Hasrat Tertahan Presdir Tampan

"Siapa wanita yang bersama Sevan itu?" tanya Arneta pada dirinya sendiri.

Wanita itu sedang bergelayut manja di lengan Sevan calon suami Arneta.

Arneta mempertajam penglihatannya, "aku nggak salah lihat, kan? Itu benar-benar Sevan, mana mungkin orang tuaku menjodohkanku dengan pria beristeri."

"Harus kah aku mengikutinya?" Arneta penasaran apa yang sebenarnya akan mereka lakukan siang-siang begini di dalam hotel.

Melihat pria itu memperlakukan wanita tersebut dengan sangat mesra, ia memutuskan untuk mengikuti pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.

Pria dan wanita itu masuk ke dalam sebuah kamar yang ada di lantai paling atas.

Mereka masuk ke dalam kamar itu dan lalai mengunci pintunya karena mereka sepertinya sedang dimabuk asmara.

Arneta mengintip dari balik pintu, ia menutup mulut tak percaya melihat pemandangan tak senonoh yang ada di depannya saat ini.

Kedua orang itu langsung bercumbu di atas ranjang tanpa basa basi.

Arneta mengeluarkan ponselnya berniat untuk mengambil video kedua manusia tersebut sampai selesai.

"Bagaimana denganku, Van? Jika kamu menikahi bocah itu?" tanya wanita itu sambil bergelayut manja di atas ranjang.

"Hanya seorang bocah, pasti mudah untuk menyingkirkannya, kan ... lagian aku sama sekali tidak mencintainya, yang aku inginkan cuma kamu, Sayang," timpal Sevan pada wanita itu.

"Aku percaya padamu, Sayang, Uh!"

"Puaskan aku, Sayang! Uhm...."

Kegiatan panas mereka tak bisa Arneta jabarkan dengan kata-kata, selain kata jijik.

Arneta merasa mual mendengar percakapan dan des'ahan yang terlontar dari mulut kedua manusia itu, ia segera menyimpan video yang ia dapat kemudian bergegas pergi dari sana sebelum ketahuan.

Semalam dia juga melakukan kesalahan namun, tak semenjijikkan dua orang yang ada di hadapannya saat ini.

"Takdir macam apa yang sedang Engkau berikan pada hamba-Mu ini Tuhan. Masa depanku sudah direnggut, bahkan calon suami yang dipilihkan sendiri oleh orang tuaku sama sekali tidak menginginkan ku," batin Arneta sambil menyeka air matanya.

Meskipun mereka tak saling mencintai, tetapi pria itu adalah calon suami yang dipilihkan oleh orang tua Arneta, lebih tepatnya orang tua Arneta terjebak oleh permainan konyol keluarga kaya itu.

Bagaimana perasaan orang tuanya jika mereka tahu bahwa pria pilihan mereka sama sekali bukan pria baik-baik. Bahkan kesan pertama Arneta terhadap pria itu adalah seorang b'ajin'gan. Karena ia berani mencumbu wanita yang sama sekali belum sah menjadi isterinya.

Bagaimana jadinya jika di kelak benar-benar menikah bahkan tinggal serumah dengan pria seperti itu, Arneta benar-benar dibuat bingung oleh permainan takdirnya ini.

Apa yang akan dia lakukan setelah semua kejadian ini ia hanya bisa pasrah dengan jalan yang diberikan oleh Sang Pencipta.

Yang paling penting bagi Arneta saat ini adalah membahagiakan kedua orang tuanya serta menjunjung tinggi harkat dan martabat mereka.

Arneta memesan ojek online dan menunggu tukang ojeknya di depan hotel.

Saat ia sudah berkendara setengah perjalanan, ia lupa bahwa dirinya semalam mengendarai motor bebek kesayangannya.

"Pak, bisa putar balik nggak?" tanya Arneta pada tukang ojek online itu.

"Maaf, Mbak, nggak bisa. Harus sesuai dengan aplikasi," balas tukang ojeknya.

"Aku bayar dua kali lipat, deh, Pak," bujuk Arneta.

"Baik, tapi Mbak batalin dulu pesanannya!"

"Oke, Pak."

Meskipun sayang harus menghamburkan uang namun, Arneta lebih sayang lagi dengan motor bebeknya yang masih bertengger di parkiran saat ini.

Arneta pun kembali ke hotel dan membayar tukang ojeknya dua kali lipat.

Lalu ia pulang ke rumah dengan motor bebek kesayangannya.

.

Belum sempat ia masuk ke dalam rumah, tiba-tiba ponselnya berdering.

Tertera nomor baru di sana.

Dalam panggilan.

"Halo, ini siapa?" tanya Neta.

"Halo, Neta. Saya Bu Niken, bisa kah kamu datang ke pameran keluarga Umay besok malam?"

"Bisa, Bu. Tolong kirim alamatnya ke saya."

"Oke, sampai jumpa besok, Net."

"Baik, Bu."

Panggilan berakhir.

.

"Tuh kan Arneta, ada berkah dibalik musibah," ucap Arneta.

Sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah, ada Ibu-ibu yang baru pulang dari pasar memergoki Arneta.

"Ehm ... kamu semalam ke mana aja, Net? Kok baru pulang jam segini? Nggak kasihan apa sama orang tuamu yang tiap hari banting tulang," cela Bu Sukma tetangga dekat Arneta.

"Taulah sama anak jaman sekarang, baru juga lulus SMA, eh udah ugal-ugalan aja ... nggak tau berterima kasih sama orang tua," timpal Bu Rukaya.

"Eh, Bu Suk dan Bu Ruk, kalau bicara suka benar, deh ... hati-hati, ya, Bu kalian juga punya anak perempuan loh, jangan asal bicarain anak orang, nanti takutnya anak kalian ketularan," ujar Arneta.

Sejak kembali dari hotel ia ingin menjadi Arneta yang baru dan lebih kuat dari biasanya, bahkan ia akan berusaha menjadi sosok yang tidak mudah untuk di tindas.

"Astaga, kamu baru lulus SMA aja udah belagu tingkat dewa ... padahal anak Bu Ainun nggak pernah berani sama orang tua, setelah lulus SMA kelakuannya sangat menjijikkan," oceh Bu Sukma.

Arneta memberanikan diri mendekati kedua orang itu.

"Maaf ya, Bu Suk! Atas dasar apa Anda mengomentari hidup saya? Apakah saya pernah mengusik hidup Anda? Apa saya pernah merepotkan keluarga Anda? Tolong sebagai orang tua, jika ingin dihormati tolong belajar tata krama dulu ya Bu Suk! Dan Bu Ruk! Saya permisi nggak ada waktu buat berdebat sama kalian! Mungkin lain kali bisa kita lanjutkan!" ucap Arneta dengan aura mengintimidasi.

"Jaga mulut bu'suk mu bocah tengik! Berani sama orang tua nggak takut kualat?! Ha!!" teriak Bu Sukma memenuhi kampung tersebut.

"Maaf ya Bu Suk! Dari mana Anda mendapatkan rumus bahwa seorang penyebar fitnah itu malati?" tanya Arneta dengan seringai licik.

"Kamu!"

Belum sempat Bu Sukma melanjutkan kalimatnya, Bu Rukaya menarik tangannya agar tak meladeni gadis satu ini.

Menurut Bu Sukma Arneta menjadi wanita gila setelah bermalam di luar rumah selama semalam. Dia menjadi lebih berani, padahal selama ini Arneta dikenal sebagai seorang gadis pendiam dan bertutur kata baik, bahkan selalu dipuji di kampungnya.

Siapa sangka gadis itu bisa gila hanya karena bermalam diluar rumah selama satu malam.

Mereka berdua benar-benar tertampar keras oleh kata-kata Neta.

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Arneta masuk ke dalam rumah. Ia terduduk lemas menangis sejadi-jadinya sambil duduk bersandar di depan pintu utama. Sejak tadi ia menahan air matanya dan menyembunyikan tubuhnya yang gemetar agar terlihat kuat dan tidak terkalahkan dengan celaan Ibu-ibu tadi.

"Aku masih Arneta yang sama, hanya saja aku nggak kuat menerima penghinaan bertubi-tubi dari mereka ... Lindungi hamba Ya Tuhan, hiks...."