Terlahir kembali sebagai anak orang kaya bernama Ethan, ia bereinkarnasi bersama sebuah sistem yang misterius. Sistem Penguasa, yang meringankan hidupnya dan juga merumitkan kisah cintanya.
Di sekolah, Ethan dipertemukan dengan mantan pacar dari kehidupan sebelumnya, Karina. Kehidupan kedua ini menjadi kesempatan bagi Ethan untuk mengulangi hubungan dan memperbaiki kesalahannya.
Namun, Sistem Penguasa terus memaksa Ethan untuk menguasai sekolahnya, menjadi puncak tertinggi di antara siswa lain, dan Karina tidak menyukai gaya hidup Ethan itu.
Akankah Ethan dapat kembali bersama Karina? Ikuti kisahnya yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon milorasabaru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
[Ingat, ketika kita akan berubah, tidak serta merta jalan menjadi mudah.]
Anj*ng, bisa-bisanya wanita ini menasehatiku dengan mengutip perkataan Kang Mus dari Preman Pensiun, di tengah hukuman dari Ayah yang sedang kujalani. Aku sudah kesulitan mengendalikan napasku.
"Seratus, seratus satu, seratus dua..."
Ayah terus menghitung jumlah push up yang kulakukan. Otot-otot sudah bergetar, aku sudah tidak mampu lagi. Berikanlah keringanan, kumohon.
"Emangnya Ayah udah bilang berhenti!? Lanjut!" titah ayahku ketika aku sudah tidak mampu mengangkat tubuh ini.
Terakhir kali aku push up, batasku hanya sampai 50 kali. Itu juga sudah luar biasa menurutku, mengingat tubuhku masih bocah.
Dari celah kedua kaki Ayah, aku bisa melihat Ibu sedang terkekeh di sofa. Rita yang terduduk di sampingnya hanya tersenyum, dari wajahnya aku sudah tahu, dia sudah kelelahan dengan kegiatannya hari ini.
"Hayu, A, semangat terus." Ivan yang berada di dekatku mulai menurunkan wajahnya.
"Aduh, ampun. Udah gak kuat, Ayah," ucapku meringis.
"Gak ada kata ampun. Lanjut!"
Ayah sedari tadi melipat lengannya, dengan wajah yang tanpa henti mengerut, dan kepala sedikit terangkat, memandangku rendah yang berada di bawahnya.
Anj*ng. Aku benar-benar udah gak kuat, Ayah!
[Anda masih kuat, semangat.]
Lakukanlah sesuatu yang bermanfaat, Nona!
[Motivasi merupakan hal yang bermanfaat.]
"Anj*ng," gumaku spontan.
"Bilang apa kamu tadi?" Ayahku bertanya dengan nada baritone yang semakin meninggi, wajahnya semakin memerah.
Aku terbelalak melihat kedua mata Ayah yang kecoklatan menatapku tajam, seolah api yang membara menyengatku. Kesalahan fatal.
"Eh, engga. Ethan—"
"Tambah lagi seratus!" pekik Ayah menukas ucapanku.
Sialan! Aku tidak mungkin bisa, otot-otot sudah ingin menyerah.
[Anda masih dapat bertahan dan melakukannya.]
Gak mungkin!
[Bukan hal yang tidak mungkin.]
Keringat sudah membanjiri seluruh hoodie, penuh panas dari luar dan dalam. Entah berapa kali sudah menetes dari wajah dan rambutku pada lantai. Gerah sekali, setidaknya izinkan aku melepas hoodie dan seragamku ini terlebih dahulu.
"Denger Ayah, gak!?" tuntut Ayah.
"Iya."
"Iya apa!?" lanjut Ayah memekik.
"Iya, Ethan denger." Aku menjawabnya tanpa melihat wajah ayahku.
"Satu!"
Aku mulai mengangkat kembali tubuhku sekuat tenaga. Sama sekali pria itu tidak memberikanku keringanan. Tidakkah dia melihat tubuh anaknya yang berumur 12 tahun sudah bergetar?
Anj*ng lah gini amat. Gak jauh beda sama wanita sistem kalau gini ceritanya.
[Anda sudah melupakan kalau semua tindakan dalam kehidupan juga memiliki konsekuensinya tersendiri.]
Berhentilah menasehatiku!
[Baik.]
Aku menarik napas ketika badanku turun, dan menghembuskannya ketika naik ke atas. Perlahan, aku kembali fokus untuk mengendalikan napasku di setiap gerakan push up.
Sesekali aku menoleh pada Ivan, tetapi dia masih tidak berkomentar apa pun soal hukuman ini. Hanya tersenyum dan menyorakiku untuk memberi semangat. Tidakkah dia berpikir ini sudah bukan porsiku?
Gerakan demi gerakan, aku mulai melupakan rasa letihku. Udara dingin di setiap aku mengangkat tubuhku, mengobati gerah pada tubuhku, menjadi sebuah 'hadiah misi'.
Lima puluh, lima puluh satu. Aku mulai menghitung secara mandiri. Seruan ayahku sudah sayup-sayup terdengar. Gawat, aku kehilangan fokus.
"Argh!" Aku meringis ketika mengangkat tubuhku untuk yang ke 52.
"Udah ampun, Ayah. Ethan udah gak kuat."
"Ini akibatnya kalau kamu bolos sekolah," ucap Ayah.
"Janji gak akan bolos lagi," ucapku mengerang. Aku sudah sangat tidak kuat.
"Yang serius kalo bikin janji!"
"Ethan janji gak akan bolos sekolah lagi," ucapku lugas.
Aku tidak yakin bisa memenuhi janji. Kemungkinan sangat tinggi bahwa misi akan mendorongku untuk melanggar janji.
"Kalau melanggar janji, apa yang kamu mau lakuin untuk menebusnya?" tanya Ayah lagi.
"Terserah Ayah aja!" pekikku. Aku tidak peduli, yang penting ini semua harus segera berakhir.
"Kalau gitu, sepakat sama perjanjian ini?"
"Sepakat."
"Ya udah, gih sana mandi!" titahnya.
Akhirnya! Penderitaanku selesai.
Sejenak aku telungkup di atas lantai kayu yang sangat dingin, melupakan keringat yang sudah membasahinya. Lebih nikmat dan nyaman dari kasurku.
Kemudian, Ayah beranjak pergi menuju Ibu. Sepertinya mereka sedang membicarakanku. Aku tidak mau dengar.
"Ayo berdiri, A Ethan," ucap Ivan meraih lenganku.
Aku menerima bantuannya untuk berdiri, lalu aku dituntun menuju kamarku. Setiba di kamar, aku langsung melepaskan hoodie dan seragamku. Serasa terbebas dari jeratan gerah dari panas tubuh yang menyiksa.
"Om taruh sini ya. Jangan langsung mandi, tunggu kering dulu." Ivan menaruh ranselku di samping pintu.
"Siap, Om," timpalku.
Setelah pintu kamar ditutup oleh Ivan, aku melepaskan semua pakaianku dan menaruhnya pada keranjang baju kotor. Kemudian, aku mulai melangkah menuju kamar mandi di dalam kamarku. Aku sudah tidak tahan membayangkan segarnya air shower.
TRING!
Langkahku tertahan ketika mendengar ponselku berdering di atas meja komputer. Rara meneleponku.
"Halo."
"Kamu kemana aja!? Kok gak bales chat aku sih?" tanya Rara sebal. Suaranya yang melengking menusuk telinga.
"Tadi aku dihukum sama Ayah," timpalku lirih.
"Oh iya? Kamu ketahuan bolos juga?"
"Juga? Kamu ketahuan?" tanyaku spontan.
"Iya! Ternyata wali kelas nge-WA mamah, ngedoain dia cepat sembuh."
Anj*r, ternyata si Bapak Driver menggunakan alasan ibunya Rara sakit.
"Terus gimana?" Aku menjadi khawatir. Semoga orang tuanya tidak sekeras ayahku menghukum Rara.
"Ya dimarahin lah! Kamu dihukum apa tadi?"
"Push up 150 kali, kayaknya, aku gak inget," timpalku yang kemudian menghela napas.
Sontak, Rara tertawa terbahak-bahak. Aku bisa membayangkan wajah tirus yang imut itu tersenyum senang mengetahui aku telah tersiksa.
"Kasian deh," ledeknya.
"Emang kamu gak dihukum atau apa gitu?" tanyaku sebal.
"Engga dong," timpal Rara terkekeh.
"Licik!"
"Memang. Nanti bolos lagi yuk, rame soalnya."
(Di Bandung, rame \= seru)
"Enak aja, aku nanti dihukum lagi tau." Aku sudah kapok dengan semuanya.
"Loh, curang. Kamu tadi maksa aku latihan, tapi kalau aku minta bolos malah gak mau," ucapnya menggerutu di telepon.
DING!
[Misi baru: Buat Rara menurut untuk tidak membolos.
Hadiah: 10.000.000 rupiah.
Batas waktu: 5 menit.]
Ya, aku juga berniat itu. Tapi, kau juga yang memberiku misi untuk mengajak Rara membolos!
"Gini loh, Beb. Ini semua demi kebaikan kita berdua. Nanti bukannya jadi siswa siswi ter-hits yang keren," ucapku spontan asal bicara. Aku harus berpikir sebelum bicara berikutnya. Tapi, batas waktu misi yang singkat selalu menekanku.
"Tapi, bolos juga keren! Kayak yang lain tuh si Laily, si Daffa—"
"Itu mah berandal kalau sering bolos kayak mereka," tukasku.
Rara sontak tertawa. "Ya udah iya deh."
[Misi berhasil. Mendapatkan: 10.000.000 rupiah.]
Huft. Bisa gak sih sekali-kali gak ngasih misi?
[...]
Yah, sudah kuduga.
DRET!
Permintaan video call dari Rara Angelisca
Reflek aku menekan opsi menolak permintaan itu. Untung saja aku tidak salah tekan, nanti semuanya terlihat.
"Kok gak mau, Beb?" tanya Rara.
"Aku lagi gak pake baju."
😒
/Cleaver/