanjut Mbak Raya sambil memberikan sepotong bolu marmer.

Kami semua mengambil kue yang diinginkan, kecuali ibu tentunya.

"Ibu tidak mau kue? Atau ibu mau makan malam langsung? Alana juga bawa makan malam nih," tanya Mbak Raya lagi.

Ibu hanya menggeleng, wajahnya semakin masam.

Kami sibuk mengunyah dalam suasana canggung.

"Tadi sore ada kunjungan Dokter lagi, Mbak?" tanyaku untuk memecah kesunyian yang aneh ini.

"Ada, tapi, bentar doank. Katanya kalau kondisi Bapak stabil begini, lusa kemungkinan bisa pulang. Tinggal kontrol sebulan sekali. Dan menjaga pola hidup, termasuk pikiran." Mbak Raya melirik Ibu.

"Nanti kalau Bapak sudah pulang dari rumah sakit, tinggal di rumah kami aja ya. Sama Ibu juga. Di rumah kan ada banyak orang yang bantu jaga," saran Mas Rama.

"Aku setuju, Ram. Tidak mungkin tetap tinggal di rumah sana, hanya berdua. Ibu pastinya kesusahan merawat Bapak sendirian. Yang ada malah sakit sendiri nanti karena kecapekan." Aku dan Mas Budi pun mengangguk.

"Bapak juga bisa main sama Bian. Bian lagi lucu-lucunya lho, Pak," tambahku.

"Ibu tidak mau. Ibu mau pulang ke rumah sendiri ...!"

*

*

1
Pane Alham
elu kali yg sial
Pane Alham
berasa aku yg lahiran tor 🤣
Vexana: /Smirk/
total 1 replies
Pane Alham
harusnya keluarga pria yg ngurusin alana 🥲
Pane Alham
tor, ada apa dengan kalimat ini?
Pane Alham: siap
sukses selalu tor
Vexana: duh maaf readers.sedang di revisi
total 2 replies
Pane Alham
bangga ya na 🥲
Cupcake
Alur nya santai, tp banyak banget pelajaran yang bisa di ambil.
Bagus banget /Kiss/
Vexana: Terimakasih banyak kakak /Whimper/
total 1 replies
Pane Alham
Dari bab 1 sampai bab 8 , alur terkesan lambat. tapi rugi banget kalau sampai tak di baca. karena bab itulah yang menunjukkan perkembangan karakter. dimana pembaca di buat sesak, sedih, haru, bangga.
Apalagi part di mana Alana hamil, ya ampun, saya sampai meneteskan air mata. /Good/
Vexana: terima kasih kakak,ini penilaian pertama.saya terharu
total 1 replies
Pane Alham
terbukti alana gak mandul
Vexana: benar
total 1 replies
Pane Alham
sad banget!
Vexana: /Whimper/
total 1 replies
Pane Alham
nyebut lah buk
Pane Alham
nyesek bgt nasib mu ram
Pane Alham
di tunggu up nya tor
SGhostter
Aduh thor, saya udah kecanduan dengan ceritanya, makin cepat update-nya ya!
Vexana: sudah rilis,silahkan mampir 😇
jika berkenan boleh tinggalkan like n komentar
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!